Shandy mengikuti langkah Adelia tanpa melepaskan tatapannya dari gadis itu. Oh, jadi di sini apartemennya? Berjarak lumayan dekat dengan apartemen tempat tinggal Shandy.
Adelia tiba-tiba menoleh dan mereka bertemu pandang. Kakinya berhenti melangkah dan dia kini telah berbalik untuk menghadapkan seluruh tubuhnya pada Shandy, “Tapi, omong-omong, aku bisa percaya padamu, kan?”
Shandy menautkan kedua alisnya, “Maksudmu?”
“Kamu bukan psikopat yang mencari mangsa, kan?” cerocos Adelia. Dia melangkah mendekat. Menantang mata Shandy. Pemuda itu justru bergerak mundur. Merasa sedikit terintimidasi. “Kamu bukan sedang merencanakan sesuatu untuk menjebakku, lalu membunuhku dan memotong-motong tubuhku, kan?”
Shandy nyaris melongo mendengar rangkaian kalimat Adelia, “Apa maksudmu? Bukankah kamu yang menumpahkan kopi di kemejaku!? Kamu sudah melakukannya dua kali dan kali ini kamu tidak bisa seenaknya pergi begitu saja. Lagi pula, apa tampangku seperti psikopat?”
Adelia tersenyum sinis, “psikopat memang selalu berpenampilan baik-baik seperti ini. justru itu kelebihan mereka. berpura-pura menjadi orang baik.”
Shandy menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan keras, “Dengar! Aku tidak mau tau apa tanggapanmu tentang aku. Aku harus tiba di kantor jam satu siang ini.” Shandy menoleh ke arah jam di pergelangan tangannya. “Tapi, karena insiden yang kamu sebabkan, rasa-rasanya mustahil aku bisa tiba di sana tepat waktu. Saat di Jepang dulu, tindakan cerobohmu itu juga membuatku terlambat menghadiri meeting penting!” Shandy Gobel jarang lepas kendali. Dia selalu dapat mengendalikan dirinya dengan baik, apalagi jika lawan bicaranya adalah seorang wanita, tapi untuk kasus Adelia rasa-rasanya Shandy tak lagi memiliki stok kesabaran.
Adelia mengerling sejenak sebelum bergumam, “Oke. Oke. Aku minta maaf untuk insiden di Jepang tempo hari. Dan juga di kafe tadi.”
“Baguslah kalau kamu memang menyesali perbuatanmu.”
“Tapi, aku tidak sengaja!” Adelia masih saja menggerutu. Dia berbalik dan melanjutkan langkah, menaiki lift dan kemudian berhenti di depan salah satu pintu apartemen. “Ayo masuk.”
“Kira-kira berapa lama waktu yang kamubutuhkan untuk mencuci dan menyetrika pakaianku ini? Aku harus memakainya lagi untuk ke kantor.” Shandy mulai melepas satu-satu kancing kemejanya dan saat Adelia berbalik untuk menyahut, kemeja itu sudah disodorkan di depan wajahnya. “Ini. Cepat dicuci.”
Adelia mendengkus sebal sambil mengambil dengan kasar kemeja yang disodorkan padanya, “Tidak sampai satu jam kemejamu sudah bisa kamu gunakan kembali, Tuan Muda!” Dia menyahut sinis. Mata Adelia tertuju pada kaus oblong putih yang dikenakan Shandy. Di sana juga terdapat noda yang berasal dari kopi yang ditumpahkan Adelia. “Sekalian saja kausmu itu.”
Shandy tampak sedikit terkejut, “Kamu yakin?”
“Kalau tidak mau ya sudah!” Adelia sudah akan berbalik pergi namun terhenti karena Shandy dengan tergesa-gesa segera melepaskan kaus polosnya itu membuat bagian tubuh atasnya tidak lagi ditutupi sehelai benang pun. Menampilkan otot-otot yang tampak dilatih dengan baik. Adelia terperangah namun segera mengalihkan pandangannya sebelum Shandy mendapati pipinya sedikit merona. Apa-apaan sih ini? Kenapa jadinya ada laki-laki bertelanjang d**a di apartemennya? Demi Tuhan, dia atau pun Rinai tak pernah satu kali pun membawa laki-laki masuk ke flat milik mereka.
“Terima kasih ya sebelumnya,” Shandy menyeringai sambil menyodorkan kaosnya pada Adelia. Gadis itu menerimanya tanpa menoleh ke arah Shandy.
“Kamu bisa duduk-duduk nonton televisi sambil menunggu pakaianmu kering.” Adelia berjalan menuju ruang belakang flat di mana mesin cucinya berada.
“Oke, aku akan anggap sedang berada di rumah sendiri.” Shandy menyahut dengan nada mengejek. Dia menyeringai puas karena berhasil membuat wanita yang sudah menumpahkan kopi ke kemejanya sebanyak dua kali itu mendapatkan pelajaran yang berharga. Bayangkan, dua kali! entah kesialan macam apa yang coba diberikan semesta kepada Shandy. Kenapa pula dia bisa dua kali ketumpahan kopi? Yang menumpahkan orang yang sama pula?
Shandy mengempaskan dirinya di sofa ruang tengah apartemen itu. Tidak berniat sama sekali untuk memutar televisi seperti yang Adelia katakana padanya, sebaliknya dia justru sedikit termenung. Apakah aku agak kelewatan pada wanita itu? Dia kan memang tidak sengaja? Kenapa aku bersikeras memintanya mencucikan bajuku? Aku kan bisa pulang ke apartemen dan tinggal ganti baju yang baru.
“Ya, harusnya aku pulang ke apartemen saja,” gumam Shandy pada dirinya sendiri. Dia gegas beranjak dan berjalan menuju arah Adelia menghilang, “Eh, tidak perlu kamu cuci. Apartemenku dekat sini dan sebaiknya aku….” Kalimat Shandy terhenti karena dia melihat Adelia baru saja memasukkan pakaiannya ke dalam mesin cuci, menutupnya dan menuangkan detergen ke sana.
“Ada apa?” Adelia berbalik pada Shandy yang mematung di ambang pintu. Sekarang pakaiannya sudah tergiling di mesin cuci. Bagaimana caranya dia pulang ke apartemennya di miliknya? Tidak mungkin kan dia berjalan bertelanjang d**a melintasi koridor gedung apartemen Adelia, ke tempat parkir, lalu kembali berjalan melintasi koridor-koridor apartemen miliknya?
“Eh, tidak apa-apa.” Shandy gegas menyahut membuat Adelia menatapnya penuh curiga.
“Jangan macam-macam! Awas ya. Kalau aku teriak, tetangga flatku bisa dengar.” Adelia mengancam.
“Kamu masih mengira aku psikopat?” Shandy memutar bola matanya dengan kesal. Dia berbalik meninggalkan Adelia menuju ke ruang tengah, namun di pertengahan jalan dia melihat Nutella di meja makan dan seketika perutnya keroncongan. Dia belum makan sejak dari rumah orang tuanya tadi malam. Dia berencana untuk membeli kopi dan sandwich di kafe tadi tapi Adelia terlanjur menumpahkan mochaccino padanya. “Boleh aku minta itu?” Shandy mengarahkan telunjuknya pada selai Nutella tersebut.
“Roti?”
“Bukan, Nutella.” Nutella adalah makanan favorit Shandy. Dia bisa berubah seperti anak kecil jika sudah menemukan penganan itu. Dia bisa mengabiskan setoples Nutella dalam sehari.
“Oh, iya. Makan saja.” Adelia berseru cuek. Tidak begitu peduli apa yang akan Shandy lakukan, “Aku mau siap-siap dulu. Silakan anggap rumah sendiri tapi jangan macam-macam. Ingat, aku bisa teriak dan….”
“Tetangga flatmu bisa mendengar. Aku sudah tau dan harus berapa kali aku katakan bahwa aku bukan psikopat!” Shandy menyela ucapan Adelia sambil meraih toples Nutella itu dan membawanya ke ruang tengah.
Adelia melirik Shandy sekilas, meyakinkan dirinya bahwa meski orang asing, Shandy bukanlah orang yang berbahaya untuk dia biarkan berada di flat miliknya. Astaga! kenapa dia bahkan berani membawa pemuda asing ini masuk kemari? Adelia kemudian masuk ke kamarnya, mengunci pintunya dari dalam hanya untuk sekadar berjaga-jaga. Sementara mesin cucinya menggiling baju Shandy, dia harus bersiap-siap untuk datang ke kantor yang alamatnya sudah dikirimkan oleh Rinai. Dia tidak boleh terlambat.
Sementara itu di ruang tengah, Shandy terkejut oleh suara bel pintu apartemen. Dia mendadak ragu-ragu apakah harus membukanya atau mengetuk pintu kamar Adelia terlebih dahulu. Akhirnya Shandy beranjak dan menuju kamar Adelia.
“Sepertinya kamu kedatangan tamu. Ada seseorang yang memencet bel pintu apartemenmu.” Shandy berteriak di depan pintu kamar Adelia.
Adelia yang sedang berganti pakaian tersentak, merasa tidak sedang mengharapkan kedatangan siapa pun, dia kemudian berujar, “Bisa minta tolong kamu bukakan? Mungkin itu kurir yang mengantar paket.”
“Oke.” Shandy berbalik dan berjalan dengan santai menuju pintu apartemen. Membukanya dan menemukan bahwa yang berdiri di sana bukanlah kurir dari perusahaan mana pun, melainkan seorang wanita paruh baya yang masih tampak menarik di usianya yang sudah di pertengahan lima puluh, membelalakkan mata karena terkejut melihatnya.
“Maaf, Anda cari siapa?” Shandy bertanya pelan.
“Antar barang untuk siapa? Terdengar suara Adelia di belakang tubuh Shandy. Pemuda itu lantas menyingkir untuk membiarkan Adelia melihat siapa yang tengah bertamu ke aparetmen miliknya, “Mama!?
“Mama?” Kali ini berganti Shandy yang terkejut. Dia menatap wanita paruh baya dan Adelia berganti-gantian.
“Adelia! apa yang kamu lakukan bersama laki-laki ini?” Rasti menunjukkan tampang tak bersahabat. Dia menoleh ke arah Shandy menuntut penjelasan. Anak gadisnya berdua-duaan di apartemen bersama seorang laki-laki yang sedang tidak memakai baju? Apa-apaan ini? “Siapa kamu?”
“Eh, aku….” Shandy tergagap karena tidak bisa mengantisipasi perubahan situasi yang tengah terjadi.
“Ma, biar Adel jelaskan!” Adelia mengambil alih situasi.
“Pacar kamu, Adel? Sudah sejauh mana hubungan kalian? Astaghfirullah Adel…. Kalian kan bisa menikah dulu kalau mau melakukan hal-hal seperti ini.” Rasti melenggang masuk ke dalam apartemen, “Mana Rinai?”
“Rinai kerja, Ma” Adelia mengikuti langkah ibunya sementara Shandy justru mematung karena bingung harus bertindak bagaimana.
“Oh, jadi kalian memang berdua-duaan saja di sini, kan?” Rasti berbalik dan menatap tajam mata putrinya, “Adelia, kamu kan sudah dewasa. Kamu tau mana yang baik dan buruk. Mama tidak pernah larang kamu bergaul tapi kalau seperti ini Mama kecewa.”
“Tante, sebenarnya aku dan Adelia tidak ada hubungan apa-apa. Jadi begini….” Shandy yang merasa bersalah melihat Adelia terpojok mencoba menjelaskan situasinya tapi belum pula kalimatnya usai, Rasti kembali menyela.
“Tidak ada hubungan apa-apa? maksud kamu bagaimana?” Tatapan mata Rasti kembali nyalang, “Kamu bawa laki-laki asing masuk ke aprtemenmu? Ternyata benar kan duagaan Mama. Kamu ke Jepang itu dapat uang dari hasil….”
“Mama!” Adelia berseru. Dia berjalan ke arah Shandy dan menggamit lengannya. Shandy terkejut, hendak menarik lengannya dari dekapan Adelia namun gadis itu menahannya, “Iya, ini calon suami Adel.”
“Apa!?” Shandy dan Rasti berseru bersamaan.
“Adel sedang memikirkan waktu yang tepat untuk mengenalkannya ke Mama. Adel sudah lama pacarana sama dia. Dan kami sudah memikirkan untuk ke jenjang pernikaha. Tapi, tapi kami tidak melakukan seperti yang Mama pikirkan. Jadi, waktu minum kopi, tidak sengaja Adel tumpahin kopi ke kemejanya. Jadi, kami kemari untuk cuci kemejanya karena dia harus kembali ke kantor jam satu. Kalau nggak percaya, tuh Mama lihat saja di mesin cuci.”
Rasti menatap Adelia dengan awas. Menilai apakah putrinya ini sedang berbohong atau tidak, “Kamu tidak berbohong kan, Adel?”
“Tidak Ma!” Adelia menyahut sambil menancapkan kuku jarinya yang runcing di lengan Shandy.
“Eh, i....iya Tante!” Shandy seketika menambahkan.
Raut wajah Rasti berubah seketika. Senyum segera terkembang di wajahnya, “Astaga! Maaf ya, Mama sudah tuduh kalian yang tidak-tidak. Jadi, nama calon suami kamu ini siapa Adel? Ganteng banget. Ayo kenalin ke Mama.”
“Eh, namanya….namanya….” Wajah Adelia mendadak pias. Sial! Dia bahkan tidak tahu nama pemuda asing ini.
Detik berikutnya Shandy menepuk punggung tangan Adelia yang masih mendekap lengan kekarnya, “Lepas dulu dong tangannya, Sayang. Supaya aku bisa berkenalan dengan Mama kamu.”
“Eh….” Adelia terkejut namun segera mengikuti ucapan Shandy untuk melepaskan dekapannya pada lengan pemuda itu.
Shandy mengulurkan lengannya pada Rasti dengan santun, “Shandy Gobel, Tante. Tante boleh panggil Shandy.” Pemuda itu mengulas senyum termanisnya dan Rasti seketika berjanji dalam hati untuk segera memberikan keduanya restu hingga ke jenjang pernikahan.[]