Kesialan Bertubi-tubi

1162 Words
              “Adelia Randis, huh?” Shandy mendengkus sebal. Rasti baru saja pulang setelah setengah jam menginterogasi Shandy, “Luar biasa sekali bagaimana dalam sekejap aku berubah dari seorang psikopat menjadi calon suamimu.” Shandy telah memakai kembali kemejanya.             Adelia meringis dengan penuh rasa bersalah, “Aku akan menjelaskannya padamu nanti.”             “Ya. Kamu bisa mulai menjelaskannya padaku sekarang!”             Adelia mengembuskan napas dengan berat. Kenapa hari ini dia sial sekali? “Aku pasti akan menjelaskannya padamu tapi aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang. Aku sedang buru-buru. Aku ada wawancara kerja. Dan taxi online-ku sedang menunggu di bawah.”             Shandy berbalik dan berjalan menuju pintu, “Bukan kamu saja yang sedang buru-buru. Kalau begitu kamu hutang banyak penjelasan padaku. Tapi, aku harap kita tidak usah bertemu lagi.”             “Eh, siapa juga yang mau bertemu denganmu lagi?” Adelia menyahut sinis. Di satu sisi dia sangat kesal pada Shandy namun di sisi lain dia berterima kasih karena Shandy bersikap sangat baik di depan ibunya tadi. Atau setidaknya berpura-pura baik. “Shandy Gobel!”             Seruan Adelia menahan langkah Shandy, namun pemuda itu tidak berniat untuk berbalik sama sekali.             “Terima kasih, ya. Untuk mengatasi ibuku tadi.” Adelia membentuk tanda kutip dengan jari-jarinya saat menyebutkan kata ‘mengatasi’.             “Lupakan saja!” Seru Shandy cuek lalu melanjutkan kembali langkahnya. Dia sama sekali tak habis pikir kenapa Adelia dengan lancang mengakui dirinya sebagai kekasih, bahkan calon suami. di depan ibu kandungnya sendiri? Apa wanita itu sudah gila?             “Sudah berapa lama kalian bersama?”             “Satu tahun lebih, Ma.”             “Loh, kok kamu nggak pernah kenalin Shandy ke Mama sih, Del?”             “Shandy kerja di Jepang, Ma. Jarang ada di Indonesia. Iya, kan, Sayang?”             “Oh, jadi kemarin kamu ke Jepang itu ketemu Shandy?”             “Iya Ma, kami ketemu waktu aku ke Jepang.”             “Ya, ampun! Shandy, kapan dong Mama dikenalin dengan orang tua kamu. Eh, jangan-jangan sungkan-sungkan ya. Panggil Mama saja, jangan panggil Tante. Sebentar lagi kan kamu jadi menantu Tante.”             Sepotong percakapan Adelia dan ibunya melintas lagi di kepala Shandy membuat kepala pemuda itu seketika terasa berat. Betapa lihai Adelia mengarang cerita. Dasar wanita gila! Dia menuduh aku psikopat. Jangan-jangan dia yang psikopat!             “Eh, itu taxi online-ku.” Sedari tadi mereka berjalan beriringan namun Shandy sama sekali enggan membuka percakapan lagi dengan gadis itu, “Sekali lagi terima kasih, ya.” Adelia cuek saja dengan perubahan sikap Shandy. Bodo amat-lah apa yang dipikirkan Shandy tentangnya. Toh setelah ini mereka tidak akan bertemu lagi dan untuk masalah dengan ibunya nanti akan dia pikirkan belakangan. Dia tinggal bilang saja sudah putus dari Shandy. Gampang, kan?             Shandy menoleh ke arah Adelia yang dengan entengnya melambaikan tangan ke arahnya sambil masuk ke dalam taxi online. “Aku duluan ya, Shandy. Bye.” Shandy hanya menatap kepergian Adelia tanpa ekspresi. Detik berikutnya dia menggeleng-gelengkan kepala. Benar-benar tak paham akan kelakuan absurd Adelia.   ***             “Cindy?” Adelia beranjak dari sofa di lobi gedung kantor tempatnya menunggu sejak sepuluh menit yang lalu.             “Adelia, kan?” wanita muda bernama Cindy itu balas menyapa. Dia adalah teman yang disebutkan oleh Rinai di telepon tadi. “Sudah bawa CV-nya?”             “Iya, aku bawa nih!” Adelia mengeluarkan map berisi curriculum vitae miliknya dan menyerahkannya pada Cindy. “Sekretaris sementara, kan?”             Cindy mengeluarkan isi dari map yang diterimanya dari Adelia, membacanya sekilas, lalu memasukkan kembali ke dalam map sambil mengangguk, “Iya, mungkin hanya untuk tiga bulan. Soalnya PM kami setelah itu akan pergi lagi ke luar negeri. Dia hanya sebentar saja di sini untuk cari vendor-vendor.” “Vendor? Wah kebetulan, sebelumnya aku pernah kerja sebagai contract engineer di salah satu perusahaan tambang. Mungkin aku tidak akan sulit untuk adaptasi,” sahut Adelia. “Iya. Sekantor sama Rinai, kan? Rinai sudah cerita dan aku setuju untuk undang kamu wawancara karena aku yakin back ground kamu sebagai contract engineer akan sangat berguna untuk posisi ini.” Cindy menanggapi, “ Ayo, ikut aku. PM-nya sudah datang. Nanti aku tanya apa bisa langsung wawancara.” “Oke.” Adelia beranjak dan mengikuti langkah Cindy berjalan ke arah lift. Saat berada di dalam lift, Cindy menekan angka tiga. Bangunan kantor ini terdiri dari tujuh lantai. Merupakan perusahaan elektronik berskala nasional yang mendistribusikan berbagai aneka merk barang elektronik dari segala penjuru dunia. Kabarnya saat ini mereka sedang berencana ekspansi ke bidang manufaktur agar bisa memprodukis barang elektronik buatan mereka sendiri. Pada sisi luar bangunan gedung, pada bagian rooftop tertulis dengan huruf raksasa. GEG. Galaxy Electric Group. “Ayo duluan.” Cindy mempersilakan Adelia untuk keluar dari lift terlebih dahulu. “Ruangan PM-nya di ujung sana.” Gadis itu kemudian menunjuk sebuah ruangan di ujung koridor. Adelia mengangguk sambil memantapkan langkah menuju ruangan yang dimaksud Cindy. Namun, baru beberapa langkah dia ambil, kakinya seketika terhenti. Sesosok pemuda terlihat baru saja keluar dari ruangan yang sedang dituju oleh Adelia. Pemuda yang kini sama terkejutnya dengan dirinya. “Kamu lagi? Astaga!” “Astaga?” Adelia menyela. “Harusnya itu kata-kataku. Ya, Tuhan! Kenapa harus ketemu kamu lagi di sini? Memangnya di kota metropolitan sebesar ini tidak ada orang lain selain kamu? Heran deh!” Pemuda jangkung itu adalah Shandy dan saat ini dia memejamkan matanya hanya agar gelagak emosi di dalam dadanya bisa sedikit teredam. Kenapa dia harus bertemu dengan wanita gila ini lagi di sini? Di kantornya. Di perusahaan milik ayahnya! “Mau apa kamu di sini?” Adelia mengernyit heran bercampur sebal, “Bukan urusanmu!” “Ehm, maaf.” Cindy yang dari tadi keheranan menyaksikan sepasang manusia di hadapannya ini saling bersahut-sahutan akhirnya memutuskan untuk menjeda. “Adel, kamu sudah kenal dengan Bapak Shandy?” “Shandy? Shandy Gobel sialan ini?” Adelia bertanya balik sambil menunjuk Shandy, “Iya lumayan kenal. Eh, tidak. Tidak! kami tidak saling kenal!” “Adelia...” Cindy baru saja akan mengatakan sesuatu namun kembali terhenti karena mendengar Shandy menyahut. “Oh, setelah mengakuiku sebagai calon suamimu di depan ibumu sendiri, sekarang kita tidak lagi saling mengenal? Ch!” Shandy berdecak sebal. Apa sih isi kepala cewek ini? “Calon suami!?” Cindy terpekik. “Tidak! ini salah paham.” Adelia gegas menjeda. “Sudah, sebaiknya kita tidak usah pedulikan orang ini. Kita ke ruangan PM saja.” “Tapi…tapi, Bapak Shandy ini PM-nya.” Jujur saja saat ini Cindy sedang kebingungan setengah mati. Apa yang terjadi pada Shandy dan Adelia? “Apa!?” berganti Adelia yang tersentak. “Aku melamar untuk menjadi sekretarisnya?” Shandy menautkan kedua alisnya keheranan pada Cindy, “Tunggu, jangan bilang dia yang datang untuk wawancara denganku?” Shandy menunjuk hidung Adelia. “I…iya Pak.” Cindy tergagap. Dia berjalan maju sambil menyerahkan map berisi data diri Adelia kepada Shandy. “Astaga!” Jelas sekali nada gerutuan di suara Shandy. Dia menatap map yang baru saja diserahkan Cindy dan wajah Adelia berganti-gantian. Kesialan macam apa sih yang sedang menimpanya ini?[]  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD