Shandy mengeluarkan baju-bajunya dari dalam koper dan memindahkannya di dalam lemari. Kegiatannya tiba-tiba terhenti. Dia terpekur pada sebuah benda yang tampak asing baginya. Sapu tangan putih dengan bordiran huruf di ujungnya. BR. Tertulis seperti itu di sana. Shandy mengernyitkan keningnya sejenak lalu tersenyum. Ini kan sapu tangan milik gadis dari kafe Doutor itu. Gadis yang dengan tidak tahu dirinya menumpahkan kopi ke kemejanya dan lalu pergi begitu saja dari sana.
Shandy meremas benda tersebut. Gadis ajaib mana yang masih menggunakan sapu tangan di masa sekarang? Pikiran pemuda itu kemudian kembali mengingat percakapan sang gadis yang bahkan dia tidak tahu namanya itu dengan sahabat wanitanya.
“Kamu tau nggak, Nay hampir semua penduduk Belanda memiliki camper van yang juga disewakan untuk turis asing. Kalau di sana banyak yang punya, harga sewanya pasti murah, kan? Nah, aku ingin sewa camper van di sana lalu mulai perjalanan keliling Eropa. Tentu saja aku akan mengurus SIM internasional terlebih dahulu.”
“Selain itu, aku juga ingin ke Mueseum Leiden. Kamu tau nggak, Museum Leiden menyimpan naskah-naskah kuno Nusantara. Kitab Pangeran Bonang, Lontara Bugis dan masih banyak lagi.”
“Aku juga ingin punya rumah di New Zealand. Katanya jumlah domba di sana lebih banyak dari pada manusia. Bukankah itu sangat menyenangkan?”
Sebuah senyum yang lumayan lebar terbit di bibir Shandy. Mengingat kembali ucapan gadis asing itu masih saja mendatangkan geli di hatinya. Gadis aneh! Tapi, kenapa Shandy masih menyimpan sapu tangan itu? Dia bahkan repot-repot untuk membawanya ke laudry untuk dicuci dan diberi pewangi seolah dia akan bertemu kembali dengan gadis itu dan mengembalikan sapu tangan miliknya.
Shandy kemudian meletakkan sapu tangan itu di dalam lemarinya. Di samping tumpukan-tumpukan kemejanya. Dia mengedarkan pandangannya ke seantero kamar yang telah ditinggalkannya selama dikirim ke Jepang oleh ayahnya. Begitu keluar dari perusahaan Jocom, Ibrahim Van Gobel tidak mau menunda lagi untuk mempersiapkan Shandy meneruskan bisnis keluarga. Dan langkah pertama yang harus Shandy lakukan adalah membawa inovasi baru bagi perusahaan mereka untuk meyakinkan para pemegang saham mayoritas, bahwa Shandy sangat layak untuk memimpin perusahaan raksasa berskala nasional itu. GEG. Galaxy Electric Group.
Shandy akan berada di Indonesia selama tiga bulan untuk mencari vendor-vendor yang qualified untuk bekerja sama dengan GEG memproduksi barang-barang elektronik sendiri. Setelah menemukan semua vendor yang dibutuhkan, Shandy akan kemnbali di Jepang guna mempelajari langkah-langkah membangun pabrik manufaktur perangkat elektronik agar ke depannya GEG dapat memproduksi sendiri item-item yang mereka butuhkan dan tidak perlu lagi bergantung pada vendor. Itu adalah target jangka menengah bisnis GEG. Membangun pabrik tentunya bukan perkara yang mudah, untuk itu Ibrahim meminta Shandy belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak seperti Fahria yang sibuk meminta Shandy menikah, Ibrahim justru berharap fokus Shandy jangan dulu teralihkan oleh hal-hal lain sehingga bisa mempercepat pengembangan bisnis mereka. Sekali lagi, bagi Ibrahim, seorang pria yang mapan dan settle nantinya bisa menikahi gadis mana pun yang dia inginkan.
***
Kedai kopi itu terletak di seberang jalan kompleks apartemen yang menjadi tempat tinggal Adelia dan Rinai. Meski sederhana, mereka memiliki kopi yang lezat. Bijih-bijih kopi lokal yang tersedia di sana berasal dari tanah-tanah di penjuru Indonesia. Arabica Gayo, Kintamani, hingga Toraja maupun berbagai jenis robusta. Kedai kopi itu bernama The King’s Café Nusantara. Baru setahun belakangan di buka namun sudah memiliki banyak pengunjung karena lokasinya yang startegis. Dekat dengan beberapa kompleks apartemen. Salah satu pengunjung setianya adalah Adelia. Hampir setiap hari Adelia datang ke sana dan memesan mochaccino.
“Biasa kan, Del?” Rimo, kasir di kafe itu, sudah mengenal Adelia dengan baik.
“Iya, Mo. Bungkus, ya.” Adelia menyahut.
“Nggak minum di sini?” Rimo bertanya basa-basi sambil mengetikkan pesanan Adelia pada layar mesin kasir di hadapannya.
“Ada urusan, Mo.” Adelia menjawab singkat karena ponselnya tiba-tiba berdering.
“Oke, tunggu saja di meja nanti gue antar ke sana.” Rimo kembali berujar.
Adelia mengangguk, berbalik pergi dari meja kasir sambil menjawab panggilan di ponselnya. Nama Rinai tertera di layar. “Gimana, Nay?”
“Ada, Del. Temanku di sana bilang mereka lagi butuh sekretaris sementara.” Rinai menyahut di ujung telepon. Tadi pagi Adelia uring-uringan menceritakan tentang ibunya yang menuduh Adelia yang bukan-bukan, ngepet lah, jual diri lah, karena Adelia tidak tampak bekerja tapi bisa ke Jepang.
Saat mendengar cerita Adelia, Rinai tidak bisa menahan dirinya untuk tertawa terpingkal-pingkal, tapi kemudian dia memberikan Adelia sebuah saran. Bagaimana jika Adelia mencoba mencari pekerjaan yang sedikit santai sehingga dia tetap bisa juga menekuni pekerjaannya sebagai ilustrator. Dan Adelia setuju. Dia butuh berkonsentrasi untuk menyelesaikan ilustrasi dari proyek n****+ ‘Rare’ milik Mr. Murakami. Tapi, di lain pihak, tekanan dari ibunya untuk bekerja dan menikah juga sangat mengganggu pikirannya. Memiliki pekerjaan kantoran yang tidak terlalu menguras waktu mungkin saja adalah solusi paling tepat saat ini untuk membungkam mulut ibunya, sehingga dia bisa lebih berkonsentrasi dengan proyeknya itu.
“Sekretaris sementara bagaimana?” Adelia masih belum paham.
“Untuk Project Manager mereka katanya. Hanya untuk tiga bulan. Karena setelah itu Project Manager itu akan ditugaskan ke tempat lain lagi.”
“Tapi, sekretaris kan sibuk juga, Nay. Harus datang pagi-pagi banget sebelum bos datang. Kalau bos belum pulang kita belum boleh pulang. Santainya di mana?”
“Duh, Adel. Coba dulu lah. Project Manager kan biasanya kerjaannya di lapangan terus. Jarang di kantor. Nah, kamu bisa tuh curi-curi waktu menggambar kalau Project Manager-mu lagi pergi-pergi.”
“Iya juga, ya.” Adelia membenarkan.
“Nah, iya. Makanya. Lagi pula ini kan cuma untuk tiga bulan. Setelah itu, kalau memang pekerjaanmu sebagai ilustrator itu nggak bisa disambi dengan pekerjaan kantoran, ya sudah! Berarti kamu memang nggak cocok kerja kantortan. Setidaknya sudah coba.”
Adelia mengangguk sambil tersenyum pada Rimo yang datang ke meja membawakan pesananannya. Benar juga sih apa yang dikatakan Rinai, “Oke deh, aku setuju.”
“Nah, gitu dong!” Rinai terdengar berseru lega di ujung telepon. “Berarti kamu bisa datang wawancara siang ini ke sana, kan?”
“Apa!?” Adelia sangat terkejut mendengarnya. “Siang ini!?”
“Iya, siang ini. Setelah makan siang. Bisa, kan?”
Adelia melirik ke arah jam tangan yang dikenakannya. “Nay, jangan becanda dong! Ini sudah mau jam sebelas.”
“Aku nggak becanda, Del.” Rinai menyela. “Temanku bilang, mereka akan pasang pengumuman lowongan kerja besok. Jadi, sebelum ada banyak pelamar, mending kamu duluan datang ke sana!”
“Tapi, Nay. Ini sudah jam segini.” Adelia terus melayangkan protesnya.
“Makanya, kamu siap-siap sekarang. Nanti aku share location alamat perusahaannya.”
“Oke. Oke. Aku tutup, ya. Bye.” Adelia beranjak dari mejanya, menyambar gelas kertas berisi kopi dan dengan terburu-buru berbalik dari sana hingga tanpa sengaja menubruk seseorang. Gelas kopi yang dipegangnya tumpah. Sebagian besar membasahi kemeja putih milik pemuda yang baru saja ditabraknya, sedangkan sisanya mengotori lantai kedai kopi itu.
“Aduh, aduh. Maaf ya!” Adelia gegas mengambil tisu dari dalam tasnya dan mengusapkan benda itu di atas permukaan kemeja putih milik pemuda yang dia tabrak. Namun tanpa disangka-sangka oleh Adelia, pemuda itu justru mencekal pergelangan tangannya, sehingga membuat Adelia mendongakkan kepala untuk melihat wajah pemuda tersebut. Dan saat pandangan mata keduanya bertemu, Adelia terpekik, “Ah, Mister!?” Bukankah dia adalah pemuda yang Adelia tabrak di kafe Doutor di Jepang sana? “You! What are you doing here? Holiday?” Anda! Apa yang Anda lakukan di sini? Liburan?
Shandy medengkus dan benar-benar tak habis pikir. Dia pun tak kurang rasa terkejutnya dibanding Adelia. Bagaimana mungkin kejadian ketumpahan kopi di Tokyo terulang kembali padanya? Yang menumpahkan kopi gadis ini pula. Gila, kan?!
“Arigatou Mister, arigatou.” Adelia memelas. Dia benar-benar merasa bersalah.
“Gomennasai.” Shandy menyela. Masih dengan mencekal pergelangan tangan Adelia. Salah satu pegawai apartemen menyapanya di lift dan menanyakan berapa lama Shandy akan tinggal kali ini. Setelah itu mereka berbasa-basi dan pegawai apartemen itu bilang ada kedai kopi enak dan ramai di seberang jalan. Shandy merasa penasaran dan berpikir untuk membeli segelas expresso sebelum ke kantor. Tapi, lihat ini. Dia justru mengalami kesialan. Tahu begini harusnya dia beli kopi di kafe dekat kantornya saja.
“Hah?” Adelia justru melongo.
“Kalau mau minta maaf, harusnya ‘gomennasai’ bukan ‘arigatou’!”
“Ahhh…! You speak Bahasa Indonesia.” Kamu berbicara Bahasa Indonesia. Adelia terkejut. “Anda bisa Bahasa Indonesia, Mister?”
“Ya, tentu saja!” Shandy berseru dengan sedikit kesal. Dia mengempaskan tangan Adelia dan menunduk untuk melihat apa yang telah gadis itu perbuat pada kemeja putihnya. Ini hari pertamanya kembali bekerja di perusahaan. Kenapa harus memulai hari dengan kesialan seperti ini?
“Adel, lu nggak apa-apa?” Rimo menghampiri kekacauan yang terjadi di kedai kopinya. Saat melihat kemeja Shandy yang bernoda kopi dan cairan kopi yang membasahi lantai kafe, dia segera tahu apa yang sudah terjadi, “Tenang saja, nanti gue beresin.”
Adelia tersenyum pada Rimo, “Thanks, ya Mo. Aku buru-buru soalnya.”
“Iya. Nggak apa-apa.” Rimo menepuk pundak Adelia dan berbalik untuk memanggil cleaning service.
“Jadi, kamu bukan orang Jepang, Mister?” Adelia kini kembali menatap ke arah Shandy.
“Bukan. Aku orang sini!” Shandy menjawab ketus. Tidak biasanya dia kasar pada wanita tapi, kekesalannya kali ini sudah melewati batas kesabarannya. Jika di Jepang, gadis ini lolos pergi begitu saja setelah seenaknya menumpahkan kopi, kali ini Shandy pastikan Adelia tak akan bisa lolos semudah itu. “Tapi, tidak begitu penting aku orang mana. Yang penting sekarang, kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu.” Shandy menunjuk ke arah kemejanya yang bernoda kopi.
“Tanggungjawab? Tanggungjawab bagaimana?” Adelia mengernyitkan kening. “Oh, aku paham. Tapi aku sedang buru-buru.” Adelia kemudian merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama, “Ini kartu namaku. Ada nomor ponselku di sana. Kamu bisa hubungi aku nanti dan aku akan laudry-in bajumu, Tapi, jangan sekarang ya. Aku sedang ada janji.”
Shandy menerima kartu nama itu. Adelia Randis. Ilustrator. Tertulis demikian di sana. Pemuda itu menaikkan kedua belah alisnya tanpa beranjak satu senti pun dari tempatnya berdiri. Sementara Adelia sudah siap untuk bergegas pergi dari sana.
“Tidak bisa!” Seruan Shandy mengejutkan Adelia. “Aku juga ada urusan penting dan jadi terlambat karena kamu mengotori kemejaku. Aku mau kamu cuci kemeja ini sekarang.”
“Apa?” Adelia tertegun. “Tapi, oke, apartemenku dekat sini. Aku bisa saja membawa kemejamu ke sana dan mencucinya sekarang tapi aku tidak punya waktu. Aku sedang buru-buru.”
“Aku tidak mau tau! Yang sedang buru-buru bukan hanya kamu!” Shandy membuka kancing teratas kemejanya, “Kamu harus bersihkan kemejaku sekarang.”
“Eh, eh…kamu mau apa?” Adelia terkejut karena Shandy terus saja membuka kancing kemejanya. “Kamu mau telanjang di sini?”
Shandy tersenyum sinis. Apa sih isi kepala cewek ini? telanjang bagaimana? dia kan pakai kaus polos di dalam kemejanya. Ya, meskipun cairan kopi itu juga mengotori kaus polosnya. “Memangnya aku punya pilihan lain?”
“Aduh! Ya sudah, ya sudah!” Adelia kembali berseru. Kali ini dengan nada kesal. “Kamu ikut saja ke apartemenku. Aku akan cucikan baju kamu di sana. Dan kamu bisa menunggu sambil menonton televisi.”
Shandy mengernyit, tapi kemudian menyahut, “Oke.” []