4. Mereka Sudah Dewasa

1221 Words
Qian menyandarkan punggungnya pada punggung sofa. Perutnya telah terisi penuh dan saatnya beristirahat guna mencerna makanannya. Ia mencoba meraih ponselnya dan melihat riwayat panggilan juga pesan masuk. Namun belum saja ia mengusap layar, suara ketukan pintu menghentikan niatnya. Pasti tukang pijat, batinnya. Dengan hati-hati ia bangkit dari duduknya dan melangkah tertatih menuju pintu untuk membukanya. Dan benar saja, seorang wanita telah berdiri di hadapannya kala ia membuka pintu dengan sebuah tas di tangannya. Melihat wanita yang kini membungkuk ramah padanya, Qian yakin ia adalah tukang pijat yang Raizel kirimkan. Tanpa membuang waktu, Qian segera mempersilahkan wanita itu masuk ke dalam. Sesampainya di dalam kamar Qia mencoba duduk di tepi ranjang dengan hati-hati. "Silahkan buka baju anda." Qian terkejut saat wanita itu berbicara menggunakan bahasa indonesia. Ia yang duduk meluruskan kaki sedikit melebarkan mata. "Anda bisa bahasaku?" tanyanya. "Ya, saya orang Indonesia," jawab wanit itu dengan sopan. Qian hanya bisa manggut-manggut, ia tak menyangka kembalI bertemu orang serumah. Meski awalnya ia sedikit curiga saat melihat wajahnya. "Aku tidak mengira akan kembali bertemu orang serumah," ujar Qian dengan perlahan membuka bajunya. Si wanita tukang pijat itu pun dengan hati-hati membantunya menanggalkan pakaian satu persatu. "Sebenarnya banyak teman kita di sini,* jawab wanita itu tanpa mengurangi rasa sopannya melayani Qian sebagai pelanggan. "Jadi, apa kau sudah lama bekerja di sini?" tanya Qian kembali guna mengukur waktu. Jujur saja ia takut karena pastilah pijatan itu menyakitkan. Tapi tak ada pilihan lain jika ia ingin segera pulih. "Sekitar tiga tahun yang lalu," jawabnya kemudian meminta Qian berbaring tengkurap. "Bisa tolong lakukan dengan hati-hati?" pinta Qian dengan sedikit merintih. Seumur hidupnya, ini kali pertama ia jatuh dari sepeda motor. Jika orang tuanya tahu, mungkin liburannya kali ini akan menjadi liburan terakhir. Sebelumnya orang tuanya sudah mencegahnya pergi sendiri. Namun ia ingin mencoba mandiri dan berpetualang tanpa asisten pribadi. Wanita itu hanya tersenyum ramah kemudian meletakkan bantal di bawah paha Qian sebagai bantalan agar lututnya tidak mencium ranjang. Setelahnya ia mulai melakukan pekerjaannya setelah semua persiapan sebelumnya selesai. Namun, baru saja ia menekan kecil bahu Qian, pelanggannya itu sudah menjerit kesakitan. **** ["Kudengar kau baru saja mengalami kecelakaan?" "Hanya kecelakaan kecil. Bagaimana kau tahu?" Raizel sedikit berdecak saat kakaknya yang jarang menghubunginya tiba-tiba menelepon dan menanyakan perihal kecelakaan. ["Bagas yang memberitahuku. Jadi, bagaimana keadaanmu? Apa aku harus ke sana untuk menjemputmu?"] "Tsk. Tidak perlu, aku tidak apa-apa. Dan lagi, jangan katakan ini pada ibu," peringat Raizel dengan nada sedikit mengancam. ["Hahaha, kau tenang saja. Aku tidak akan mengatakan apapun pada ibu. Jika tidak, ibu pasti menyeretmu untuk segera pulang.] "Hn." ["Jadi, kapan kau pulang? Jika dihitung, ku sudah terlalu lama di negeri orang."] "Mungkin sebentar lagi." ["Apa kau juga akan membawa pulang calon istri?"] "Berhenti membahas hal bodoh," balas Raizel dengan memutar bola mata malas. ["Ck, ck, ck, apa seperti ini caramu berbicara dengan orang yang lebih tua?"] Raizel hanya mendengus. "Sudahlah, katakan saja salamku pada ayah dan ibu." ["Hah … baiklah, imoutou-ku."] Piip …. Raizel segera menutup panggilan tak berniat berbicara lebih lama lagi dengan kakaknya. Ia benar-benar kesal jika dipanggil imouto. Karena imouto dalam bahasa Jepang artinya adik perempuan. Meski kakaknya hanya berniat menggoda tapi tetap saja ia bukan lagi anak kecil. Sedewasa apapun ia, kakaknya selalu memperlakukannya seperi adik kecil yang manis. Entah sampai kapan kakaknya akan bertaubat. Raizel meletakkan ponselnya dengan sedikit kasar ke atas meja. Dilihatnya tumpukan map pekerjaannya yang telah ia selesaikan dan tiba-tiba ia teringat Qian. "Apa aku terlalu berlebihan?" batinnya. Ia tidak mengerti kenapa bisa seberlebihan ini bertanggung jawab pada Qian. Namun ia sadar, Qian di sini untuk berlibur, dan karena kecerobohannya liburan wanita itu pasti hancur. Mengambil kembali ponsel yang sebelumnya ia letakkan ke atas meja, ia memutuskan menghubungi seseorang. Drt … drt … drt …. Panggilan pertamanya tak segera mendapat jawaban. Kemudian ia kembali mencoba menghubunginya. Akhirnya pada panggilan kedua ia dapat mendengar suara Qian yang menjerit. Ia sengaja mengambil nomor Qian untuk jaga-jaga jika terjadi suatu hal padanya. ["Awh! Pelan-pelan!"] pekik Qian hingga Raizel menjauhkan ponsel dari telinga. Alis rizel mengernyit dan di detik berikutnya wajahnya memerah sempurna. Ia tak menyadari jika panggilan yang ia lakukan adalah video call dan alhasil ia dapat melihat punggung Qian yang terbuka juga pahanya yang terlihat sempurna. Hanya sebagian dari pantatnya yang tertutupi handuk dan membuat Raizel seketika menutup hidung. Rupanya Qian juga tak menyadari dan hanya menggeser layar. Dan saking sakitnya pijatan si tukang pijat, ia hanya bisa menggenggam kuat ponselnya di atas kepala guna menahan sakit. Tanpa menunggu Raizel segera mematikan sambungan. Sial, hidungnya mengeluarkan darah. Kenapa rasanya benar-benar memalukan? Niatnya hanya ingin menanyakan apakah tukang pijat suruhannya sudah sampai atau belum. Dan ia telah mendapat jawabannya sebelum bertanya. Ia mendesah berat dan memijit kecil kepalanya. "s**t!" umpatnya dengan meremas ponsel dalam genggaman dan satu tangannya meraih tisu guna membersihkan darah dari hidungnya. Sementara di tempat Qian, ia tampak keheranan karena panggilan telah terputus. Padahal ia belum sempat melihat siapa yang menghubunginya. Sementara tak ada foto profil pada nomor yang baru saja menghubunginya. "Sudah selesai, Nona." Wajah Qian sudah dibasahi oleh air mata dan keringat saking sakitnya pijatan. Bahkan seolah jejak tangan wanita itu masih tertinggal dan menyisakan tekanan yang menyakitkan. "Saya sarankan anda benar-benar istirahat selama beberapa hari," tutur wanita pemijat yang kini membereskan peralatannya. "Terima kasih," jawab Qian dan berusaha bangun menegakkan punggungnya. "Baiklah, saya permisi. Semoga lekas sembuh." Wanita itu membungkuk sopan kemudian berpamitan untuk segera pergi. "Tunggu," cegah Qian sebelum wanita itu berlalu. Qian meraih dompetnya di atas nakas samping tempat tidur dan mengambil beberapa lembar uang guna memberi bayaran. "Terima kasih, Nona. Tapi tuan Raizel sudah mengurus semuanya." "Apa? Ya, baiklah. Sekali lagi terima kasih." Akhirnya Qian hanya bisa mengucapkan terima kasih karena semua telah diurus Raizel. Si tukang pijat segera pergi tanpa Qian antar sampai depan pintu. "Sakit sekali …." Qian kembali merebahkan diri dengan hati-hati kemudian meraih ponselnya kembali. Sebelumnya ia belum sempat melihat riwayat panggilan atau pesan masuk. Dan saat ia melihat isi chat, tak ada yang menghubunginya kecuali sang ibu yang menanyakan kabar. Drt … drt …. Ibunya pasti panjang umur, baru saja membaca pesan darinya, kini ibunya telah menghubungi. Dengan terpaksa dan tak punya pilihan lain, Qian mengangkat panggilan. "Ha-- halo, Bu." ["Sayang! Kenapa kau baru mengangkat telepon ibu? Kenapa kau tak membalas pesan ibu? Apa yang terjadi? Apa terjadi sesuatu?!"] "Ponselku lowbat, Bu. Qi baik-baik saja, memangnya ada apa?" ["Kau ini, apa harus ada alasan jika seorang ibu ingin menghubungi putrinya?"] "Hehehe, maaf, Bu. Ibu tenang saja, Qi baik-baik saja. Jangan khawatirkan Qi." ["Bagaimana tidak khawatir saat anak ibu di negeri tetangga seorang diri? Sejak kemarin perasaan ibu tiba-tiba tidak enak. Kau benar-benar baik-baik saja kan?"] "Sudah Qi bilang kan, Bu, Qi baik-baik saja." Suara Qian terdengar gugup. Ia tak ingin ibunya mengetahui perihal kecelakaan yang ia alami. Jika orang tuanya tahu dapat dipastikan ia tak akan diizinkan pergi sendirian lagi. ["Ah … Syukurlah. Jadi kapan kau pulang?"] "Ibu, bukankah sudah Qi katakan Qi di sini selama seminggu?" Qian mendesah lelah meladeni ibunya yang terlalu berlebihan. ["Ya … ya … kau sudah memberitahu ibumu ini. Tapi, ibu hanya khawatir, Sayang."{ "Ibu tenang saja. Aku bisa menjaga diri, aku sudah dewasa, Bu," rengek Qian dengan sedikit kesal. Ibunya selalu memperlakukannya seperti bocah. ["Tapi bagi ibu kau tetap putri kecil ibu yang manis."] "Jika ibu seperti ini terus, kapan Qi dewasa?" batin Qian dengan menepuk jidat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD