DAY 7

1696 Words
02.35 Duduk diam dalam kegelisahan terasa sangat menyiksa. Dean menatap langit gelap di luar kaca jendela mobil selagi memikirkan cara untuk membawa mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan selamat. Dean sudah mempertimbangkan untuk mengirim sinyal bahaya pada Kate. Tapi akan butuh waktu lama sebelum Kate dan tim-nya sampai disana untuk menolong mereka. Selain itu, akses satu-satunya hanyalah mobilnya sendiri. Mobil Nikki sudah hancur parah akibat terjatuh. Kaca-kacanya pecah karena dilempari batu sementara mesinnya mengepulkan asap tipis di udara. Mau tidak mau mereka harus mencari cara untuk kembali ke mobilnya. Dean bisa mengumpulkan beberapa barang yang dibawa Nikki di dalam mobilnya seperti perkakas untuk mengganti ban dan mungkin kaleng-kaleng soda itu untuk bertahan hidup. Kemudian ia sedang memikirkan cara untuk sampai disana ketika tiba-tiba saja Nikki beringsut di atas kursinya. Wanita yang baru saja sadar itu kemudian menatap Dean dengan penuh tanya. Dean berbalik mengamati Nikki. Berkat alkohol luka di dahinya sudah tidak lagi mengeluarkan darah, itu pertanda baik. “Hei,” ucap Dean sembari memutar tubuhnya ke arah Nikki. Tiba-tiba eksresi Nikki menengang. Dean menebak kalau Nikki sedang mengingat-ingat kejadian yang menimpa mereka sebelum ia pingsan karena sekarang wanita itu mengedarkan pandangannya ke sekitar dengan waspada kemudian bertanya, “dimana orang-orang itu?” Dean menggeleng. “Aku tidak tahu, yang pasti mereka tidak turun ke bawah sini. Keningmu terluka..” Dean menunjuk ke arah dahi Nikki dan wanita itu langsung menyentuhkan jarinya disana. “Tidak apa-apa.” “Seharusnya aku tidak melibatkanmu dengan semua ini.” Saat mendengarnya Nikki langsung memutar tubuh dan meletakkan seluruh perhatiannya pada Dean. Ada sesuatu yang menggelitik Dean tentang wanita itu. Fakta bahwa Nikki hadir disana telah mengikis semua hal yang dipikirkannya selama ini. Wanita itu masih cukup peduli untuk menolongnya. Dengan mengetahuinya saja sudah membuat Dean merasa lega – setidaknya Nikki tidak berubah. Jangan terlalu percaya diri! Dia seorang dokter, kau adalah pasiennya. Bersikap peduli memang sudah jadi kebiasaannya. Dia tidak sepertimu. Dia terlalu baik untuk orang sepertimu! Dean menarik nafas panjang kemudian membiarkan punggungnya yang menegang rileks sejenak dengan bersandar di atas kursi. Kini wanita itu menyipitkan matanya, menyelidik dan bertanya, “kenapa kau berpikir begitu?” “Karena kau jadi terluka.” “Kita tidak menginginkan semua ini terjadi. Tidak ada yang merencanakannya.” Dean mendengus keras, kemudian mengedarkan tatapannya ke luar jendela. “Aku tidak tahu Nik, kenapa kau datang? Bukankah aku sudah melarangmu untuk datang kesini?” “Aku tahu, tapi aku tidak butuh izin darimu untuk melakukan apa yang kumau, Dean. Sekarang, mari kita lupakan itu sejenak dan kau bisa menceritakan padaku siapa orang-orang itu dan kenapa mereka mengejarmu?” Dean menunduk menatap jari-jarinya, sejenak menimbang untuk menjelaskan pada Nikki semua yang disaksikannya. Tapi ketika ia menatap wanita itu lagi, Dean merasakan emosi yang sama seperti kali pertama mereka duduk berhadap-hadapan dalam sesi terapi. Saat itu Dean datang atas paksaan Kate. Seseorang memberitahunya kalau Nikki adalah salah satu psikiater terbaik disana. Dean tidak percaya sampai dia duduk berhadap-hadapan dengan wanita itu. Nikki bahkan dua tahun lebih muda darinya, tidak mengidap penyakit aneh yang membuatnya berdelusi sepanjang saat, dan dibesarkan dalam keluarga yang baik-baik saja. Namun, ketika berbicara dengannya, wanita itu bisa terdengar sepuluh tahun lebih tua darinya. Nikki mampu membaca emosinya dengan mudah dan tetap menghormatinya. Mungkin itu yang membuat Dean tertarik padanya. Saat ini emosi itu muncul kembali ke permukaan. Dean merasa enggan pada awalnya, tapi akhirnya ia menyerah untuk menumpahkan segalanya. “Aku tidak berbohong atau menghalusinasikan segalanya ketika kukatakan padamu tentang gadis yang didorong dari tebing itu..” Nikki mengangguk, satu tangannya yang hangat terbuka di atas punggung tangan Dean. “Aku tahu,” katanya. “Aku percaya padamu. Kau boleh menceritakan semua yang kau lihat.” “Aku menemukan lorong bawah tanah di pondok milik keluarga Bree. Seperti lorong yang sengaja disembunyikan karena mereka menutupi akses masuk ke dalam sana menggunakan lemari besar. Jadi aku turun ke bawah sana dan melihat jalan yang terbuka. Seperti lorong gelap panjang yang berakhir di hutan. Tempat itu benar-benar aneh. Semua yang ada disana tampak mati. Aku melihat patung sosok wanita yang lengannya sudah hancur. Patung itu memakai sebuah kalung dengan ukiran simbol yang sama seperti yang pernah kutunjukan padamu..” Nikki mengangguk sehingga Dean melanjutkan tanpa harus menjelaskan lebih detail tentang simbol itu. “Dan ada kuburan tengkorak.. seperti kumpulan tulang-tulang manusia yang ditumpuk di satu tempat. Aku mengikuti jejak gundukan terngkorak, dan itu mengarahkanku ke sebuah pohon oak besar. Ada sesuatu disana.. sesuatu yang menggantung di dahannya. Itu.. manusia. Kupikir itu laki-laki karena dia menggunakan jas dan celana, tapi wajahnya sudah tidak bisa dikenali. Tangan dan kakinya membusuk, dan ada luka bakar di sisi wajahnya. Seperti.. seseorang berusaha membakarnya sebelum menggantungnya di pohon. Aku melihat semua itu dengan mata kepalaku sendiri, kemudian seseorang berusaha membunuhku dengan anak panah. Itu para penduduk pribumi berkulit hitam. Mereka mengejarku di dalam hutan sampai aku diserang dari belakang dan aku jatuh. Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu. Ketika aku terbangun, aku sudah berada di dalam pondok. Mudah untuk menyimpulkan kalau aku hanya bermimpi. Bree dan saudari perempuannya berusaha mengelabuiku dengan mengatakan kalau lorong itu tidak pernah ada. Mereka merencanakan semua itu. Aku tidak bisa memercayai orang-orang itu lagi. Aku nyaris berpikir kalau aku sudah gila. Tapi hari berikutnya aku melihat hal lain..” Dean beringsut di atas kursi, mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Nikki. “Pagi itu aku mendengar suara musik.. seperti gendang yang ditabuh secara bersamaan dari arah hutan. Kupikir aku hanya berhalusinasi saja, tapi kemudian aku melihat sekelompok orang-orang pribumi berjalan melintasi hutan. Aku mengikuti jejak mereka dan itu membawaku ke sebuah lapangan besar tempat orang-orang berkumpul. Mereka semua.. wanita. Aku tidak tahu kenapa tapi sejak kedatanganku ke tempat ini, tidak ada satupun laki-laki yang kutemui disini - kecuali laki-laki di hutan, tapi dia sudah mati dan jasadnya digantung di pohon. Mereka bilang kalau semua laki-laki pergi saat musim berburu. Tidak ada yang memberitahuku alasannya. Kurasa semua orang berbohong tentang banyak hal, aku tidak tahu siapa yang dapat dipercaya. Dan ketika aku melihat orang-orang berkumpul di lapangan itu, aku mengamati mereka. Mereka seperti sedang berdoa. Seseorang naik ke atas tebing batu – seorang wanita dewasa yang mengenakan jubah hitam. Dia mengucapkan sesuatu dalam bahasa asing. Aku tidak menangkap apa maksudnya, sampai seorang wanita lain ikut naik ke atas tebing itu – kali ini bersama seorang gadis, dan mereka menutupi wajah gadis itu dengan kain merah, mendorongnya ke dasar tebing. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri: ketika gadis itu jatuh dan tengkoraknya menghantam bebatuan kasar di bawah tebing. Dia mati seketika, tapi tidak ada siapapun yang berusaha menolongnya. Semua orang yang hadir disana hanya diam - diam dan menyaksikan. Aku berlari ke tengah-tengah mereka, tapi seseorang berteriak dan mereka mengerubungiku. Beberapa di antara mereka mulai berusaha menyakitiku: mereka mencakar wajahku. Aku berusaha melawan, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Jadi aku berlari, dan.. dan seseorang di belakang melepaskan anak panahnya. Mengenai kakiku. Itu adalah saat ketika kita terakhir berbicara lewat telepon. Aku berhasil meloloskan diri dari mereka – setidaknya untuk sementara waktu, sebelum mereka menemukanku dan membawaku kembali pada Bree dan keluarganya. Hanya saja kali ini semuanya terasa berbeda. Aku tidak bisa memercayai Bree lagi. Aku tahu apa yang kulihat, aku berusaha menjelaskan padanya tentang pembunuhan di atas tebing itu, tapi aku seharusnya tidak memercayainya sejak awal. Dia berbohong padaku tentang lorong di bawah pondoknya itu, dan dia berbohong lagi sekarang. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku harus repot-repot menjelaskan semua itu padanya. Mereka menangkapku, mengurungku di ruang bawah tanah, sebelum salah satu dari mereka membebaskanku..” “Bree?” “Tidak, Irine. Kakak Bree.” “Kenapa dia membebaskanmu?” tanya Nikki. “Dia tidak mengatakannya dengan jelas, tapi disinilah aku. Terjebak disini sementara orang-orang di luar sana berusaha mengejarku.” “Apa yang mereka inginkan darimu?” “Aku tidak tahu, Nikki, tapi aku yakin Bree dan keluarganya tahu. Mereka tampaknya merencanakan semua ini sejak awal.” “Jadi apa rencanamu sekarang?” “Kita bisa kembali untuk menjemput mobilku. Mobilmu rusak parah, mustahil untuk memperbaikinya, tapi mobilku masih bisa diperbaiki. Kita akan pergi kesana, kemudian aku akan memperbaiki mobilku, dan kita pergi. Itu rencanya. Selain itu aku juga meninggalkan alat pelacakku disana, jadi kita bisa berharap Kate akan datang kesana untuk membantu. Mungkin aku bisa menggunakan ponselmu untuk menghubunginya.” “Omong-omong soal Kate, dia memintaku untuk menghubunginya melalui radio. Aku menyempan chip yang bisa kugunakan nanti untuk memanggilnya.” “Chip apa?” “Semacam alat komunikasi portabel yang bisa diaktifkan melalui radio mobil.” “Bagaimana kau tahu soal radio?” “Tanya Kate, aku sama butanya sepertimu sebelum dia mengatakan soal benda itu.” “Sudah kuduga.” “Jadi, aku akan membawa alat itu untuk berjaga-jaga. Dan aku baru ingat sesuatu, Kate juga memintamu untuk mengaktifkan kode merah. Apa artinya itu?” Dean tersenyum pahit, kemudian menatap Nikki dan mengatakan, “artinya, celakalah kau!” “Serius, Dean!” “Apa aku terlihat sedang bergurau padamu?” Dean memasang raut wajah serius dan Nikki langsung mengernyitkan dahinya dengan geli. “Terserah!” “Ayo, ada baiknya kalau kita pergi dari sini selagi langitnya masih gelap. Itu akan membantu kita untuk bersembunyi jika orang-orang itu masih mengejar kita.” “Aku setuju padamu.” “Sekarang bawa apapun yang diperlukan. Aku akan keluar sebentar untuk memastikan tempatnya aman.” Di depannya laci dasbor yang terbuka menawarkan sebuah senter kecil. Dean langsung meraih senter itu kemudian mengatakan, “aku akan menyalakan lampu senter ini tiga kali kalau tempatnya sudah aman. Kau tunggu disini selagi aku mematikan dan jangan keluar sebelum aku memberimu aba-aba.” “Tentu saja.” Kedua mata Dean memincing saat mengamati wanita itu, merasa curiga kalau Nikki akan menurutinya tanpa bertanya-tanya. “Aku serius Nik. Jangan keluar sampai aku memberimu aba-aba!” “Dan aku bilang, tentu saja.” “Baiklah. Kita keluar lewat pintu belakang. Pastikan kau tidak menginjak serpihan kaca.” Nikki meremas pundak Dean dan sebelum Dean sempat bereaksi, wanita itu sudah mencondongkan tubuh untuk mencium wajahnya. “Berhati-hatilah!” Dean menatap Nikki, sejenak merasakan nafasnya tersengal, kemudian bergerak cepat melompati kursi belakang mobil dan keluar dari sana. Ia menghindari serpihan kaca yang bertebaran di lantai mobil sebelum melompat keluar menghadapi kegelapan malam.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD