"Avi!"
Avi terkesiap ketika David pulang dari kantornya dan menemukan dirinya sedang bermain hujan. Sebenarnya, Avi tidak main hujan, hanya saja tadi ia kehujanan, jadi ia lanjutkan saja. Toh, ia tidak salah. Lagipula Avi pikir tidak apa-apa untuk bermain selagi ia melakukannya di taman belakang.
"Masuk!" Suara tegas David terngiang di kepalanya. Ia takut dengan kemarahan David, tapi ia tidak ingin berhenti.
"Lima menit lagi, David," rengek Avi.
"Tidak ada kata lima menit, masuk sekarang juga atau aku bakal cari cara buat ngusir kamu dari rumah sakit itu!" Ancaman itu lagi. David benar-benar pengecut. Selalu mengancamnya supaya ia keluar dari rumah sakit sebagai dokter. Menyebalkan sekali.
"Cepat Navila Alvareno!"
"Namaku Navila Keegen!" ralat Avi sedikit berteriak.
"Namamu sudah aku rubah, Avi. Dan juga, kenapa kamu masih di situ? Kamu mau membuat anak aku sakit, Navila?"
Avi sangat kesal. Ia menghentakkan kakinya dan berjalan ke arah David dengan tatapan tajamnya. David tersenyum puas.
"Puas?!"
"Sangat, Navila. Sekarang masuk ke kamar dan bersihkan diri. Aku buatkan s**u dulu."
Dengan langkah yang kesal, Avi berjalan ke lantai atas dan berhasil membuat lantai becek. Sebelum membuatkan Avi s**u, David meminta para pelayan untuk membersihkan lantai agar nanti Avi tidak apa-apa saat berjalan.
Sedangkan Avi, ia berhasil tiba di kamarnya dan langsung berjalan ke kamar mandi. Setelah itu ia keluar dan mengambil pakaiannya. Ia mengenakan celana pendek dan kaos kebesaran. Ia berjalan ke meja rias, dan melihat dirinya di cermin. Rambutnya masih basah dan ia tidak suka menggunakan hair dryer. Ia lebih suka membiarkan rambutnya kering sendiri.
Tepat saat itu David datang dengan segelas s**u strawberry. Ia berjalan ke arah Avi dan memberikannya pada Avi. Avi menenggaknya dengan cepat dan mengembalikan gelas itu pada David.
David meletakkan nampan di atas nakas dan berjalan ke walk-in closet. Ia keluar dengan sebuah handuk kecil. Kemudian, ia berjalan ke arah Avi dan itu semua membuat Avi bingung. Tiba-tiba saja David meletakkan handuk itu di kepala Avi dan mengeringkan rambut Avi.
"Kalau nggak dikeringkan, kamu bisa masuk angin. Jangan dibiasakan."
Avi tersentuh. Ia merasa bahwa perlakuan David benar-benar jauh dari kata sempurna. Ia pun tersenyum semringah.
"Besok kita ke Lombok."
Avi mengerutkan keningnya. "Kenapa ke Lombok? Memangnya ada apa?"
"Liburan."
Avi mengambil handuk yang ada di tangan David dan menatap manik cokelat David. "Kok dadakan? Besok aku ada operasi, dan Danie---"
"Aku udah kasih tahu Bibi Alena. Operasi kamu akan digantikan Adrian." David mengambil kembali handuk yang diambil Avi dan ia kembali mengeringkan rambut Avi. "Kamu nurut, ya? Jangan bantah suami."
Avi mempoutkan bibirnya. "Kenapa sih kok aku harus nurut suami? Papa aja takut sama Mama."
David terkekeh geli karena pertanyaan aneh Avi. Ia menyampirkan handuk kecil itu di bahunya, sedangkan kedua tangannya menangkup pipi Avi. "Itu udah kewajiban kamu, Avi. Lagipula aku ngelarang kamu ini itu supaya kamu nggak kualat. Mau kualat sama suami?"
Avi terdiam. Ya Tuhan, ia bisa merasakan jantungnya berdetak tidak karuan karena perhatian David. Tiba-tiba saja air matanya jatuh dan itu membuat David bingung.
"Kenapa?"
Avi menggigit bibir bawahnya dan menggeleng. "Kenapa kamu perhatian sama aku? Kamu nggak cinta sama aku, David."
"Karena aku suami kamu. Karena aku ayah dari bayi kamu dan juga, nggak butuh cinta untuk kasih perhatian ke orang lain." David menatapnya lekat dan merengkuh tubuh muncul Avi. Tidak lupa ia mengelus punggung Avi untuk menenangkannya. "Maaf, kalau aku buat kamu nangis dulu, sekarang, dan besok. Percayalah, aku nggak ada niatan untuk melakukan itu semua."
Avi bingung. Seperti ada tersirat makna yang menyedihkan dari perkataan David. Namun, ia mencoba untuk tidak berpikir negatif karena ia tahu bahwa itu hanya akan membuatnya sakit.
David melepaskan pelukan Avi dan tersenyum manis ke arah Avi. Oh ya Tuhan, itulah senyuman yang selalu Avi rindukan. Senyuman yang membuat dirinya luluh akan sosok pria hujannya.
Keesokan harinya, Avi memasang wajah cemberut pada David. Mulai pukul 12 malam, ia tidak bisa tidur. Ia pikir David akan ingat ulang tahunnya, tapi ternyata tidak. Pria itu hanya tidur dan kerja di ruangan pribadinya. Di rumah ini, hanya Devine -lah yang mengucapkannya ulang tahun. Ia tidak suka ini. Sekarang, ia sudah melewatkan ulang tahun pertamanya bersama David.
Avi beranjak dari tempatnya dan duduk di sofa sembari memainkan ponselnya. Ada ucapan-ucapan selamat dari temannya, dan ia baru saja membukanya.
"Udah siap?"
Avi terkesiap dan kedua manik cokelatnya menangkap sosok David yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Pesawatnya jam 10, ayo." David berjalan ke arah walk-in closet dan mencari pakaian formal yang akan ia kenakan. Avi hanya mengembuskan napasnya dan mulai berjalan ke kamar mandi.
Setelah membersihkan diri, Avi langsung disuguhi s**u strawberry buatan David. Ia mengambilnya dan meminumnya sekali tenggak.
"Ayo," ajak David sambil menggandeng tangan Avi. Mereka turun ke lantai bawah dan pamit pada Devine.
"Aku capek," ucap Avi pelan. Akhir-akhir ini daya tahan tubuhnya mulai berkurang dan itu membuatnya cepat lelah.
"Ah... David..." Avi berteriak ketika David sudah menggendongnya ala bridal style dan membawanya masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil itu, David tidak membiarkan Avi duduk di jok, melainkan di pangkuannya. Dan tentu saja itu membuat rona merah di pipi Avi muncul.
"Tidur aja," suara David memecahkan keheningan di mobil itu. "Nanti kalau udah sampai, aku bangunkan."
Avi mengangguk. Lagipula ia kurang tidur semalam. Ia pun merebahkan kepalanya di d**a bidang David dan tidur dengan nyenyak.
Setibanya di Lombok, mereka langsung dijemput oleh suruhan David dan membawa mereka ke daerah Mataram, tempat di mana Vila yang akan mereka tempati berada. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba di sana.
David mencoba untuk membangunkan Avi yang faktanya langsung tertidur begitu ia masuk ke mobil, tapi David berhenti mengguncang bahu Avi ketika ia melihat bagaimana damainya ia tertidur. Akhirnya, David menggendong Avi ala bridal style.
Setibanya di Vila, David merebahkan tubuh Avi dan tersenyum melihat wajah cantik yang begitu damai. Ia melepaskan sandal yang digunakan Avi dan menaikkan selimut lembut itu sampai leher Avi.
David berjalan ke luar dari kamar itu dan berjalan ke arah sofa. Ia mengusap wajahnya gusar dan ingin sekali berteriak. Ia benar-benar tidak habis pikir, mengapa ia bisa menyakiti hati selembut Avi dengan cara seperti ini.
Drt...
Ponselnya berdering. David mengusap layar dan membaca pesan yang masuk ke dalam ponselnya itu. Lavi.
Lavi: Aku merindukanmu, kamu di mana?
David mengembuskan napasnya. Inilah saat di mana ia harus menentukan sesuatu. Jika ia membalas pesan ini dan menjawab pertanyaan Lavi, maka ia sudah berkhianat.
Lavi: Tidak bisakah kamu sedikit perhatian sama aku? Aku cuma butuh kamu.
Pesan kedua itu benar-benar menghantam d**a David.
David: Aku di Lombok, lusa aku akan kembali.
Setelah itu David mulai menghapus pesan Lavi dan menonaktifkan ponselnya. Ia tidak ingin liburannya dengan Avi terganggu sedikitpun. Ia mengembuskan napasnya lagi dan melihat betapa pulasnya Avi tertidur, kemudian ia berdiri dan mulai pergi ke suatu tempat.
***
Hal pertama yang Avi lihat ketika matanya terbuka adalah wanita paruh baya yang mengenakan baju pelayan. Avi mengerutkan kening bingung dan mencoba untuk menyesuaikan penglihatannya, seandainya ia salah lihat. Namun, ia tidak salah lihat karena wanita itu tersenyum kepadanya dan langsung menyampirkan selimut kecil yang sangat lembut ke pundaknya.
"Silakan," ucap wanita itu. "Tuan sudah menunggu anda."
"Tuan?" Avi bertanya. "Siapa?"
"Anda akan tahu saat tiba di sana, mari."
Avi terdiam, tapi ia tetap berdiri dan mengikuti wanita itu menuju halaman belakang Vila yang ia tahu di mana tempat melihat tepi pantai yang indah.
"Kenapa ke sini?" tanya Avi. Ia mulai takut dan kedinginan. Beruntung selimut itu ada untuk menghangatkan tubuhnya.
"Silakan." Wanita itu menyamping dan memperlihatkan sesuatu yang menyala terang di tepi pantai. "Tuan David sudah menunggu anda."
Avi terkejut, tapi ia berjalan ke depan untuk melihat lebih jelas apa yang ada di samping David. Dan langkahnya terhenti. Tangannya menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut.
Meja bulat, kue berbentuk love, lilin-lilin yang indah, makanan yang lezat, dan tulisan di atas kue it ; Selamat Ulang Tahun, Avi.
"David..." Avi menoleh ke arah David yang tersenyum ke arahnya. "Ini apa?"
David mengembuskan napasnya dan berjalan ke arah Avi. Ia memegang pundak Avi dan membuat Avi duduk di kursi. Ia sendiri kembali ke tempatnya berdiri dan duduk di kursi satunya.
"Selamat ulang tahun. Maaf, aku terlambat mengucapkannya. Ini kejutan untukmu," ucap David lembut.
Avi tertegun. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Jika ini benar mimpi, maka biarkan mimpi ini terus berjalan.
"Make a wish?"
Avi mengangguk. Ia melihat dulu kue indah itu dan merasakan tangisannya mulai turun. Beruntung David tidak melihat air matanya. Ia memejamkan matanya dan mulai mengucapkan permintaan terbesarnya; Ia dan David hidup bersama dan bahagia selamanya. Meskipun sulit, ia tetap akan meminta hal itu.
Setelah membuka matanya, ia meniup lilin dengan semangat dan membuat keduanya tertawa senang. Saat itu pula David melihat air mata Avi. Ia tersenyum dan menggenggam tangan Avi.
"Jangan menangis, nggak baik buat semua orang."
Avi tersenyum dan mengusap air matanya. "Ini cuma terlalu sempurna."
"Ini masih belum."
Avi mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
"Lihat ke langit malam," pinta David.
Avi pun melakukan apa yang diminta Avi dan tepat saat itu, kembang api yang sangat banyak muncul dan membuat langit malam menjadi luar biasa indahnya. Namun, itu tidak seberapa, karena di akhir kembang api ada sebuah tulisan yang membuat Avi tercengang luar biasa.
'Mari kita hidup bahagia'
Avi tidak bisa menahan air matanya. Ia menangis dan tersenyum ke arah David yang masih menatap jauh ke langit malam.
Ya Tuhan, bagaimana bisa aku berhenti mencintai pria yang membuatku bahagia disaat cinta tidak ada di hatinya? Demi apa pun, aku akan tetap mencintainya, Tuhan.
***
Keesokan paginya Avi terbangun dengan suasana hati yang berbeda. Semalam, ia otomatis menghabiskan waktu bersama David dengan berbagai cara. Memainkan permainan monopoli, jalan-jalan di malam hari, dan menceritakan apa yang harus suami istri ketahui. Karena hal itu, Avi jadi tahu apa saja yang David sukai dan tidak ia sukai. Begitu juga dengan sebaliknya.
"Ini minumlah." David menyodorkan gelas yang berisikan s**u strawberry kepada Avi. Avi pun menerimanya dan meminumnya sekali tegak.
"Hari ini mau ke mana?" Tanya David seraya meletakkan gelas kosong itu ke sampingnya. "Ada festival di pantai, mau ke sana atau ke tempat lain?"
Avi tampak memikirkan segalanya. "Ke pantai aja. Festival apa emang?"
David berjalan memutari meja makan dan duduk tepat di hadapannya. "Festival lampion dan layang-layang."
Sontak Avi diam. Hal itu mengingatkannya pada malam itu. Malam yang menjadi awal dari kehidupan barunya. Malam yang akan menjadi awal kehancuran ikatannya bersama Lavi. Haruskah ia berterimakasih pada malam itu atau tidak?
"Hei, kenapa? Nggak suka?"
Avi terkesiap dan menggeleng. "Suka, kok."
David tersenyum dan tepat saat itu Avi melihat senyumannya. Dan Avi begitu bahagia karena dirinya bisa melihat senyum itu.
"Kamu makan sendiri dulu, ya? Aku mau mandi. Tadi nggak sempat mandi karena keburu nyiapin makanan kamu."
Avi mengangguk begitu saja dan membiarkan David pergi ke kamarnya. Ia melihat-lihat makanan yang tertata rapi di depannya dan ia begitu bahagia. Seharusnya dirinyalah yang menyiapkan semuanya, tapi David yang melakukannya. Namun, Avi tidak akan terlalu menyesal. Dan juga ini semua harus diabadikan.
Ia mengambil ponselnya dan mulai membuka i********:. Kemudian ia memotret makanan buatan David dan meng-upload-nya.
navila.keegen Terima kasih untuk sarapannya. Kami(with baby) akan menikmatinya @alvareno_david
adrian_ honeymoon kedua?
danielsmith terima kasih sudah menyerahkan tugasmu kepadaku dan dokter Adrian. Selamat liburan...
aletalach selamat liburan, sayang
devinealvareno Jaga David ya, sayang
nickeegen di mana, kak?
alenalach cepat kembali, sayang
lavina_keegen romantis.
Avi menghentikan senyumannya ketika ia membaca komen yang Lavi tulis. Hanya satu kata dan entah mengapa itu membuat Avi sesak.
Saat akan keluar dari i********:, post atas nama 'lavina_keegen' muncul.
lavina_keegen Bad Holiday Place : Lombok Island#JustMissHim
Dada Avi kembali sesak. Membaca hastag yang Lavi sertakan, membuat ia tidak bisa mengatakan apapun. Bukan hanya hastag itu, tapi keberadaan Lavi membuat Avi was-was. Lombok. Tempat yang sama dengan di mana dirinya berada. Oh astaga, kenapa pula diantara beribu tempat, mereka harus berada di satu tempat?
"Sudah selesai sarapannya?"
Avi terkesiap dan menemukan David yang sudah rapi dengan pakaian santainya. Benar-benar seperti anak remaja.
"Kok belum?" Tanya David heran seraya duduk di hadapan Avi. "Nggak enak?"
Avi cepat-cepat menggelengkan kepalanya dan memakan makannya dengan lahap. "Ini enak, kok."
David heran melihat hal itu. Ia mengerutkan keningnya dan merasakan ada sesuatu yang Avi sembunyikan. Ia menghela napasnya, mengambil air putih, dan menyodorkannya pada Avi. "Jangan cepat-cepat, minum dulu."
Avi meletakkan sendoknya dan meminum minuman yang David berikan.
"Mau apel? Aku potongkan," tanya David.
Avi langsung mengangguk. Ia memang ingin apel akhir-akhir ini dan David selalu menyediakan apel. David pun beranjak dari tempatnya dan pergi ke lemari es untuk mengambil buah apel. Sedangkan Avi, ia kembali fokus ke caption yang tertera di i********: Lavi. Ia benar-benar tidak bisa berpikir positif. Bisa saja Lavi datang untuk pemotretan.
Beberapa saat kemudian David muncul dengan piring kecil yang berisikan buah apel merah. Ia mengambil apel itu dan memakannya dengan pelan.
"Setelah ini kita pergi," ucap David dan hanya dibalaskan sebuah anggukan oleh Avi.
***
Buruk...
Suasana hati Avi memang sangat buruk. Meskipun banyak hiburan yang ia terima di festival ini, tapi itu semua tidak bisa membuat hati Avi merasa nyaman kembali. Jiwanya masih tertuju pada Lavi. Ingin sekali rasanya ia menghubungi Lavi dan mencari tahu di mana sebenarnya ia berada. Namun, tentu saja ia tidak bisa melakukan hal itu, mengingat bahwa dirinya dan Lavi sedang berada diambang kehancuran tali persaudaraan.
"Aw..."
"Kamu nggak apa-apa?" David menyentuh pundak Avi karena wanita itu hampir saja terjatuh karena melamun. Terlihat sekali David tampak khawatir. "Kamu kenapa?" Tanyanya.
Avi hanya menggeleng. "Aku nggak apa-apa," ucapnya kemudian melepaskan diri dari David dan mencoba untuk berjalan sendirian menikmati festival lampion yang anehnya diadakan di pagi hari.
Sedangkan David sendiri, ia hanya bisa mengembuskan napasnya seraya melihat keanehan Avi.
Drt...
Ponselnya berdering saat ia akan berjalan ke arah Avi. Ia merogoh ponselnya dan di sana tertera nama Lavi yang mengirimnya sebuah pesan.
Berbalik!
David mengerutkan keningnya bingung, tapi ia tetap melakukan apa yang Lavi kirimkan dan terkejut melihat keberadaan wanita itu. David bingung harus melakukan apa. Ia menoleh sebentar ke arah Avi dan istrinya itu masih berjalan dengan santai, kemudian ia kembali menoleh ke arah Lavi.
Lavi tersenyum ke arahnya dan langsung berlari ke dalam pelukannya. Itu benar-benar membuat David terkejut. Bahkan, saking terkejutnya, ia sampai tidak bisa menggerakkan tubuhnya untuk melepaskan diri dari Lavi. Oh tidak, jika Avi melihatnya maka semuanya akan kacau.
"Aku benar-benar merindukanmu." Lavi melepaskan pelukannya dan menatap David dengan penuh cinta. "Aku ada di Vila sebelahmu. Datanglah dan aku akan menunjukkanmu sesuatu."
Tanpa menunggu penjelasan David, Lavi berbalik dan menjauh dari hadapan David. Tepat saat itu, Avi berbalik.
"David..."
David langsung terkesiap. Ia menoleh ke arah Avi dan tersenyum. Kemudian ia berlari dan menggandeng tangan Avi secara spontan. Tentu saja itu membuat Avi terkejut setengah mati.
"Kita pulang, ya?"
Avi mengerutkan keningnya. "Kenapa? Kita baru aja sampai."
"Nggak kenapa-kenapa, cuma takut kalau kamu kecapean. Ayo." Tanpa menunggu persetujuan Avi, David menarik tubuh Avi dan membawanya menjauh dari pantai menuju Vila.
Avi bingung. Namun, ia mengikuti saja apa yang David lakukan. Toh, David suaminya dan ia memang tidak memiliki niatan untuk menghirup udara segar. Ia butuh istirahat untuk merehatkan kepala dan tubuhnya.
***
Sore ini, David dan Avi kembali menghabiskan waktu untuk brcengkerama. Banyak hal yang mereka bahas sampai-sampai membuat keduanya lelah dan memilih untuk berhenti sejenak. Bahkan David pun meletakkan kepalanya di pangkuan Avi dan memejamkan matanya untuk menghilangkan beban apa yang ada di pikirannya saat ini.
"Kapan kita pulang?"
Pertanyaan Avi itu membuat David membuka matanya. "Kenapa? Kamu nggak betah di sini?"
Avi menggelengkan kepalanya. "Aku nggak bisa ninggalin semua pekerjaanku. Jadi dokter itu sulit dan aku nggak mau jadi beban dokter yang lainnya."
"Kalau gitu berhenti aja. Toh kamu sudah jadi istriku."
Avi mengembuskan napasnya. "Bukan masalah istri siapa aku, tapi ini pekerjaanku dan aku sudah susah payah dapatkan gelar dokter. Dan juga, aku cinta sama pekerjaan ini, kaya kamu yang suka dengan pekerjaanmu."
"Aku nggak suka."
Avi mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
"Aku nggak pernah ada niatan untuk jadi CEO, Vi. Kamu tahu sendiri cita-citaku menjadi pianis. Aku terpaksa jadi CEO itu karena memang aku anak tunggal. Intinya, aku buang semua harapanku demi keluargaku. So, bagiku keluarga adalah yang paling utama."
Avi terdiam. Perkataan David seolah-olah sedang menyindir dirinya. Ini seperti David mencoba memberitahukannya secara tidak sengaja jika ia seharusnya memilih Lavi. Benarkah begitu?
"Boleh aku bertanya?"
David mengangguk. "Tanyakan saja, aku tidak akan melarang."
Avi bingung. Ia tidak mungkin menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan Lavi dan dirinya. Ia tidak bisa melakukannya disaat seperti ini.
"Avi..."
"Eh?"
"Kamu mau tanya apa?"
"Anu... aku... kalau anak kita cowok, namanya siapa?"
David mengerutkan keningnya bingung, tapi kemudian ia tertawa dan bangun dari tidurnya. Ia duduk menghadap Avi.
"Aku sudah memikirkannya kemarin."
"Memikirkan apa?"
"Nama anak kita. Kalau cowok namanya Arsenio Raymond Alvareno," ucap David. "Itu artinya laki-laki pelindung yang bijaksana dan gagah berani. Aku mau dia ngelindungi kamu dan keluarga kita nanti."
Avi tersenyum mendengar nama indah itu. Ia merasa bahagia karena ternyata David sangat memikirkan hal itu. Oh ya ampun, padahal David begitu sibuk di perusahaan, tapi ia masih memikirkan masa yang akan datang untuk keluarganya. Betapa bahagianya ia sekarang, Tuhan.
"Kalau cewek?" Avi bertanya.
"Kalau cewek Aerilyn Bellvania Alvareno, artinya Putri cantik anugerah dari Tuhan yang kehadirannya membawa kasih dan kesejukan dalam keluarga. Aku harap dia akan membuat keluarga kita bahagia terus."
Avi tidak bisa menahan tangisannya lagi. Dengan mendengar ini semua saja dirinya sudah menangis. Oh ya ampun, betapa lemahnya ia.
David sendiri bingung dengan air mata yang keluar dari pelupuk Avi. Ia tersenyum dan mengusap air mata Avi dengan lembut. "Kalau kamu nangis terus, nanti bayi kita ikut sedih."
"Aku nggak nangis."
"Lah, terus ini apa?" David menunjukkan air mata Avi dan tersenyum manis. "Maaf ya, kalau aku sering berkata kasar ke kamu awal-awal hubungan ini. Aku nggak ada niatan kaya gitu, aku hanya sedang banyak pikirannya saja. Kamu mengerti, kan?"
Avi mengangguk. Dan tepat saat itu, David memeluk tubuhnya dengan erat.
"Kalau aku buat kesalahan, itu bukan karena keinginanku, tapi karena aku nggak bisa diam diri dan jauh dari kenyataan. Aku mohon, maafkan aku kalau aku buat kesalahan yang fatal."
Avi bingung dengan perkataan David. Entah mengapa sampai sekarang ia tidak benar-benar mengerti dengan seluruh perkataan David. Ini seperti teka-teki baru baginya. Namun, Avi tidak ingin memikirkan hal itu lebih jauh lagi.
***
"Siapa cinta pertama kamu?"
Pertanyaan yang tiba-tiba saja David ajukan ketika mereka berdua memilih untuk bersantai di depan Vila seraya menikmati desiran ombak dan lautan yang biru.
"Ada satu."
"Siapa?" David semakin penasaran.
Avi tersenyum dan memandang lurus ke depan. "Ada satu pria yang buat aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku pertama kali melihatnya waktu hujan di sebuah halte, dan..." Avi menoleh ke arah David untuk melihat ekspresi pria itu, dan sepertinya David belum menyadari hal itu.
Avi pun tersenyum. "Dia pria hujanku," lanjutnya.
Saat itu juga tanpa Avi sadari, David mulai berpikir. Namun, ia segera menepis pikirannya dan kembali mengajukan beberapa pertanyaan pada Avi. "Siapa namanya?"
Avi bungkam. Tidak mungkin ia mengatakan nama David di hadapannya. Itu sama saja bunuh diri.
"Ak---"
Perkataan Avi terhenti karena dering ponsel David yang berbunyi. Saat ini juga Avi merasa bersukur dan mengucapkan terima kasih pada seseorang yang mengirimi David pesan, karena sudah menjauhkan dirinya dari kematian.
"Ada apa?" Saat Avi menyadari keanehan David.
"Lavi ... dia ... "
"Kak Lavi? Kenapa?" Tanya Avi khawatir.
David tidak menjawab, tapi ia langsung berlari ke vila sebelah dan mendobrak pintu itu. Avi mengikutinya dari belakang dan wanita itu tampak terkejut saat melihat Lavi yang terkapar lemah di ranjang.
Avi berlari ke arah Lavi dan mengecek kondisinya. "Tolong carikan kotak P3K," pintanya pada David.
David segera melakukan apa yang Avi perintahkan, dan Avi mulai mengecek apa yang terjadi pada Lavi. Dan Avi begitu terkejut saat merasakan suhu badan Lavi yang begitu tinggi.
"Kak Lavi..." lirih Avi cemas. Ini kali pertama ia melihat Lavi sakit seperti ini dan itu membuat kekahwatirannya semakin menjadi-jadi.
David kembali dengan tangan yang membawa kotak P3K, dan ia memberikannya pada Avi dan melakukan apa yang harus dilakukan seorang dokter.
"Dia kenapa?"
Avi menoleh ke arah David dan terlihat kecewa melihat kecemasan di mata David. "Aku akan ambil peralatanku, kamu jaga Kak Lavi."
Beruntung Avi membawa sedikit peralatan dokternya untuk menjadi cadangan, jika saja terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan selama perjalan. Dan sekarang adalah saat yang tepat untuk menggunakan peralatan itu. Sebenarnya, ia bisa saja meminta David mencarikannya untuk dirinya, tapi ia khawatir David akan menemukan privasinya dan itu tidak akan ia biarkan terjadi meskipun David adalah suaminya sendiri yang sah secara hukum dan agama.
Tanpa menunggu persetujuan David, Avi beranjak dan keluar dari vila Lavi. Selama berjalan menuju vila, Avi terus dilanda pemikiran yang negatif mengenai keberadaan Lavi di sebelah vilanya dan kenapa David bisa tahu keberadaan Lavi?
Ingin sekali rasanya ia menepis pikiran itu, tapi semuanya sangat sulit. Ternyata, membuang pemikiran yang negatif tidak pernah semudah itu.
Setelah mengambil apa yang Lavi perlukan, ia berjalan kembali ke vila. Namum, saat kedua kakinya melangkah masuk ke kamar Lavi, ia berhenti. Di sana, di hadapannya, terlihat dengan jelas Lavi dan David saling berpelukan.
Avi tiba-tiba saja mundur selangkah dan air matanya hampir saja keluar jika ia tidak menahan dirinya. Ia memperhatikan lagi pemandangan itu dan terlihat sekali jika Lavi-lah yang memeluk suaminya dengan erat. Namun tetap saja, itu membuat Avi tidak tenang.
Kecewakah ia dengan David? Pantaskah ia merasakan rasa kecewa ini? Kegundahan hatinya semakin menjadi-jadi dan itu nembuat dirinya tidak berdaya lagi.