CHAPTER 4

3305 Words
Avi menggeliat dalam tidurnya. Ia mencoba untuk mencari posisi tidurnya yang nyaman, tapi disaat ia merasakan kenyamanan itu, ia malah terbangun. Matanya mencoba untuk menyesuaikannya dengan cahaya kamar, dan ia sadar bahwa dirinya berada di kamarnya. Ia pun bangkit dan duduk di tepi ranjang. Ia menyentuh kepalanya yang masih pusing. Faktanya, ia meminjam bahu Daniel untuk tidur karena kepalanya begitu sakit. Dan siapa sangka, ia tertidur sangat pulas. Lalu, sekarang yang menjadi pertanyannya adalah, siapa yang membawanya pulang? David, kah? Jika memang dia, maka Avi pasti akan senang sekali. Ia pun berdiri dan mengenakan sandal bonekanya dan turun ke lantai pertama. Di sana, terlihat David yang sedang fokus dengan laptopnya dan beberapa kertas yang berserakan di meja. Avi pun menghampiri David dan duduk di sofa yang ada di depannya. "Apa kamu yang membawaku pulang?" "Em," jawab David santai dan tetap fokus pada kerjaannya. "Jam berapa sekarang?" tanya David kemudian. "Lihat sendiri di laptopmu, David." David bodoh. Ia pun melihat jam di laptopnya dan waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia mengalihkan laptopnya dari pangkuannya dan pergi ke dapur. Avi kecewa melihat David mengabaikannya. Ia pun memilih untuk bersandar dan memejamkan matanya. "Minumlah." Avi membuka matanya dan melihat David yang sudah membawakannya segelas s**u. "Ini waktunya minum s**u," ucap David seraya meletakannya di meja. Avi tersenyum manis dan segera mengambil gelas itu. Ia menenggaknya sampai habis dan bersih. Melihat hal itu, David tersenyum sendiri. "Entah kenapa buatan kamu sama Mama itu beda," ucap Avi seraya meletakkan kembali gelas itu di meja. "Beda gimana?" "Beda aja, punya Mama itu kemanisan banget. Kalau punya kamu netral. Mungkin dilihat dari kepribadian," jawab Avi. David semakin bingung. "Apa hubungannya?" "Mama kan manis, jadi manis banget. Kamu itu biasa aja, kadang dingin, kadang manis. Jadi ya rasanya kayak gitu." David mengerti. Jadi, seperti itu sikapnya di mata Avi? "Oh iya, besok aku izin ya," ucap Avi. "Mau ke mana? Aku lihat jadwal kamu tadi dan besok nggak ada operasi." Tiba-tiba saja raut wajah David membuat Avi takut. "Besok Kak Lavi ulang tahun, aku dan keluarga mau buat kejutan." David terdiam. Lihat, ia bahkan melupakan ulang tahun Lavi. Tunggu.... Berarti Avi juga ulang tahun, kan? Sepertinya ada yang tidak beres, apa Avi lupa jika dirinya adalah kembaran Lavi? Dan juga, kenapa keluarganya mengikutsertakan Avi ke kejutan itu? "Bukannya kamu juga ulang tahun?" Akhirnya David memberanikan diri untuk bertanya. "Kita beda hari," jawab Avi tenang. "Apa maksudmu?" "Kita memang lahir di hari yang sama, tapi lima menit setelah Kak Lavi keluar, aku keluar dan itu sudah jam 12. Jadi, aku ulang tahun sehari setelah Kak Lavi ulang tahun." Aneh ... ini lebih dari kata aneh. Pertama kalinya ia mendengar ada anak kembar yang memiliki hari ulang tahun yang berbeda. "Jadi, besok aku bisa pergi, kan?" David mengangguk. "Aku temani." Avi tersenyum senang. Keesokan harinya, David dan Avi datang ke rumah Avi. Di sana, mereka bertemu dengan seluruh keluarga Avi, termasuk Adrian yang mana ini merupakan kemunculan pertamanya sejak insiden menyatakan cintanya itu. Avi dan David mencoba untuk setenang mungkin di hadapan Adrian. Bahkan, tidak jarang mereka duduk di samping Adrian. Namun, Adrian seperti menghindari mereka. Saat ini, mereka masih menunggu Lavi dan Avi masih setia melihat kondisi Adrian yang terlihat kacau. Mungkin semua orang tidak menyadarinya, tapi tidak untuk Avi. Ia mengenali Adrian selama hampir hidupnya sekarang dan ia tidak akan pernah tidak mengetahui kondisi Adrian. Avi pun berencana untuk menghampiri Adrian dan mencoba untuk membicarakannya baik-baik. Ia pun duduk di samping Adrian. "Aku dengar kamu hamil." Avi menoleh ke arah Adrian dan Adrian balas menatapnya. "Kenapa nggak cerita?" "Maaf..." "Apa pria berengsek itu yang melakukannya? Jadi kalian menikah karena kamu hamil?" "Adrian..." "Aku tidak akan pernah memaafkannya, Vi. Sekalipun dia sudah bertanggungjawab dan menjadi suami yang baik buat kamu. Bagiku, itu sama saja." "Adrian." Avi kesal dan mulai membentak Adrian. "Dia sudah bertanggungjawab itu saja sudah lebih dari cukup." Adrian tersenyum sinis. "Jadi, apa kamu cinta sama dia?" Avi diam. "Kamu sendiri yang bilang sama aku dulu, Vi. Kalau kamu nggak akan nikah tanpa dilandaskan cinta, tapi apa sekarang? Kamu memakan omongan kamu sendiri." Avi menggigit bibir bawahnya. Kemudian, ia mengembuskan napasnya dengan berat. "Aku cinta sama dia," serunya pelan. Adrian terkejut. "Kalau kamu bilang begitu untuk lindungi dia, sebaik---" "Aku serius. Aku cinta sama dia. Aku pernah cerita, kan? Pria hujan? Kamu ingat? David adalah pria hujanku." Adrian semakin terkejut. Tangannya sudah terkepal erat. Dulu, Avi memang pernah bercerita mengenai pria hujan, pria yang ia cintai, tapi Adrian tidak pernah menganggap hal itu dengan serius. Ia pikir itu hanya cinta sesaat. "Tapi apa dia cinta sama kamu?" Avi terdiam. David tidak mencintainya karena yang pria itu cinta adalah Lavi. David cinta Lavi, bukan Avi. "Nggak, kan? Pernikahan kalian bukan cinta, Vi." Adrian benar. Pernikahan itu begitu sakral dan harus ada dua orang yang saling mencintai. Disaat dua orang itu sedang bercakap-cakap dengan serius, David terus menatapnya dengan serius juga. Penglihatannya tidak pernah hilang dari kedua sahabat itu. "David..." "Eh, iya Tan?" "Kok Tan, panggil Mama," kata Aleta lembut. David tersenyum. "Iya, Ma, ada apa?" "Gini, sampai sekarang Lavi belum juga datang. Mama udah telepon, tapi nggak diangkat. Kamu bisa jemput dia di apartemennya, nggak? Sepertinya rencana kali ini sedikit gagal." David mengerutkan keningnya. Setahunya Lavi tinggal di rumah, bukan apartemennya. Dan, kenapa ia yang diminta untuk menjemput Lavi setelah apa yang terjadi? "Mama minta tolong, ya? Nick lagi pergi buat ngambil kado. Sedangkan Adrian, dia nggak terlalu akrab sama Lavi. Bisa, ya? Ini alamat apartemennya. Mungkin juga kalau kamu yang jemput, dia bakalan mau." Aleta menyerahkan selembar kertas kecil yang bertuliskan alamat apartemen Lavi. David tahu apartemen ini, karena ini adalah apartemenennya. Kenapa ia tidak tahu Lavi tinggal di sana? "Iya, Ma. Aku akan jemput Lavi." "Terima kasih, ya." David pun pergi tanpa pamit pada Avi. Lagipula, ia tidak ingin Avi salah paham karena dirinya menjemput Lavi. Setibanya di sana, ia langsung berjalan tanpa pemeriksaan karena apartemen itu miliknya sendiri. Dan sekarang, di sinilah ia berada, di depan apartemen Lavi. David mengembuskan napasnya sebelum menekan tombol bel. David hampir menyerah saat tidak ada jawaban. Akhirnya, ia memilih untuk menghubungi Lavi. Dan hasilnya benar-benar bagus. Lavi langsung keluar dari apartemennya. Penampilannya terlihat kacau dengan kantung mata yang tidak pernah David lihat. "Masuklah." Lavi membiarkan David masuk, dan David terlihat terkejut dengan kondisi apartemen Lavi yang kacau seperti kapal pecah. "Lavi..." "Ada apa?" "Kita harus ke rumah." Lavi menggeleng. Ia berjalan ke dapur dan menegak minuman mineralnya. "Lavi..." "Aku tidak butuh perayaan," katanya seraya berjalan ke sofa dan duduk di sana. David paham. Sepertinya Lavi tahu jika keluarganya sudah melakukan kejutan untuknya. David sedikit kesal. Ia berjalan ke arah Lavi dan mencekal tangannya. "Kita pulang." "Lepas!" Lavi menyentakkan tangannya keras. "Aku tidak butuh perhatian kamu, David!" "Lavi!" "Kenapa?" Lavi berdiri dari tempatnya duduk dan menatap David dengan tajam. "Aku cinta kamu dan kamu cinta aku, tapi kenapa kayak gini? Kenapa kamu bisa sama Avi? Huh?" "Lavi, jangan kekanakan dan kita pulang!" "Tidak!" bentak Lavi lagi. "Aku benci dengan takdir ini! Kenapa Avi yang selalu mendapatkan segalanya, kenapa?!" Lavi berteriak dan ia menjatuhkan vas bunga yang ada di atas nakas. David tentu saja terkejut karena perbuatan Lavi. Ia tak pernah melihat Lavi marah seperti ini. Dan hal yang membuat David lebih terkejut lagi adalah apa yang Lavi lakukan selanjutnya. Wanita itu mengambil pecahan vas dan menggenggamnya hingga membuat darah keluar. "Apa yang kamu lakukan?!" teriak David sambil melepaskan genggaman tangan Lavi. Namun, Lavi tidak juga melepasnya. Akhirnya, David memeluk Lavi dan membiarkan wanita itu menangis dipelukannya. Genggaman Lavi mengendur. Pecahan vas itu terjatuh dan membuat darahnya menetes ke lantai. "Jangan lukai dirimu lagi, aku nggak suka," ucap David. Lavi pun semakin menangis dan memeluk tubuh David dengan kuat. Mendengar tangisan itu, David merasa bersalah. Ia pun memeluk tubuh Lavi dengan kuat dan mencoba untuk menenangkan wanita yang sangat ia cintai itu. "Aku mohon, tetaplah di sisiku," pinta Lavi. David terdiam. Ia bingung harus melakukan apa. "Aku butuh kamu, David. Aku bisa gila..." "Lavi..." "Aku cuma butuh kamu, bukan memiliki kamu." David mengembuskan napasnya. Ia memejamkan matanya dan membukanya kembali. "Aku ... akan berada di sisimu." Saat itu juga, Lavi semakin mempererat pelukannya. Maafkan aku, Avi... David tahu ia salah, tapi izinkan ia melakukannya untuk kebahagiaan Lavi, setidaknya sampai ia benar-benar bisa melepaskan Lavi dan mulai membuka hatinya untuk Avi, istrinya yang saat ini sedang mengandung anaknya. *** Avi diam saja ketika ia melihat kedatangan Lavi dan David. Ia tidak tahu bagaimana kedua orang itu bisa bersama, karena setahunya David ada di sini tadi. Rasanya, Avi ingin sekali bertanya pada David, tapi melihat gelagat aneh dari keduanya membuat Avi mundur. Ia sesekali melihat Lavi tersenyum ke arah David dan itu membuat ia merasa ... kesal? Mungkin. Melihat seseorang memperhatikan suamimu lebih jauh. Avi menghela napasnya. Ia ingin segera pulang. Ia pun berjalan ke arah David yang baru saja menikmati makanan buatan Aleta. "Ada apa?" tanya David. "Pulang, ya? Aku capek." "Kok cepat? Acaranya belum selesai." Avi menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku mau tidur." David mengerutkan keningnya. Dan Avi semakin ingin pulang. "Kenapa cepat sekali? Kamu tidur di kamar kamu aja di sini." Tiba-tiba saja Aleta menyahut, dan saat itu pula Avi melihat Lavi sedang memperhatikan mereka lamat-lamat. "Iya, kamu tidur di sini aja. Nanti aku bangunkan," seru David. "Kamu ikut tidur juga, ya? Aku nggak mau tidur sendiri." David terdiam. "Udah kamu temani Avi aja, maklum Ibu hamil. Agak sensitif dan manja," seru Aleta. David menganggukkan kepalanya. Sekarang ia mengerti atas perubahan sikap Avi. Ternyata hormon kehamilan. "Yaudah, ayo." David meletakkan piring makanannya dan menggandeng tangan Avi. Ia membawa Avi naik ke lantai dua dan mereka pun tiba di kamar Avi. Avi langsung melepaskan genggaman tangan David dan naik ke ranjang. "Sini," seru Avi. David pun menuruti perkataan Avi dan tidur di samping Avi. Avi menghela napasnya seraya memperhatikan langit kamarnya. Ia merasa gugup dan ingin sekali menanyakan sesuatu yang membuat hatinya gelisah. Namun, ia takut dengan David. Ia takut pria itu akan marah kepadanya. "Vid..." Panggilan Avi terhenti. Ternyata David sudah tidur. Ia pun memiringkan badannya dan memperhatikan wajah tampan David. Ternyata, jika pria itu dilihat lebih dekat, ia semakin tampan dan itu membuat Avi tersenyum dengan lebarnya. Ini kali pertama ia melihat wajah David sedekat ini. Dan ia merasa seakan dunianya baru dimulai untuk menjadi lebih baik. Tok... Tok... Avi terkesiap. Ia langsung bangun dan berjalan untuk membuka pintu kamarnya. Di sana, Lavi sudah berdiri dengan wajah yang tak bisa Avi baca. "Bisa kita bicara?" Avi terdiam. Ia tahu pasti bahwa pembicaraan ini akan menjadi pembicaraan yang menegangkan. Namun, ia tidak bisa lari dari masalah yang dihadapinya ini. Ia harus bicara pada Lavi dan menyelesaikan semuanya. Lagipula ia penasaran dengan apa yang ada di pikiran Lavi. Avi mengangguk. Mereka pun memilih untuk bicara di ruang santai yang berada diantara kamar mereka. Di sinilah mereka berada. Di sofa cokelat yang akan menjadi saksi dari pembicaraan serius mereka. "Kak Lavi mau bicara apa?" Lavi mendongak. Ia menghela napasnya sebentar. "Lo cinta sama David?" Avi terdiam. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, maka ia tidak yakin Lavi tidak akan marah. Akhirnya ia memilih diam. "Kenapa lo diam?" "Ak---" "Ah, gue tahu. Tentu aja lo tidak mencintai David. Kalian menikah karena lo hamil." Avi semakin bungkam. Sepertinya ia harus membiarkan Lavi mengira-ngira agar suasana hati kembarannya itu merasa baik. "Kalau begitu, apa lo akan menceraikan David kalau sudah melahirkan?" Avi yang tadi menunduk, mulai mendongak. Tubuhnya tegang dan tangannya terus meremas dress-nya. Ia berusaha semampunya untuk menahan diri. "Gue harap lo ngelakuin itu, Avi," sambung Lavi. Avi semakin bungkam. Ia menggigit bibir bawahnya sampai ia merasa akan melukai bibirnya sendiri. Ternyata berbicara dengan Lavi adalah keputusan yang sangat salah. "Kalau aku cerai sama David, apa yang akan Kakak lakukan?" Avi menatap mata Lavi dengan serius. Lavi tersenyum manis. "Lo tahu kita saling cinta, Vi." Rasanya seperti ada beribu jarum yang menusuk tubuh dan hati Avi. Ia tidak ingin mendengar kata cinta kedua sejoli itu. Ia tidak ingin. Ia pun menundukkan kepalanya dan menatap gaunnya yang berwarna biru langit. Kesukaannya. "Kalau lo nggak ngelakuin itu, anggap kita bukan saudara kembar." Avi mendongak. Ia membelalakkan mata karena mendengar pernyataan Lavi. Astaga, apa hanya karena satu pria, ikatan saudara harus terputus? Avi pikir itu hanya ada di dunia fiksi, tapi ternyata itu terjadi di hidupnya juga. "Kak..." "Maaf, Vi. Gue capek harus ngalah sama lo. Lagipula lo udah dapatkan perhatian seluruh keluarga." "Kak, ak---" "Lo harus istirahat, gue pergi dulu." Lavi bangkit dari tempatnya dan langsung pergi meninggalkan Avi sendirian di ruangan itu. Tiba-tiba saja Avi menangis. Ia tidak bisa melakukan hal itu. Jika ia menceraikan David, maka anaknya akan merasakan broken home. Namun, jika ikatannya dengan Lavi terputus, maka semuanya akan hancur. Avi sayang dengan Lavi, dan ia juga sayang dengan David. Avi mengusap air matanya. Ia benci dengan semua ini. Ia benci dengan Tuhan yang sudah mempermainkan takdirnya. Kenapa pula Tuhan memberikan takdir seberat ini seolah-olah ia perempuan yang kuat, sehingga bisa melalui ini. Ia hanya perempuan lemah! Avi menghela napasnya dan meringkuk ketakutan. Pandangannya lurus ke bingkai foto dirinya dan Lavi. Dirinya dan Lavi tampak cantik di foto itu dengan seragam SMA mereka. Foto itu diambil saat mereka mendapatkan peringkat satu di kelas masing-masing. Avi peringkat satu di kelas IPA, dan Lavi peringkat satu di kelas IPS. Benar-benar kembar yang dibanggakan. "Loe harus janji sama gue, Vi." Lavi berjalan ke arah Avi dan duduk di depan gadis yang sedang asyik membaca novelnya. "Apa?" tanya Avi tanpa mengalihkan perhatiannya. "Kalau kita suka sama satu cowok, kita berdua harus nyerah, oke?" Avi mengerutkan keningnya. "Kok gitu? Lagipula tipe kita beda, Kak." "Tetap aja! Siapa yang tahu takdir Tuhan kaya gimana, oke?" Avi menghela napasnya. "Baiklah." Lavi tersenyum puas. Avi kembali sibuk pada bacaannya. Avi ingat hari itu. Dan sekarang, mereka berdua melakukan hal seolah-olah janji itu tidak pernah terucapkan. Sepertinya memang tidak ada yang ingin menyerah. Baik Avi maupun Lavi. Avi harus melakukan sesuatu. Ia berdiri dari tempatnya duduk dan berlari untuk mengejar Lavi. Beruntung, Lavi masih ada di lantai atas. Namun, ia melihat ke arah kamar Avi. Sepertinya ia mengharapkan kemunculan David. "Kak..." Lavi menoleh ke arahnya dan kini tatapan mereka beradu. Avi menghela napasnya dan berjalan ke arah Lavi. Kini, hanya ada sedikit jarak yang membentangi mereka berdua. "Ada apa?" Avi menarik napasnya kemudian mengeluarkannya dengan tenang. "Aku nggak akan ngalah." Lavi mengerutkan keningnya. "Apa maksud lo?" "Kakak ingat dengan perkataan Kakak saat kita mendapatkan peringkat? Kakak bilang kalau kita suka sama cowok yang sama, kita harus nyerah. Dan aku nggak akan nyerah ataupun ngalah." Lavi semakin mengerutkan keningnya. Ia menatap Avi tajam. "Jadi, lo cinta sama David?" "Maaf..." Lavi terlihat seperti tidak mempercayai fakta yang baru saja ia ketahui. "Aku cinta sama David sejak aku belum tahu siapa namanya. Aku cinta David, Kak," ucap Avi sedikit berteriak. Lavi terlihat menggertakkan giginya. Bahkan, Avi dapat melihat kepalan di tangan Lavi. Tiba-tiba saja buliran kristal mengalir dari pelupuk Avi. Ia benar-benar tidak bisa menahan dirinya untuk mengatakan hal itu. Jika memang ikatan saudaranya dengan Lavi putus, maka ia akan melakukannya. "Aku nggak bisa biarkan anak aku hidup tanpa Ayahnya nanti. Jadi, aku nggak akan cerai. Aku rela meninggalkan semuanya demi David dan anakku. Itu janjiku." Setelah itu, Avi pergi meninggalkan Lavi yang masih bergeming di tempatnya. Wanita itu menatap punggung Avi dengan kilatan mata yang terlihat menyeramkan. Avi sendiri membuka pintu kamarnya dan ia terkejut melihat David yang baru saja bangun dari tidurnya. "Kamu habis dari mana?" Avi segera mengusap air matanya dan mencoba untuk tersenyum. "Minum." David tidak percaya. Ia beranjak dari ranjang dan berjalan ke arah Avi. Ia terkejut melihat pipi Avi yang basah. "Kenapa?" David mengangkat dagu Avi dan membuat kedua mata mereka saling bertatapan. "Siapa yang buat kamu nangis?" Kamu, bodoh! "Jangan nangis, ya? Kamu mau apa? Apa kita pulang aja?" Avi mengangguk. Ia ingin keluar dari rumah ini. Rasanya sangat sesak berada di rumah yang seakan-akan rumah ini bukan rumahnya lagi. "Yaudah, kamu cuci muka, setelah itu kita pulang. Aku tunggu di sini." Avi segera mengikuti apa yang dikatakan David. Ia pun melangkah ke kamar mandi dengan tubuh yang lemas. David sendiri masih terus mengerutkan keningnya karena heran dengan sikap Avi. Pasti sudah terjadi sesuatu. *** "Berhenti!" "Astaga, Avi!" Avi hanya tersenyum. Sedangkan David merasa kesal karena Avi memintanya untuk berhenti mendadak. Alhasil, mereka harus mendapatkan teriakan dari pengemudi yang lainnya. "Parkir di sana," tunjuk Avi pada sebuah toko bunga. "Ini sebentar lagi hujan, Avi. Kit---" "Ayo!" "Avi!" Avi tidak menggubris teriakan David dan malah turun dari mobil. David benar-benar kesal dan khawatir. Ia pun memarkirkan mobilnya dan turun dari sana dengan wajah yang merah padam. Ia langsung berlari ke arah Avi dan mencekal tangan Avi. "Kamu itu lagi hamil, Avi, ingat!" "Iya, aku ingat," balas Avi sambil menghentakkan tangannya. Dengan wajah kesal, Avi berjalan masuk ke toko bunga dan senyumnya langsung semringah ketika melihat berbagai bunga tertata rapi di sana. "Ingin bunga apa?" tanya seorang gadis yang Avi duga masih berusia belasan. "Kamu terlihat terlalu muda untuk bekerja," ucap Avi spontan. David dan gadis itu pun menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Kemudian, gadis itu tersenyum. "Siapa namamu?" "Iya?" "Namamu, cantik," ulang Avi. "Avi, jang---" Perkataan David terhenti karena Avi sudah meletakkan telunjuknya di atas bibir David. "Na-nama saya Annasya," jawab gadis itu. "Nama yang indah, aku ingin bunga seindah dirimu dan namamu." "Eh?" Sekali lagi David dan Annasya terlihat terkejut dengan perkataan Avi. "Cepatlah, aku sedang hamil dan aku tidak bisa berlama-lama." Gadis itu langsung melakukan apa yang Avi inginkan. Ia pun mulai mencari bunga yang diminta Avi. Sedangkan David, ia menggenggam tangan Avi dan membawa Avi untuk duduk di kursi yang disediakan di sana. "Kamu kalau mau apa-apa, bilang dulu. Jangan main pergi kaya gitu. Ingat, Avi. Kamu sedang hamil dan mengandung anak aku!" David terlihat marah dan Avi tahu itu. "Iya, aku nggak akan ngulangi itu lagi," jawab Avi pelan. Beberapa menit kemudian, Annasya kembali dengan satu buket bunga bewarna pink. Avi pun merasa senang dan bangkit untuk mengambil bunga itu. "Pink Rose?" Annasya mengangguk. "Saya tidak tahu bunga apa yang melambangkan diri saya, jadi saya mengambil bunga yang melambangkan anda. Anda sangat cantik dan seketika saja mengingatkan saya akan bunga mawar pink ini," jelasnya. Avi tersenyum. Ia pun menggenggam tangan Annasya dan merasakan kehangatan di tangan mungil itu. "Aku akan mengambil ini, dan aku akan kembali lagi kemari." Annasya ikut tersenyum. Begitu juga dengan David. Pria itu tampak bahagia melihat senyuman Avi. Setelah membayar bunga, mereka pun berjalan ke tempat parkir. Namun, tiba-tiba saja hujan mengguyur badan mereka. David segera mengamit tangan Avi untuk membawanya masuk ke dalam mobil, tapi Avi malah diam. "Ayo, Avi, ini nggak bai---" Perkataan David terhenti karena tiba-tiba saja Avi mengeluarkan air matanya. Meskipun dicampur air hujan, tapi David bisa melihat bahwa ada tangisan Avi di wajah itu. "Kamu kenapa?" Avi menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku cuma mengingat satu hal." David mengerutkan keningnya. "Satu hal?" Avi mengangguk. "Aku pernah meminta sesuatu pada Tuhan." David diam. Ia berusaha menjadi pendengar yang baik untuk Avi. "Dan Tuhan sudah mengabulkannya," lanjut Avi. "Apa permintaanmu?" Avi diam. Ia menatap mata indah milik David. Mata yang bisa menghantarkan listrik ribuan volt pada dirinya. Kemudian, ia mengingat lagi hari itu. Hari di mana ia datang ke festival lampion dan hari di mana takdirnya berubah. Avi pernah meminta sesuatu pada Tuhan sebelum membiarkan lampionnya lepas di langit malam. Tuhan, jika bisa, aku ingin David bersamaku. Maafkan keegoisanku, Tuhan. Permintaan aneh yang tidak pernah ia sangka akan menjadi kenyataan. Tangisan Avi semakin deras saat mengingat bahwa Tuhan benar-benar mengabulkan permintaannya. Oh astaga, bodohnya ia yang baru mengingat permintaan itu sekarang. "Avi..." "Aku bahagia, meskipun banyak hati yang terluka. Aku egois, kan?" David mengerutkan keningnya. Ia tidak paham dengan maksud Avi. Namun, ia tidak ingin menanyakannya dan memilih untuk mengusap air mata Avi yang sudah bercampur dengan air hujan. "Kita pulang, ya? Nanti kamu sakit." Tanpa menunggu persetujuan Avi, David mengamit tangan Avi dan membawanya ke dalam mobil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD