6F

1332 Words
05.10 Nikki nyaris saja menabrak laki-laki itu jika ia tidak cukup cepat menginjak pedal rem. Jantung Nikki berdegup kencang, hawa panas menjalar naik ke atas wajahnya. Nikki menggenggam setir begitu erat sampai buku-buku jarinya memutih. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk memulihkan diri. Kemudian saat perasaan tak menentu itu pergi, kesadaran langsung menamparnya seperti palu yang di pukulkan keras di atas wajahnya. Seisi perutnya bergejolak. Nikki menahan keinginan kuat untuk muntah dan menangis disaat yang bersamaan. Kemudian ada perasaan lega yang datang begitu melihat wajah Dean di depan mobilnya. Laki-laki itu tampak pucat, kedua matanya menghitam seolah ia tidak mendapat tidur yang cukup. Pakaiannya kotor. Jaket yang selalu digunakannya membalut kaos abu-abu polos yang tampak berantakan. Rambut kasar tumbuh di seputar rahangnya sementara rambut di kepalanya kian memanjang. Nikki nyaris tidak mengenali Dean dalam tampilan kekacau itu - tetap saja, Nikki merindukannya. Dengan perasaan haru, ia bergerak keluar dari mobil dan langsung berlari menghampiri Dean kemudian membentangkan kedua lengannya untuk menyambut laki-laki itu. Jantungnya serasa mencelos saat laki-laki itu melingkari lengannya ke seputar tubuh Nikki dan meredam wajahnya yang berkeringat di atas pundak Nikki. Nafas Dean yang hangat merambat ke seputar tengkuknya sedangkan jari-jarinya bergerak naik ke atas kepala Nikki untuk mengusapnya. Air mata mengalir di wajahnya. Nikki memejamkan kedua mata untuk mengusir kesedihan itu. Setelah melepas dekapannya, ia meraih satu tangan laki-laki itu dan meneciumnya. “Maafkan aku,” bisik Nikki selagi menyeka helai rambut Dean yang tergerai memanjang di atas dahinya. Dean merasakan emosi yang sama besarnya seperti Nikki, hanya saja laki-laki itu jarang mengungkapkannya. Dean adalah laki-laki yang tertutup sejak kali pertama Nikki mengenalnya. Alih-alih mengatakan apa yang dirasakannya, Dean memilih caranya sendiri dengan menggenggam Nikki erat untuk mengungkapkan kelegaannya. Kemudian ketika Nikki sedang mengamati luka-luka baret di wajah Dean, saat itu juga ekspresi laki-laki itu mengeras. “Masuk ke dalam mobil!” pinta Dean dengan tegas. “Apa? Ada apa?” tanya Nikki kebingungan. “Masuk ke dalam mobil sekarang!” Nikki menuruti Dean tanpa bertanya-tanya – setidaknya belum. Ia kembali ke kursi kemudi sementara Dean duduk di kursi penumpang. “Kita harus meninggalkan jalur ini!” “Tapi kemana?” “Kemudikan saja dulu!” Nikki hendak bertanya, tapi kemudian kegelisahan yang dialami Dean terbukti ketika sebuah batu yang di lempar memecahkan kaca mobil bagian belakangnya. Nikki terlonjak di atas kursi dengan kaget. Satu kakinya menginjak pedal gas hingga mobilnya melaju cepat di atas jalanan beraspal. Di kursi penumpang Dean terus mengawasi orang-orang yang berusaha melempari mereka dengan batu. Tiba-tiba Nikki menjadi gelisah. Jantungnya berdegup kencang sementara serangan demi serangan terus berdatangan dari arah berlakang dan samping mobil. Ketika kaca sampingnya pecah, Dean melingkari lengannya ke seputar tubuh Nikki untuk melinduginya dari hujan kaca. Suara gemuruh mobilnya beradu dengan angin kencang yang berebut masuk melewati jendela yang bolong. Nikki tidak pernah mengendara dengan kecepatan setinggi itu sebelumnya. Namun situasi yang terjadi memaksanya untuk terus bergerak. Kini kedua matanya menatap dengan awas ke jalanan. Di sampingnya Dean tidak bersuara sampai-sampai membuat Nikki kesal. “Apa itu?” tanya Nikki dengan resah. Ketika Dean tidak menjawab, Nikki nyaris berteriak. “Dean! Apa yang barusan itu?” “Mereka penduduk pribumi itu..” “Apa.” “Ya mereka hanya penduduk pribumi yang tidak suka tanahnya di kunjungi..” Sebuah panah melesat melewati kaca jendela yang pecah. Dean yang pertama menyadarinya sontak menarik Nikki untuk menunduk hingga nyaris saja senjata itu mengenainya. Suara pecahan kaca kembali terdengar. Orang-orang pribumi yang menyebalkan itu baru saja menghancurkan spionnya, membuat Nikki kesal. “Nik, awas!” Saat seorang wanita secara tak terduga muncul di tengah-tengah jalan, Nikki menginjak pedal rem dengan cepat, kemudian membanting setir untuk menghindari tabrakan. Yang terjadi mobilnya justru terperosok di atas tanah yang licin, keluar dari jalur utama. Dean menjulurkan tangan untuk membantu Nikki mengendalikan setir. Hanya saja usaha itu terasa sia-sia karena ketika mereka berusaha menghindari tabrakan dengan pohon besar, yang terjadi bannya justru tergelincir hingga terperosok jatuh di atas permukaan tanah bekas longsor. Mobil berguncang keras ketika merosot jatuh. Nikki menatap ngeri ke arah danau yang siap menyambutnya disana, namun keberuntungan berpihak pada mereka karena ban mobil terhenti karena tersangkut sulur-sulur tanaman dan semak-semak liar. Kini bannya berputar sebelum Nikki sempat menyadarinya, bumper mobil lebih dulu menghantam dinding yang sudah roboh. Suara benturannya yang keras terdengar nyaring di telinga. Jantungnya mencelos dan ketika guncangan lain datang dari belakang, tubuhnya tersentak ke depan. Keningnya membentur permukaan kaca hingga berdarah. Dean mengalami hal yang sama. Mobil mereka akhirnya berhenti, tapi saat itu juga Nikki pingsan. - 08.22 Dean merogoh ke dalam ransel hitam milik Nikki, berusaha menemukan perban atau kain bersih dan alkohol. Tapi hanya ada sejumlah pakaian, senter, pisau tajam, dan juga senjata api yang dibungkus rapi menggunakan kain tebal. Dean tidak tahu harus merasa terkejut atau panik. Baginya yang terpenting sekarang adalah Nikki. Wanita itu terluka dan pingsan akibat tabrakan. Mobil mereka kini terjepit di antara dinding yang sudah runtuh dan bebatuan besar yang memblokade pintu mobil sehingga menutupi akses untuk keluar dari sana. Mau tidak mau mereka harus melompat keluar melalui pintu belakang mobil, tapi tidak ada yang dapat menjamin kalau mereka sudah benar-benar bebas dari kejaran orang-orang pribumi itu. Boleh jadi orang-orang itu sedang berkeliaran di atas, menunggu tanda-tanda pergerakan di dalam mobil sebelum memutuskan untuk menyerang. Meskipun tergoda untuk menyerang orang-orang itu menggunakan senjata yang diam-diam di bawa Nikki dalam ransel berpergiannya, Dean tidak mau mengambil risiko terutama karena Nikki masih pingsan. Setidaknya ia membutuhkan Nikki untuk sadar sehingga mereka dapat memikirkan jalan keluar terbaik. Pilihannya hanya menunggu dan mengupayakan segala cara untuk membuat Nikki sadar. Setelah beberapa menit berkutat dengan semua barang-barang di dalam mobil, Dean merasa putus asa karena tidak kunjung menemukan perban. Akhirnya ia menggunakan pakaian dan menyiramnya dengan alkohol yang – untungnya – masih tersisa di laci dasbor, untuk mengobati luka berdarah akibat benturan keras pada kening Nikki. Selagi mengobati wanita itu, tangan Dean serasa bergetar, dan dadanya terasa sesak. Rasa bersalah seketika mengisi paru-parunya, menusuk perutnya dengan tajam, dan membuat air matanya merebak. Kalau saja Dean tidak pergi ke tempat itu, Nikki tidak akan terluka selagi berusaha menolongnya. Wanita itu tidak harus terlibat dalam semua kekacauan yang terjadi sana dan Nikki tidak harus menghadapi semua kesulitan itu bersamanya. Tapi seharusnya Dean tidak melibatkan Nikki sejak awal. Seharusnya dia tahu kalau Nikki tidak akan diam begitu saja saat Dean menghubunginya, tapi tetap saja Dean menghubungi wanita itu. Terlepas dari status pernikahan mereka sejak dulu sampai sekarang Nikki masih menjadi psikiaternya: seseorang yang Dean tahu dapat ia percayai dalam segala hal. Tidak begitu sulit untuk menebak kenapa ia masih saja terus menjalin kontak dengan wanita itu bahkan setelah mereka sepakat memutuskan perceraian. Hanya saja Dean terlalu keras kepala untuk mengakuinya – atau mungkin Nikki hanya tidak pernah memberi Dean kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Kini, duduk sendirian menatap wanita itu di kursi seberang membuat hatinya terasa pilu. Dean tidak ingat kapan terakhir kali ia meneteskan air mata, tapi malam yang hening di tempat antah berantah bersama Nikki yang duduk di sampingnya, Dean membiarkan air matanya jatuh. Tidak mau bersusah payah untuk membendungnya. Tenggorokannya terasa perih, bibirnya kering, dan perutnya sakit. Dean butuh minum. Ia memeriksa plastik putih di jok belakang mobil dan menemukan belasan kaleng minuman soda di dalam sana. Meskipun minuman itu tidak baik untuk perutnya yang kosong, Dean tidak bisa menolaknya. Meskipun begitu, Dean tidak bisa menolaknya begitu saja – tidak dalam situasi itu. Setelah meneguk minumannya dengan cepat Dean membiarkan keheningan malam menyelimutinya selagi ia menunggu Nikki sadar. Kedua matanya menelunsuri wajah Nikki. Satu tangannya terangkat untuk menyentuh rahang wanita itu. Dean mengusapnya dengan pelan menggunakan ujung jari, lupa tentang betapa menyenangkannya hal itu. Ketika tatapannya jatuh ke bawah, Dean melihat kotak hitam mengintip dari balik celah saku celana Nikki. Langsung saja Dean menjulurkan tangan untuk merogoh ponsel itu. Ia menatap layarnya dan memeriksa jaringan yang tersedia. Namun seperti yang sudah bisa ditebak, tidak ada sinyal yang memungkinkan Dean untuk melakukan panggilan ke luar. Beberapa pesan juga masih menggantung, jadi sepertinya tidak ada yang benar-benar bisa dilakukan kecuali menunggu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD