Dunia ini sempit. Begitu kamu melihat seseorang dengan hati. Kamu mulai memutuskan untuk mencintainya. Mencoba untuk kembali menemukannya. Dengan berbagai cara dan dalam situasi apapun. Inilah cinta dan takdir yang dipersatukan dalam sebuah kebetulan. Kebetulan yang diberikan hujan.
***
“Navila, wake up.”
Ribuan kali wanita berparas cantik itu mencoba untuk membangunkan kembarannya yang tengah tidur dengan pulas. Ribuan kali juga wanita cantik dengan surai hitam itu tidak juga sadar dari mimpinya yang indah. Ya, ia sedang bermimpi menunggang seekor kuda dengan pangeran yang sangat tampan. Itu adalah mimpi terbaiknya selama dua puluh delapan tahun ia hidup menjomblo. Sebuah mimpi yang selalu diidamkan setiap wanita. Sebuah mimpi di mana letak perasannya berada. mimpi yang membawa sejuta senyum dan kebahagiaan bagi setiap wanita yang memimpikannya.
Bagi Navila sendiri, atau biasa dipanggil Avi, mimpi tersebut merupakan mimpi yang selalu ia harapkan terjadi di kehidupannya bersama pria yang ia cintai dengan sepenuh hati. Bersama di sebuah alam bebas yang menampilkan halaman rumput yang hijau dengan angin sepoi-sepoi yang dapat membuat dirinya merentangkan tangan bersama dan menghirup oksigen serta aroma indah dari alam bebas. Sebuah halaman hijau yang disinari matahari dengan seorang pangeran dan seekor kuda. Menaikinya bersama dan tertawa bahagia dengan sempurna.
“Don't bother me, Lavi,” sanggah wanita yang dicoba untuk dibangunkan Lavi. Lavi, atau Lavina merupakan kembarannya saat ini benar-benar emosi dibuat olehnya. Tak habis pikir dengan kelakuan Avi sangat bertolak belakang dengan profesinya sebagai dokter. Ternyata benar, profesimu tidak selalu menampilkan kewibawaanmu. Perlu ia akui, siapapun yang membuat kalimat itu, maka ia akan setuju dan membelanya setengah mati.
“Please, wake up! Gue butuh bantuan lo.”
Avi tetap terlelap. Ia tidak mempedulikan Lavi yang terlihat kesal denganya. Bahkan sedetikpun kedua matanya tidak ia coba untuk buka. Ia terlalu untuk membuka kedua matanya setelah apa yang ia lalui semalam. Operasinya berjalan dengan sangat lama bahkan ia hanya bisa istirahat dua jam di rumah sakit.
“Avi, please wake up. If you wake up now, I will give you my EXO's ticket.”
Avi langsung tersadar. Ia dengan cepat duduk di ranjangnya dan menatap Lavi dengan wajah yang berbinar. Lagipula siapa yang tidak setuju mendapatkan tiket grup kesuaanmu yang gratis dan VVIP. Hanya orang bodoh yang tidak setuju. Sebenarnya Avi bisa saja mendapatkan tiket EXO kemarin, tetapi jadwalnya yang sibuk kemarin membuat dirinya kehabisan tiket yang sudah lahap dalam hitungan beberapa jam. Benar-benar kekuatan yang fantastis.
“Kalau gue ngomong tiket EXO aja lo cepatnya ngalahin kijang,” seru Lavi sambil duduk di samping Avi. Ia tidak menyangka bahwa tiket yang ia dapatkan secara gratis dari agensinya benar-benar berguna untuknya sekarang. Sebenarnya ia suka EXO, tetapi tidak sefanatik Avi. Ia ingin pergi, tetapi ada hal yang harus ia lakukan. Hal yang lebih penting dari tiket EXO. Lagipula ia bisa mendapatkan kembali tiket itu jika EXO mengadakan konser kembali. Itu semua kekuatan direkturnya yang memiliki istri seorang promotor.
Avi sendiri hanya tersenyum seraya memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. Katakan ia gila karena rela membiarkan tidurnya yang nyenyak hilang karena sebatas tiket. “Bantuan apa?”
“Gue diundang ke pesta, tapi malam ini gue ada penandatanganan agensi model Victoria Secret. Lo tau kan jadwalnya sekarang dan gue harus datang tepat waktu untuk memperihatkan kepada mereka kalau gue benar-benar layak.”
Tentu saja Avi tahu itu. Siapa yang tidak ingin menjadi bagian dari Victoria Secret dan mendapatkan pujian dari pemiliknya?
“Jadi?”
Lavi tersenyum dan memegang kedua pundak Avi. “Gue mohon banget, lo gantikan gue, ya?”
“Tapi kenapa aku?” tanya Avi polos. Sepertinya nyawa gadis itu masih belum kembali. Dan juga mengapa ia menanyakan kembali pertanyaan yang sebelumnya sudah seringkali ia tanyakan?
“Karena lo kembaran gue, dan mereka nggak akan tahu kalo lo itu Avi. Mereka tahunya lo itu Lavi, mau ya?” alasan yang sangat sempurna. Itulah baiknya memiliki kembaran serupa. Kembara yang serupa dan dapat mengganti kehidupan mereka sesuai dengan keinginan mereka masing-masing dalam waktu yang kapanpun.
“Tapi wajah kita ada perbedaannya, Lavi. Lagipula mereka itu teman-temanmu dan sudah pasti mereka yang dekat sama kamu akan langsung tahu dan jelas kebohongan ini nggak akan bertahan dalam itungan menit.”
“Tenang aja. Mereka bukan teman gue. Gue dipaksa datang ke pesta itu sama bos mereka, dan kalau gue nggak datang, maka hidup model gue akan hancur.” Penjelasan yang dikemukan Lavi seolah-olah membuat dirinya terancam. Padahal dirinya merupakan model top Indonesia yang tidak pernh melakukan kesalahan di dunia modelling. Bahkan karena prestasinya itulah ia bisa mendapatkan kesempatan menjadi model Victoria Secret tahun depan jika kontrak berjalan dengan lancar.
“Mereka ngancam kamu?”
Lavi mengangguk, dengan wajah super sedihnya. Sejujurnya itu bukanlah ekspresi yang bisa dengan mudah ia lakukan, tetapi demi harga dirinya yang saat ini sedang terancam, ia rela melakukan apapun. Meski melakukan hal yang tidak ia sukai.
“Mau ya? Lo kan kembaran gue yang terbaik,” goda Lavi sambil memohon kepada Avi dengan kedua tangannya dan wajah yang terlihat sedih. Benar-benar bukan tingkah seorang Lavi.
Avi memutar matanya jengah. “Baiklah, tapi janji tiket itu akan menjadi milikku?!”
“Gue janji demi Dewa Neptunus. Ya udah, gue pergi dulu, bye Avi. Jangan lupa, nanti jam enam,” kata Lavi, lalu pergi meningalkan kembarannya itu.
Avi sendiri mulai mengembuskan napasnya dan ia beranjak turun dari ranjangnya. Ini masih pukul dua siang. Ia tertidur selama satu jam. Tadi, Avi pulang ke rumah untuk istirahat setelah ia menjalani operasi yang berat di rumah sakit. Rumah sakit itu benar-benar membuat waktunya penuh dengan operasi setiap hari. Sebenarnya ia bisa mudah bekerja, jika ia menuruti permintaan bibinya, Alena, untuk bersantai. Namun, Avi tidak suka kemudahan. Bahkan, ia masuk fakultas kedokteran UI dengan usahanya sendiri. Tanpa menggunakan keluarganya yang cukup terkenal di Asia.
“Selamat siang, Ma,” sapa Avi sambil memeluk Aleta, ibundanya, dari belakang. Ia mencium aroma tubuh Aleta. Aroma itu selalu bisa meredakan rasa lelahnya. Aroma yang membuat dia merasa tenang dan sejuk. Hanya memeluknya saja, ia merasa berada di tempat terindah yang selalu ia bayangkan bersama pangerannya.
“Siang, sayang,” jawab Aleta dengan nada lembutnya yang menyegarkan pendengarannya.
“Mama masak apa untuk makan malam nanti?”
“Masak nasi goreng.”
Avi tersenyum mendengar hal itu. Ia penyuka nasi goreng, sama seperti Aleta. Masakan Indonesia yang saat ini benar-benar terkenal dan sangat cocok dijadikan sarapan, makan siang, dan makan malam. Sederhana tetapi menggoyahkan indera perasa setiap orang termasuk mereka.
“Oh iya, kamu nanti jam enam ada acara, nggak?”
Avi mengangguk. Sebenarnya ia tidak memiliki acara sama sekali, tetapi ini acara Lavi yang menjadi acaranya saat ini. “Kenapa, Ma? Avi malam ini harus menjalani tugas dari Lavi.”
“Menyamar lagi?” tanya Aleta sambil berbalik dan menuntun Avi ke sofa tengah. Ia menatap lekat-lekat mata Avi yang seindah mutiara laut. Putri keduanya itu sangat berbeda dengan si aktif, Lavi. Mereka kembar, tetapi memiliki banyak perbedaan. Bahkan, meskipun wajah mereka kembar, ada perbedaan yang membuat siapa Avi dan siapa Lavi. Kecantikan Lavi selalu terlihat saat ia bertingkah. Sedangkan Avi, kecantikan itu selalu terlihat dimanapun dan kapanpun. Namun, ia paham bahwa orang lain kecuali dirinya tidak dapat melihat perbedaan yang signifikan itu.
“Kamu tidak harus melakukannya, sayang.”
Avi menggeleng. “Avi suka kok, lagipula Lavi akan memberikan Avi hadiah.”
Lagi-lagi Aleta mengembuskan napasnya. “Baiklah, Mama tidak akan pernah lawan kamu.”
Avi tersenyum nyengir. Dan mereka pun tertawa bersama. Sederhana namun membahagiakan.
***
Benar-benar wajah wanita Asia yang sangat cantik. Penampilan Avi saat ini benar-benar memukau Fabian dan Nickholas. Mereka berdua terpukau dengan penampilan Avi saat ini. Gaun panjang bewarna hitam elegan dengan rambut yang disanggul rapi. Riasan wajah yang Avi kenakan sangat minimalis, tetapi tetap memancarkan aura kecantikan Asianya. Kali ini, ia benar-benar mirip Lavi, meski perbedaannya terletak di riasannya. Jika Lavi selalu glamour, maka kali ini tidak.
“Aku pikir kak Avi nggak bisa dandan,” ucap Nick dengan nada memujanya. Dan tentu saja hal itu membuat Avi sedikit malu karena perkataan Nick yang spontan. Adiknya itu memang selalu blak-blakan mengenai sesuatu. Apa pun yang ada di kepalanya, maka akan ia katakan tanpa memikirkan apapun. Ia berpikir kapan adik kesayangannya itu bisa merubah sikapnya itu.
“Jangan menggodaku, Nick. Sekarang siapkan mobilmu dan antar aku ke rumah itu.”
“Siap, Bos.”
Keduanya mulai bersiap-siap. Setelah Nick berlari untuk mengeluarkan mobil, Avi pamit pada Fabian, ayahnya yang sangat tampan, dan ibunya yang sangat cantik.
***
“Kak Avi nggak pernah mengalah?”
Saat di dalam mobil, Nick mulai mempertanyakan hal yang sudah biasa orang rumah tanyakan kepada Avi. Avi sendiri hanya tersenyum menanggapi hal itu. “Lavi itu Kakak kita, Nick. Sudah seharusnya yang muda menyerah.” Alasan yang masuk akal untuk dipahami Nick.
Nick mengembuskan napasnya. “Siapa yang bilang muda harus ngalah? Justru yang tua, Kakakku sayang,” ralatnya dengan cubitan di pipi Avi yang membuat Avi khawatir akan riasannya yang nanti rusak. Sikap Lavi mulai keluar di dalam dirinya. Antara sifat alaminya yang terkubur atau ia mencoba untuk menjadi Lavi sekarang. Hanya dirinya sendiri yang tahu.
“Terserah kamu saja,” ujar Avi sambil memalingkan wajahnya ke luar jendela. Di luar sedang hujan, dan ia tidak tahu apakah hujan ini menandakan hal yang buruk atau tidak. Yang jelas saat ini hujan membuatnya malas untuk meladeni Nick. Tidak akan ia pikirkan mengenai dirinya dan Lavi. Bodo amat akan hal itu.
Avi sangat suka dengan hujan. Baginya, hujan adalah tetesan air yang Tuhan beri untuk menemani hari-harinya. Hujan adalah rindunya yang berkepanjangan. Setiap kali hujan membasahi bumi, kedua memorinya akan selalu kembali pada hari itu. Hari disaat ia mulai mengenal yang dinamakan cinta.
Avi ingat, suatu hari ia menunggu jemputan di halte bus dan seketika itu juga hujan datang membawa secercah harapannya mengenai cinta. Hujan dengan derasannya membasahi tubuh bumi yang datar. Memberikan kehdiupan bagi para petani dan juga kehidupan bagi hatinya untuk mengenal cinta. Cintanya yang berawal dari mata. Mata indah yang pria itu miliki, serta senyuman yang memberikan secercah harapan untuknya hidup dengan kata cinta.
Pria itu sangat tampan. Dengan wajah Indonesia asli. Senyuman pria itu masih tergambar jelas di benak Avi. Pria yang mampu menggoncangkan dadanya dengan keras.Saat itu, pria yang memiliki senyum indah itu sedang menunggu mobilnya yang mogok. Sembari menunggu, pria itu bermain di bawah hujan tanpa takut terserang virus yang dapat membuatnya sakit. Pria hujan. Sebutan cinta dari Avi untuknya yang sudah terlihat sempurna di hati Avi.
“My Rain Man,” serunya pelan. Ia merindukan pria itu. Ia tidak akan tahu kapan waktu membuatnya bertemu kembali dengan pria hujannya. Pria yang berhasil menutup hatinya untuk pria lain. Pria asing yang berhasil masuk melalui celahnya. Pria pujaannya. Pangerannya. Rajanya.
“Kak, udah sampai. Aku jemput jam berapa?”
“Nanti Kakak telepon,”jawab Avi. Kemudian ia turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk, lalu memberikan namanya pada penjag, dan setelah namanya terdapat dalam daftar, ia pun diizinkan masuk. Sebelumnya, ia tidak tahu siapa pemilik pesta ini karena ia tidak menanyakannya sama sekali kepada Lavi. Ia hanya menjalankan tugas sekadar datang, bersandiwara, dan pulang setelah selesai.
“Lavina?”
Ia tersentak, kemudian menoleh dan terkejut melihat seorang pria tersenyum ke arahnya. Pria tampan yang sangat rapi dengan tuxedo-nya dan rambut yang disisir ke belakang. Bukan hanya itu, kedua lesung pipitnya menambah kesan ketampanannya.
Pria hujan, batin Avi.
“Aku terkejut kamu akan datang. But, this is you, right?”
No, batin Avi.
Avi tidak tahu harus merespon atau memberi reaksi bagaimana kepada pria di hadapannya. Ia tidak tahu namanya, tetapi ia tahu siapa yang ada di hadapannya saat ini. Pria hujannya, Rain Man-nya.
“Dance?” pria itu mengulurkan tangannya dan membuat Avi memandang tangan itu dengan lamat.
“You can dance, right? Aku dengar dari manajermu, kamu penari yang handal.”
Avi membeku. Ia bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya dengan baik. Ia bukan Lavi! Ia Avi, dokter bedah yang hanya tahu cara menggunakan pisau bedah. Berdansa? Tidak bisa. Ia sangat bodoh di olahraga atau kegiatan yang membuat ia kelelahan. Ia lebih suka teori dari praktek. Meski begitu sejak SMA, ia mencoba untuk mendapatkan nilai B di mata pelajaran olahraga.
“Aku tidak bisa berdansa dengan sangat baik sekarang,” ujar Avi bohong.
“Kenapa?”
Karena aku bukan Lavi, batinnya.
“Ehm, kakiku sakit.”
Pria itu mengangguk mengerti. “It’s okay, lagipula aku akan tetap mencintaimu.”
“A-apa?!” sepertinya Avi merasa ada yang salah dengan kedua telinganya. Pria di hadapannya yang adalah pria hujannya mencintainya? Ralat, mencintai Lavi? Tapi bagaimana?
“Kamu sudah menolakku sebanyak tiga kali, jadi apa lagi yang kamu kagetkan, Lavi?”
Avi terdiam. Ia mendadak diam. Ia tidak suka dengan ketahuannya mengenai perasaan pria hujannya. “Maaf, aku harus pergi.”
Avi hendak pergi, tapi pria itu mencekal tangannya dan membuat rambut Avi yang tergulung sempurna tergerai menutupi jenjang leher Avi. “Ingin kuantar, Avi?”
Deg...
Avi menelan salivanya. Ia tidak tahu bahwa pria ini mengenalinya, tapi bagaimana bisa? Ia sudah berdandan seperti Lavi dan mencoba untuk menjadi Lavi. Jadi, apa yang salah?
“Don't lie to me. You are Avi, right?” tanya pria itu sekali lagi.
Avi menatap dalam-dalam kedua mata cokelat itu. Mata pria hujan yang saat ini selalu memenuhi mimpinya. Mata bagaikan surga yang mampu membuatnya bangun dari tidurnya. Sebuah mata yang menjadi awal dari perasaan cinta itu. Pria hujannya yang selama ini selalu ia kagumi dan rindukan.
“Aku harus pergi,” ucap Avi terbata-bata. Ia melepaskan cekalan pria itu dan berlari meninggalkan istana megah itu. Meski kedua kakinya sakit, tetapi ia mencoba untuk terus berlari tanpa memerdulikan panggilan nama pria itu. Bahkan, ia membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Hingga akhirnya berhenti. Terdiam merasakan hujan untuk kesekian kalinya. Ia bingung, mengapa hujan selalu datang ketika dirinya merindukan atau bertemu pria hujannya? Mengapa hujan selalu hadir dalam cintanya?Ia membuka telapak tangannya, membuat rintik hujan jatuh dengan kasar.
“Kenapa aku lari? Aku bahkan nggak tahu namanya,” gumamnya kecewa.
***
“Ada yang tahu aku di pesta,” ujar Avi langsung.
Lavi yang tengah membersihkan wajahnya dengan berbagai cream menoleh ke arah Avi. “Ada yang kenal sama gue? Siapa?”
Avi mengedikkan bahunya. “Aku nggak tahu, yang jelas dia tahu aku dan kamu. Avi dan Lavi.” Seketika ia mengingat kembali kejadian itu. Setelah membiarkan hujan membasahi tubuhnya, ia pulang dengan taxi dan membuat semua orang khawatir karena ia basah kutup. Kedua orang tuanya bahkan Nick meminta penjelasan, tetapi Avi memilih untuk bungkam. Ini bukanlah masalah yang bisa ia katakan kepada mereka. Lagipula ini salahnya. “Dia bilang kamu nolak dia sebanyak tiga kali.”
“Tiga kali?”
Avi mengangguk.
Lalu, Lavi mulai mengingat sesuatu. “Astaga, Avi. Gue lupa, ternyata dia tuan rumah di pesta itu.”
Avi membuka mulutnya tak percaya. “Siapa namanya?”
“Kenapa? Lo suka?”
Otomatis Avi menggeleng. “Tidak.”
“Namanya David. Dia memang seperti itu. Selalu ngejar gue. Gue bingung sejak kapan dia tahu kalau ada Avi dan Lavi, padahal dia itu pengusaha tersibuk dan gue yakin dia nggak punya waktu untuk mencari tahu semua tentang gue.”
Avi terdiam mendengar penjelasan Lavi. Sesungguhnya ia merasa panas mendengar Lavi menceritakan bagaimana obsesi David kepada dirinya. Membayangkan fakta bahwa pria yang kita cintai ternyata mencintai kembaran kita membuat Avi sedih. Ia mencintai pria itu. Pria hujannya. David. Hanya sebatas itu ketahuannya tentang David.
“Kamu beneran nggak suka David?” tanya Avi gugup.
Lavi mengangguk dengan cepat. “Kalau lo mau, ambil aja.”
Avi tersentak. Bagaimana mungkin Lavi mengatakan kalimat itu dengan mudahnya. “Tap---“ Ucapan Avi terhenti karena ternyata Lavi sudah memejamkan matanya terlebih dulu. Avi menatap lekat-lekat wajah kembarannya itu, dan ia salut dengan kecantikan Lavi yang selalu terpancar dengan sempurna.Lavi sangat pandai merawat dirinya dan itu kadang membuat Avi iri. Namun, di satu sisi Avi bahagia dengan kondisinya yang biasa-biasa saja. Karena dengan begitu, ia tidak selalu dianggap sama oleh banyak orang.
“Selamat malam,” ucap Avi lalu mematikan lampu kamar dan terlelap bersama Lavi.
***
Keesokan paginya, Avi bangun lebih awal karena ia harus segera ke rumah sakit untuk bersiap-siap melakukan operasi di shift paginya. Setelah mengenakan pakaian resminya yang santai, Avi turun ke bawah untuk sarapan bersama Fabian dan Aleta, sedangkan Lavi dan Nick masih tidur, karena ini hari sabtu. Sepertinya di rumah ini yang benar-benar sibuk hanya Avi. Karena ia selalu pergi ke rumah sakit, meskipun sekadar memeriksa keadaan pasiennya.
“Selamat pagi, Ma, Pa,” sapanya pada Fabian dan Aleta sambil mengecup lembut pipi kesayangannya itu.
“Kamu ada operasi?” tanya Fabian sambil menyesap teh hangatnya.
Avi mengangguk dan mengambil dua lembar roti tawar serta selai strawberry.
“Lavi belum bangun?” tanya Aleta.
Avi mengangguk. “Kemarin pemotretan terakhirnya. Dia pasti capek.” Avi kemudian melirik arlojinya, dan ia sudah telat sehingga ia akan menghabiskan sarapannya di dalam mobil. “Iya sudah, Avi berangkat dulu ya. Bye, Pa, Ma.”
Setelah kepergian Avi, Aleta menoleh ke arah Fabian yang sudah mengalihkan fokusnya ke korannya. “Kamu nggak mau ngomong sama Lavi supaya nggak egois?”
Fabian mendongak dan mengerutkan keningnya. “Maksud kamu apa?”
Aleta mengembuskan napasnya. “Setiap kali ada acara yang nggak Lavi sukai, pasti Avi yang menggantikannya. Aku sudah mencoba bicara pada Lavi, tapi dia hanya mengatakan iya tanpa bertindak. Kamu bicara sama dia, ya? Siapa tahu dia nurut sama kamu.”
Fabian menatap istrinya itu dengan intens. Sifat Lavi memang terkadang menyusahkan seseorang, termasuk Avi. Fabian sendiri bingung kenapa kedua putrinya itu memiliki sifat yang sangat bertolak belakang. Mereka berdua sangat berbeda dengan Aleta dan Alena. “Nanti aku coba bicara sama dia,” ucap Fabian pelan.
Dibalik itu semua, Lavi mendengarkan seluruh pembicaraan Aleta dan Fabian. Mendengar hal itu, hati Lavi terasa sesak. Ia mengurungkan niatnya untuk sarapan, dan kembali ke kamarnya. Perkataan Aleta terus terngiang di otaknya. Ia memang saudara yang egois, tapi itu memang sikapnya. Lagipula kembar bukan berarti sama, kan? Avi ya Avi. Lavi ya Lavi. Lavi ingin sekali meneriakkan hal itu pada kedua orang tuanya yang memang Lavi anggap sangat mencintai Avi. Lavi sadar jika dirinya hanyalah gadis yang sering membuat ulah. Ia sangat paham akan hal itu. Ia memang kesal, tapi bukan berarti ia membenci Avi yang selalu menerima kasih sayang lebih dari keluarganya. Lavi menyayangi Avi, dan itu adalah fakta.
Drt...
Ponsel Lavi bergetar. Ia segera melihat siapa gerangan yang mengiriminya pesan sepagi ini.
David...
Pria itu benar-benar mengganggu Lavi. Terlihat sekali bagaimana terobesesinya pria kaya itu. Lavi membuka pesan yang pria itu kirimkan, dan ia membelalakkan mata karena isi pesan itu.
Bisa kita bertemu sore ini di Pantai tempat kamu pemotretan kemarin, ada yang ingin kubicarakan mengenai iklan. Kamu tahu sendiri tidak baik mengabaikan direktur setelah kemarin malam kalian membohongiku. Jam 7 malam. Tepat waktu.
Ancaman yang halus. Dan siapa sangka itu membuat Lavi geram. Ia benci David! Ia benci sikap obsesi pria itu.
***
Ini operasi kedua yang Avi selesaikan hari ini, dan ia berhasil dalam kurun waktu empat jam. Setelah meregangkan kedua tangannya, Avi berjalan ke kantin untuk membeli minuman dan beberapa roti. Ia perlu mengisi kembali perutnya. Setelah membeli roti dengan isi pisang cokelat, Avi membuka bungkus dan bersiap memasukkan roti itu ke mulutnya, tapi tiba-tiba saja roti itu menghilang.
“Adrian!”
Si pelaku kejahatan hanya nyengir dan berlari di sekitar lorong rumah sakit. Avi benar-benar geram dan malu, bahkan ia berulang kali meminta maaf ke semua orang atas perlakuan kekanakan mereka.Avi pun menghentakkan kakinya kesal. Adrian selalu saja mencari gara-gara dengannya. Pria yang memiliki usia lebih muda darinya itu benar-benar menyebalkan. Beruntung Adrian sepupunya, jadi ia bisa selamat dari amukan Navila.
Adrian Antonio Jadden, putra kedua Steven dan Alena. Adrian itu pria yang selalu ada di sisi Avi. Bukan hanya membuat Avi tertawa, tapi pria itu selalu membuat Avi geram dan kesal. Namun, meskipun begitu, Avi tetap sayang pada Adrian.
“Lemah, masa kamu nggak bisa ambil.” Adrian terus berjalan menaiki tangga dan tibalah mereka di rooftop rumah sakit.
“Kamu ini...” geram Avi sambil menjitak kepala Adrian. Si tersangka hanya terkekeh geli dan mencubit gemas pipi Avi.
“Kamu itu paling enak dijahilin, Vi. Jarang ada dokter jenius yang selalu dijahilin.”
Avi mencibir dan berjalan ke balkon. Ia mengembuskan napasnya dalam-dalam dan menikmati aroma Jakarta yang entah mengapa sedikit segar hari ini. “Lebay.” Adrian benar-benar perusak suasana. Avi pun menoleh ke arah Adrian dengan tajam. “Nggak bisa lihat aku senang, ya?”
“Memang,” jawab Adrian singkat.
“Dasar...”
Mereka berdua kemudian tertawa melihat kekanakan mereka di usia yang terbilang sudah dewasa. Banyak hal yang berkecamuk di pikiran keduanya. Apalagi Adrian, pria itu terus menatap wajah cantik Avi. Ia tersenyum lembut, tapi senyuman itu tiba-tiba berubah. Ia mencintai Avi, tapi sudah pasti orang tua mereka akan menentangnya. Mereka sepupu dan keluarga mereka tidak akan mudah menerimanya, terutama keluarga Adrian.
“Kamu pernah, nggak, cinta sama orang yang nggak bisa kamu miliki?” Avi bertanya tanpa menatap Adrian.
“Pernah.”
Kali ini Avi menoleh. Namun, giliran Adrian yang memandang lurus ke depan. Ia tidak ingin menatap mata indah Avi ketika ia mengatakan hal itu.
“Hidup kadang menyebalkan, Vi. Kita nggak bisa dengan mudah milih jodoh. Tuhan sudah mengatur semuanya. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka semua harus kita ikuti. Udah takdir alam. Sama kayak hujan yang jatuh bumi. Bumi nggak bisa minta ke hujan buat turun disaat bumi butuh.”
Terdengar helaan napas Avi yang kuat. Tiba-tiba saja raut wajahnya berubah. Ini sama saja bahwa dirinya tidak akan bisa bersama dengan David. Ibaratnya ia bumi, ia tidak bisa meminta pada hujan untuk sekadar menyapa disaat ia butuh.
“Tapi hujan juga mendatangkan pelangi.”
“Iya, hanya sekejap, Vi.”
Avi tahu itu. Pelangi datang hanya sekejap. Sangat tidak terasa dan berbeda dengan badai yang memiliki efek yang banyak.
“Kamu kenapa tiba-tiba nanya hal itu, Vi? Aneh tau nggak.”
Avi hanya tersenyum miris. “Habis baca n****+ tentang hujan.”
“Karya siapa?”
“Biasa. Boy Candra.”
“Emang dia punya karya yang tentang hujan?”
“Ya ada lah. Aku pernah cerita yang Setelah Hujan Reda, kan?”
“Oh yang itu. Bukannya udah kamu baca? Kenapa dibaca lagi?”
“Selain itu. Ada karya barunya. Kalau yang SHR tentang cerpen, yang aku baca ini novel.”
“Yaudah lah, Vi, sama aja.”
“Ya beda, Ian ... sama kayak kamu pergi meet up bareng teman atau klien. Namanya emang pertemuan, tapi tetap aja berbeda.”
“Astaga...”
Avi tersentak dan bingung saat melihat Adrian yang terkejut. “Ada apa?”
“Aku ada janji dengan teman Papa, aku pergi dulu, bye...”
Hening. Avi sendirian lagi. Adrian memang selalu sibuk, padahal dia bukan CEO seperti kakaknya, Ronald. Ia memilih untuk berjalan dengan santai dan turun dari rooftop. Saat berjalan di koridor, Avi tidak sengaja menabrak seseorang dan ia terkejut saat melihat siapa yang ditabraknya itu.
“Avi.”
Avi membeku. Tenggorokannya tercekat seiring dengan pernapasannya yang akan habis. Jantungnya berdetak dengan kencang, seperti halnya kedua matanya yang tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini juga.
“Bisa kita bicara?”
Avi mengerutkan keningnya. Ia ragu David datang ke tempat ini karena ketidaksengajaan.
“Ini tentang Lavi...”
Sudah ia duga. Hati Avi rasanya bagai disengat ribuan volt. Dengan mudah pula ia mengangguk dan menuntun David ke ruangan pribadinya. Setibanya di sana, mereka memilih duduk di sofa dan saling berhadapan.
“Aku akan langsung ke inti,” kata David langsung.
“Silakan.”
“Bisakah kamu membantuku melamar Lavi malam ini?”
Avi bungkam. Dunianya mendadak berhenti. Tidak ada lagi hal yang paling mengejutkan di dunia ini bagi Avi, selain permintaan David. Ini benar-benar gila. Ia tidak percaya akan pendengarannya.
“Bagaimana? Kamu hanya perlu mengajak Lavi ke Vila malam ini.”
Avi tetap diam. Pikirannya tidak tenang. Berbagai hal mulai melintas di kepalanya.
“Jangan salah paham, aku akan melamarnya di sana. Aku sudah mengajaknya untuk melihat acara lampion malam ini, dan mungkin agak sulit untuk membujuknya ke sana. Jadi bagaimana? Kamu mau?”
“Kenapa harus aku?”
David mengangkat sudut bibirnya. “Kamu saudaranya dan juga kamu harus membayar apa yang kamu lakukan tadi malam di pestaku, Avi.”
Avi semakin mengerutkan keningnya. “Memangnya aku salah apa?”
“Kamu membuatku berpikir kamu adalah Lavi.”
Alasan yang aneh, batin Avi.
Avi terdiam cukup lama. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.
***
Tepat setelah operasinya selesai, Avi dijemput Lavi atas permintaannya sendiri. Ia beralasan kepada Lavi bahwa dirinya ingin liburan sejenak dan hanya ingin ditemani oleh Lavi. Lavi yang tidak bisa menolak permintaannya, tentu saja setuju. Dan saat ini juga, keduanya tengah bingung mencari tempat terbaik untuk duduk sekaligus untuk nanti. Karena dari pengumuman yang ada, akan ada pesta lampion saat waktu menunjukkan jam delapan tepat.
“Dekat sama laut aja, sekalian main air. Udah lama kita nggak main air,” ajak Lavi seraya mengamit tangan Avi dan mengajaknya berlari ke pinggir laut. “Mau es campur? Gue pesenin?” tawar Lavi.
Avi mengangguk dan membiarkan Lavi pergi ke tempat jualan yang letaknya lumayan jauh dari tempat mereka duduk. Kemudian Avi mengembuskan napasnya dan memandang lurus ke laut biru yang sudah lama tidak ia lihat. Terakhir kali ia melakukannya saat pemotretan keluarga Lachowski dan Keegen.
“Bengong aja.” Avi terkesiap. Ia menoleh ke asal suara dan sudah ada David yang tampak gagah dengan kemeja biru mudanya. Ditambah kacamata hitam yang terlihat mahal, membuat ketampanan pria itu semakin bertambah.
“Kamu kenapa di sini?”
“Kamu lupa?”
Avi mengerutkan keningnya. “Lupa apa?”
“Dasar, rencana kita.”
Avi ingat. Rencananya dan David untuk melamar Lavi.
“Bagaimana?”
Avi masih bingung harus mengatakan 'iya' atau 'tidak'.
“Kenapa diam?”
Avi mendongak dan memandang mata cokelat milik David yang indah. “Kalau aku setuju, ada hadiah?”
“Ternyata semua perempuan itu butuh hadiah, ya.”
“Tidak ada yang gratis di dunia ini, Tuan.” Avi terlihat kesal dengan sikap David.
“Oke, aku bakalan kabulkan semua yang kamu minta,” kata David yakin.
“Sungguh?”
David mengangguk.
“Baiklah, aku akan membantumu.”
“Ingat, di Vila Nuansa. Jangan terlambat dan jangan terlalu cepat, harus tepat waktu.”
Avi mengangguk pelan, dan ia membiarkan David pergi meninggalkannya sendiri. Ia melihat punggung tegap itu. Punggung yang sangat ingin ia peluk meski itu tidak mungkin.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan kurang satu jam lagi acara yang sudah David dan Avi siapkan akan mulai. Beberpa menit kemudian sudah terjadi, kegelisahannya kian menjadi-jadi. Jika Lavi menerima lamaran David malam ini, maka semuanya akan hancur total. Dan harapannya untuk memiliki David akan sia-sia. Itu berarti ia harus segera melupakan pria itu.
“Ini pegang,” kata Lavi sambil memberikan satu lampion berbentuk awan kepada Avi. “Close your eyes, make a wish in your heart, and let it go to the cloud!”
Sesuai perintah Lavi, Avi menutup matanya dan mengucapkan satu permintaan yang sangat ingin ia ajukan. Setelah itu ia melepaskan lampionnya bersamaan dengan ratusan lampion lainnya.
“Lo ingin tahu apa permintaan gue?”
Avi tersenyum. “Apa?”
“I wish, my Prince will give me a surprise. Like a sentence 'will you marry me?' this is my wish.”
Avi terdiam. Permintan Lavi akan terkabul dengan segera dan dunia percintaannya dengan pria hujan akan berakhir.
“Gue harus pergi.”
“Ke mana?” tanya Avi.
“Gue ada janji di Vila. Lo bisa tunggu di sini?”
Avi diam. Ternyata Lavi akan pergi. Tanpa permintaannya. Ini mengartikan bahwa semuanya hanyalah rencana David. Bukan dirinya. “Pergilah, aku juga harus kembali ke rumah sakit. Adrian sudah mengirim pesan untuk menjemputku.”
“Sungguh?”
Avi mengangguk. Meski itu bohong. Dan kemudian Lavi pergi meninggalkan dirinya yang mulai melamun menatap ombak dan beberapa lampion yang terbang ke awan.
Aku juga berharap permintaanku terkabul, batin Avi.
Kemudian Avi menghela napasnya. Ia memejamkan mata sembari menikmati desiran ombak yang menerbangkan rambutnya. Aroma laut yang segar dan angin sepoi-sepoi. Ia sudah lama tidak merasakan momen ini dikarenakan kesibukannya sebagai dokter bedah. Sehingga ia menikmatinya untuk beberapa menit kemudian.
Lalu, entah mengapa, satu tetes mengalir di pelupuk matanya. Ia dengan segera membuka mata dan mengusapnya, lalu tersenyum. "Bodoh, dia nggak pernah jadi milik kamu," gumamnya pada diri sendiri ketika menyadari bahwa kisah percintaannya akan berakhir saat ini juga.
Drt...
Avi tersentak. Ia merogoh ponselnya dan mengerutkan kening ketika mendapatkan pesan masuk dari David. Dengan cepat ia membukanya dan membacanya perlahan.
Lavi menolakku.
Avi buru-buru berdiri. Ia langsung berlari menemui David di Vila yang sebelumnya pria itu jadikan sebagai lokasi acara lamaran Lavi. Ketika ia berhenti tepat di depan vila itu, ia melihat David yang duduk lemas di meja yang penuh dengan bunga, makanan dan minuman alkohol.
David mabuk. Itu yang Avi pikirkan. Ia melihat sekeliling, mencoba untuk mencari di mana Lavi, tapi kembarannya itu tidak ada. Hingga akhirnya, ia memberanikan diri untuk melangkah ke arah David dan berdiri tepat di depan pria itu.
David mendongak menatapnya dan tersenyum. "Kamu kembali?"
Avi mengerutkan keningnya. David pasti berpikir bahwa ia adalah Lavi. Akhirnya ia mengembuskan napasnya dan mengulurkan tangannya pada David. "Sebaiknya kamu pulang."
Avi melihat David mengamati tangannya, lalu sedetik kemudian David menerima uluran tangannya dan berdiri seraya memeluk tubuhnya. Avi dibuat terkejut, sekaligus dibuat berdebar karena perlakuan yang diterimanya sekarang ini.
"Aku mencintaimu..."
Lalu, David mulai melepaskan pelukannya dan detik itu juga ia mulai mencium Avi yang masih dibuat shock. Ciuman itu semakin menuntut dan Avi mulai merasakan bahwa David sudah kehilangan kendalinya. Avi mencoba untuk melepaskan diri, meski sebenarnya ia sangat menikmati itu. Namun, David semakin mempererat pelukannya sampai pria itu malah menarik tubuhnya masuk ke dalam vila dengan paksa, mengabaikan rontaan Avi yang terus berusaha melepaskan diri.