6E

2699 Words
03.53 Jantung Nikki berdegup kencang ketika menyaksikan lampu hijau pada layar kecil di dasbornya berkedip. Sebuah pemberitahuan yang muncul di layar itu mengatakan kalau alat pelacak yang diletakkan Kate di Roger milik Dean telah berfungsi kembali. Nikki merasakan secercah harapan membanjirinya. Itu berarti masih ada kesempatan untuk menolong Dean. Laki-laki itu telah mengirim sinyal melalui alat pelacak, meskipun tidak yakin tentang kondisi Dean, tetap saja Nikki bersyukur karena akhirnya ia mendapatkan petunjuk yang tepat untuk mengemudikan mobilnya. Setelah menyetel pemandu otomatis, Nikki langsung mengemudikan mobilnya mengikuti petunjuk arah pada layar itu. Setidaknya dua puluh menit setelah berkendara, sebuah penanda pada layar monitor kecilnya mengatakan kalau Nikki sudah hampir sampai. Hanya tersisa beberapa meter lagi dan ia akan bertemu Dean. Gagasan itu entah bagaimana membuat jantung Nikki berdegup kencang. Apa yang akan dikatakan Dean nanti ketika melihatnya? Nikki tidak mau menebak-nebak reaksi laki-laki itu, tapi tetap saja ia melakukannya. Kau pergi kesana untuk membantunya, titik. Bibirnya bergerak mengulangi kalimat itu tanpa bersuara. Kemudian begitu melihat kepala roger milik Dean di ujung jalan, Nikki langsung memutar setir untuk menepikan mobilnya. Dengan tergesa-gesa, Nikki bergerak turun untuk memeriksa roger itu. Bagian depan kelihatannya baik-baik saja, tapi kaca di samping rusak parah. Seseorang yang berusaha menerobos masuk tampaknya memcahkan kaca itu. Pecahannya bertebaran di permukaan tanah. Sementara itu, kursi depan kosong, begitupun dengan kursi belakang. Yang tidak kalah kacau adalah bagasinya. Pintu bagasi itu terbuka dan memperlihatkan sebuah ransel hitam, bercak berwarna merah gelap di lantai bagasi, dan juga kotak perkakas dengan isi yang berhamburan dimana-mana. Nikki mengamati ban mobilnya yang pecah dan dengan cepat menyimpulkan kalau seseorang sedang berusaha memperbaiki ban itu. Tapi setelah menatap ke sekelilingnya, ia tidak menemukan siapapun disana. Jantung Nikki bedegup kencang karena gelisah. Langsung saja ia mengangkat ponselnya untuk mencoba menghubungi Dean. Namun suara yang keluar dari mikrofon kecil itu memberitahunya kalau disana tidak ada jaringan. Nikki mengerang dengan kesal kemudian berlari kembali ke kursi depan untuk memeriksa apapun yang tertinggal disana. Alat pelacak yang ditinggalkan Dean masih menggantung di langit-langit mobil. Lampu birunya yang berkedip menunjukkan kalau alat itu masih berfungsi dengan baik. Kemudian Nikki memeriksa laci dasbornya. Laci itu dipenuhi oleh sampah sisa bungkusan permen dan makanan ringan. Ia bertanya-tanya sejak kapan Dean gemar mengonsumsi permen karet? Tidak hanya itu, tas merah kecil berisi obat-obatannya juga di simpan disana. Secara naluriah Nikki langsung meraih tas itu, membuka untuk memeriksa isinya. Obat yang diberikannya pada Dean masih dalam jumlah yang sama. Hal itu sekaligus menjawab pertanyaan kalau Dean tidak mengambilnya barang satupun. Nikki berdiri terhenyak memikirkannya, tapi akal sehat meminta Nikki untuk mengabaikan hal itu untuk sejenak dan fokus untuk menemukan Dean. Namun setelah lima belas menit berkeliling di sekitar tempat itu dan tidak kunjung menemukan Dean, Nikki akhirnya memutuskan untuk kembali ke dalam mobil kemudian mengendarai mobilnya untuk mencari posko keamanan terdekat, Kalau dugaannya tepat, Dean pastinya berada disana, mungkin laki-laki itu berusaha mencari bantuan karena satu hal yang diketahui Nikki secara pasti: laki-laki itu tidak pandai memperbaiki mobil. - 04.11 Dean bersyukur ketika ia dapat keluar dari dalam hutan dan menelunsuri jalanan beraspal tempat dimana kendaraan umum bisa berlalu lalang. Tepat di ujung jalan terdapat sebuah bagunan kecil yang mirip posko petugas keamanan. Kacanya kusam, cat dindingnya mengelupas dan sulur-sulur pepohonan jauh di atas atapnya yang tampak kokoh. Ketika Dean memasuki posko itu, pintunya sudah dibiarkan terbuka sejak tadi, namun tidak ada siapapun di dalam sana. Barang-barang yang kini diselimuti debu, dibiarkan tergeletak di atas meja, tapi dua cangkir yang masih terisi oleh sisa cairan kopi hitam tampaknya baru ditinggalkan disana, terbengkalai bersama sisa makaroni cheese yang hampir membusuk. Di dekat pintu, seseorang menggantung topi hitam dan jaket usang berwarna coklat. Permukaan jaket itu sama sekali tidak berdebu, jadi sepertinya seseorang belum lama ini berada di posko itu. Dean kemudian memeriksa mesin pemanas kopi di dekat konter. Mesinnya sudah dimatikan tapi masih ada sisa cairan kopi di dalam sana. Ia kemudian menekan tombol merah hingga cairan kopi tumpah di atas tangannya. Masih panas. Artinya seseorang baru saja singgah disana. Mungkin – jika ia cukup beruntung orang itu masih ada di dalam sana. Cepat atau lambat orang itu akan kembali kesana. Dengan begitu, Dean bisa memintai bantuan. Selagi menunggu, ia mengedarkan tatapannya ke sekeliling ruangan untuk menemukan sakelar. Tapi ruangan itu dipadati oleh sejumlah barang yang diletakkan secara asal. Sulit untuk menemukan sumber listrik disana. Kemudian Dean memutuskan untuk menggeledah semua laci pada meja-meja kayu yang ada disana – barangkali menemukan baterai yang bisa ia gunakan untuk menghidupkan kembali walkie talkie-nya. Namun yang ditemukannya di dalam laci justru alat-alat seperti pengikir kuku, mesin perekat dokumen, kertas-kertas kosong yang sudah menguning, alat cukur, dan juga kalkulator tua. Dean berdecak masam selagi membanting laci hingga tertutup rapat. Ia kemudian beralih pada laci berikutnya sebelum terpikir kalau boleh jadi kalkulator tua itu masih menggunakan baterai. Langsung saja Dean memeriksanya, dan benar saja. Ada dua baterai di bagian belakang kalkulator itu. Dean bersyukur karena seseorang disana masih memutuskan untuk menggunakan kalkulator lama yang dioperasikan menggunakan baterai. Setelah mengukur ketebalan baterainya, kelegaan langsung membanjirinya ketika baterai memiliki ukuran yang pas dengan baterai yang dibutuhkan walkie talkie-nya dan begitu Dean memasukkan baterainya ke dalam lubang kosong pada alat itu, lampu merah yang mulai berkedip-kedip menandakan kalau mesin komunikasi itu mulai berfungsi. “Ya!” Dean bergerak mendekati pintu ketika menekan tombol merah pada mesin itu dan mulai berbicara. “Nikki! Nikki! Kau mendengarku? Ini Dean! Tolong jawab aku jika kau mendengarnya..” Mesin kecil itu mengeluarkan suara gemerisik yang lirih ketika mencoba menangkap sinyal terdekat. Kemudian setelah lima belas detik yang mendebarkan, bergerak mondar-mandir di depan pintu, suara Nikki akhirnya muncul melalui lubang kecil mikrofonnya. Suaranya masih terputus-putus, Dean tidak dapat menangkap apa yang dikatakan wanita itu dengan jelas, tapi tetap saja kelegaan membanjirinya. “Dean.. aku.. kesana.” “Aku tidak bisa mendengar..” Suara Nikki kembali muncul jauh sebelum Dean menyelesaikan kalimatnya. Dean memejamkan kedua mata, menunggu sampai wanita itu selesai berbicara sebelum mengatakan, “Nik, bukan seperti itu cara menggunakan mesinnya. Dengar ini! Aku akan berbicara sampai selesai, kemudian ketika aku sudah selesai, aku akan mengatakan ‘ganti’ dan kau boleh berbicara. Begitu kau selesai kau juga harus mengatakan ‘ganti’ sehingga aku bisa tahu kapan aku mulai berbicara. Kau mengerti? Ganti!” “Demi Tuhan, Dean! Apa itu penting? Dimana kau sekarang?” Dean menunggu, tidak ada suara yang muncul kemudian ia menekan tombol merah dan mulai berbicara lagi. “Ganti, Nik, jangan lupakan itu. Aku ada di posko sekarang. Kau dimana? Apa kau sudah berbicara pada Kate? Ganti.” “Ya, aku sudah berbicara pada Kate, tapi dia sedang berada di luar kota. Mungkin satu hari lagi dia akan kembali. Apa kau baik-baik saja..?” Hening, kemudian.. “Ganti.” “Aku tidak yakin. Yang pasti aku butuh bantuan. Mobilku rusak dan aku harus memperbaikinya. Aku tidak bisa pulang sampai aku mengganti ban-nya yang pecah. Ganti.” “Ya, aku melihatnya.. Jadi dimana kau sekarang? Ganti.” “Tunggu! Apa? Kau melihatnya? Maksudmu, kau datang kesini?” Hening.. Dean lupa saking paniknya. “Ganti.” “Ya,” jawaban itu diucapkan dengan datar dan terkesan dingin seolah-olah wanita itu tengah berusaha menebak reaksinya. Tapi pikiran Dean sudah kacau setelah mengetahui Nikki menceburkan dirinya ke dalam jurang yang sama. Sekarang Dean tidak hanya harus berjuang untuk membebaskan dirinya dari tempat itu, tapi juga Nikki. Menimbang dari pengalamannya hidup di bawah atap yang sama bersama wanita itu selama hampir tujuh tahun lamanya, Dean cukup paham bahwa Nikki terlalu keras kepala ketika wanita itu sudah bertekad. Jadi sia-sia saja menyalahkan Nikki atas keputusannya, toh wanita itu sudah berada disana. “Sial!” Dean memejamkan kedua mata, mengembuskan nafasnya, kemudian bertanya, “dimana kau sekarang? Ganti.” “Apa? Kenapa? Kau kedengarannya tidak senang?” “Katakan saja dimana kau sekarang!” Dean menggertakkan giginya dengan kesal. Kelihatannya Nikki yang menyebalkan dan keras kepala sudah kembali lagi. “Ganti.” “Aku tidak tahu, aku mencarimu. Mungkin kau bisa memberiku koordinat untuk posisimu sekarang. Ganti.” “Ya, aku di posko keamanan. Letaknya beberapa ratus meter dari mobilku berada. Kau bisa melihat bangunannya di bahu jalan. Hanya posko kecil dengan cat dinding warna putih yang sudah mengelupas. Ganti.” “Oke, kurasa tidak jauh dari sini. Aku akan kesana. Ganti.” “Baiklah, berhati-hatilah!” Dean menunggu tanggapan, tapi Nikki sudah tidak terhubung. Kemudian, secara tak terduga, ia mendengar suara letusan senapan dari luar posko. Dean melongokkan wajahnya keluar pintu untuk mencari dimana sumber suara itu berasal. Tubuhnya terhenyak saat ia menyaksikan seorang wanita bertubuh gemuk dengan tinggi yang mengerikan sedang berdiri di depan posko. Wanita itu menatap ke seberang hutan dengan kedua mata membeliak. Sebuah senapan berkaliber digenggam erat di satu tangannya sementara tubuhnya berdiri dengan waspada. Wanita itu memiliki tubuh besar dan bahu yang lebar hingga siapapun akan berpikir kalau ia adalah laki-laki jika dilihat dari belakang. Tapi ketika Dean mendekatinya perlahan, gambaran wajahnya menjadi semakin jelas. Perawakannya menegaskan bahwa ia adalah tipe wanita yang gemar minum kopi panas dan makaroni cheese di siang bolong. Wanita itu berkulit hitam, rambut gimbalnya yang tampak gersang dipangkas hingga tidak menyisakan sehelai rambut-pun yang menggantung di belakang bahunya. Sepasang bahunya yang lebar tampak cocok dengan jaket yang ditemukannya di dalam posko. Pastinya wanita itulah yang mendiami posko jauh sebelum Dean hadir disana. Kini Dean bergerak mendekatinya perlahan dengan harapan kalau wanita itu cukup ramah untuk dimintai bantuan. Namun kehadirannya justru mengejutkan wanita itu hingga hampir saja Dean menjadi sasaran tembak. “Tunggu! Tunggu!” ucap Dean begitu wanita itu berbalik ke arahnya sembari menodongkan senjata. Untuk menyakinkan wanita itu kalau ia tidak memiliki maksud buruk, Dean mengangkat kedua tangannya selagi berbicara, “aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya ingin meminta bantuan.” “Siapa kau?” “Namaku Dean.” Sepasang mata dengan pupil gelap itu masih menatap dengan curiga ke arahnya. Dean bergerak mendekat untuk menunjukkan kesungguhannya. Lambat-laun wanita itu akhirnya luluh dan mulai menurunkan senjata. Dari dekat, wajahnya tampak lebih tua. Mungkin wanita itu sudah menginjak usia empat puluhan. “Lihat? Aku tidak bawa senjata apapun. Mobilku mogok dan aku butuh beberapa alat untuk memperbaikinya. Bisakah kau menolongku?” “Kau seharusnya tidak datang kesini.” “Ya, kuharap aku tidak pernah datang kesini, tapi disinilah aku. Terjebak di tempat antah berantah bersama orang-orang gila yang berusaha membunuhku.” “Orang-orang gila yang berusaha membunuhmu?” “Ya.” “Dimana mereka?” “Di hutan.” “Tunjukan padaku!” “Tidak!” ucap Dean dengan cepat. “Terlalu berbahaya untuk kembali kesana. Mereka orang-orang aneh, mereka akan membunuhmu.” Rahangnya mengeras, wanita itu tampak marah - bukan sebuah pertanda baik. Dean harus berhati-hati kalau tidak mau jadi sasaran tembak. Tapi sepertinya, ada sesuatu yang aneh tentang wanita itu, sesuatu yang membuatnya terus memandangi Dean dengan tatapan menyelidik. “Aku ingin menemui mereka. Jika mereka ingin membunuhku, maka biarkan saja mereka mencoba. Aku tidak datang sejauh ini untuk pergi. Aku akan menemukan saudaraku di tempat ini, setelah itu baru aku pergi.” “Tunggu,” alis Dean mengerut. “Saudaramu?” Wanita itu mengangguk kasar. “Kau mengenalnya?” “Siapa?” “Ian. Dia sudah menghilang selama berbulan-bulan. Orang-orang mau memercayai kalau dia sudah mati, tapi aku tidak bisa menerimanya begitu saja. Aku mendengar panggilan terakhir dari Ian sebelum dia menghilang. Dia mengatakan sesuatu tentang tempat ini. Dia berada dalam bahaya. Aku berusaha untuk menghubunginya balik, tapi dia tidak pernah menjawab. Kau kenal Ian?” Sejenak Dean berdiri terpaku di tempatnya, tiba-tiba teringat semua yang disampaikan Irine tentang laki-laki bernama Ian. Jadi wanita itu tidak berusaha mengelabui Dean dengan ceritanya, dan kalau semua yang dikatakan Irine benar, maka Ian sudah tewas. Wanita di hadapannya masih menunggu Dean untuk mengatakan sesuatu, tapi Dean tidak mau berspekulasi. Alih-alih menjawab pertanyaannya, Dean justru menunjuk ke arah senjata yang digenggam wanita itu. “Apa yang mau kau lakukan dengan senjata itu?” “Membunuh mereka. Orang-orang gila yang menculik adikku.” Dean menyadari kalau wanita itu mengingatkannya pada Kate. Kakaknya yang keras dan pemberani. “Tadi kau menembak sesuatu?” Hening. Wanita itu terpaku memandang ke suatu tempat, tapi bukan ke arah Dean. Ia sedang mengawasi sesuatu yang bergerak di sekitar mereka. “Diam..” bisiknya dengan pelan selagi berjalan mendekati Dean. “Apa? Ada apa?” “Ada seseorang disana.” “Kau yakin? Mungkin hanya rusa.” “Tidak! Aku yakin itu manusia.” “Beritahu aku bagaimana rupanya?” “Mereka mengenakan pakaian aneh.” Dean hendak membuka mulut untuk menanggapi, tapi kemduian sadar kalau wanita itu baru saja menyebut kata ‘mereka’. Itu artinya ada lebih dari satu orang yang sedang mengintai mereka. Kemudian, tanpa aba-aba, wanita besar itu mendorong Dean dengan kasar hingga tubuhnya membentur permukaan tanah. “Aduh!” “Menunduk bodoh!” Sebuah panah melesat di atas kepala mereka. Nyaris saja. Dean tiarap di atas tanah sementara wanita itu mengangkat satu lengannya dan mulai menembak ke arah dimana panah itu berasal. Dor.. Dorr.. Dorr.. “Sialan!” Tembakannya sepertinya meleset. Dean bangkit dengan hati-hati, ia menghindari sejumlah panah yang ditembakkan ke arah mereka secepat mungkin. Kemudian sadar kalau sisa peluru pada senjata itu akan segera habis, Dean memutuskan dengan cepat untuk menarik wanita itu pergi meninggalkan lapangan. “Jangan disini!” katanya selagi berlari menarik wanita itu untuk mencari tempat sembunyi. Tapi, siapa bilang menarik wanita yang memiliki ukuran badan dua kali lebih besar darinya itu urusan mudah? Belum lagi wanita itu terlalu keras kepala untuk mendengarnya. Satu panah melesat lagi. Kali ini Dean dapat melihatnya: tiga orang penduduk pribumi sedang bersembunyi di pinggir hutan sembari menembaki mereka dengan anak panah. “Lari!” wanita itu berteriak padanya. “Pergi!” Dean kemudian memandanginya, merasa ragu-ragu untuk meninggalkan wanita itu sendirian disana. “Apa yang mau kau lakukan? Jumlah mereka terlalu banyak, kau tidak akan bertahan.” Alih-alih mendengarkannya, wanita itu justru menggertakkan giginya dan mengulangi perintahnya dengan tegas sembari terus menembaki orang-orang itu. “Pergi! Aku bilang pergi!!” Merasa tidak ada sesuatu yang dapat dilakukannya untuk membantu sementara ia akan membuat dirinya sendiri terbunuh jika tetap berada disana, Dean akhirnya berbalik pergi menuju jalanan lepas. Ketika ia sudah cukup jauh dari posko itu, Dean menatap ke belakang dan menyaksikan saat panah mengenai lengan wanita itu hingga membuatnya ambruk di atas tanah. Kemudian belasan penduduk pribumi lain yang sejauh ini hanya bersembunyi di balik pohon mulai menunjukkan dirinya. Semuanya adalah wanita berkulit hitam dan mereka semua sedang berlari untuk mengerubungi wanita besar yang ambruk di atas tanah dengan dua panah menusuk di tubuhnya itu. Dean terpaku, selama sejenak ia mematung, merasa bingung memikirkan cara untuk membantu. Tapi sepertinya sudah terlambat. Terlalu banyak orang-orang yang memegang senjata disana, sementara ia hanya sendirian, dengan satu kaki pincang dan tubuh yang kelelahan. Mungkin Dean bisa menghadapi satu atau dua wanita yang hendak menyerangnya, tapi tidak sepuluh wanita dengan anak panah di tangan mereka. Kemudian, saat Dean masih berdiri terpaku memikirkan nasib wanita besar yang dikerubungi oleh orang-orang itu, tiba-tiba ia melihat ketika salah satu penduduk pribumi itu menyadari keberadaannya. Kedua matanya membeliak, lengannya yang terangkat siap untuk menembakkan anak panah. Wanita itu berteriak pada kerumunannya, mungkin berusaha memberitahu kalau masih ada masalah yang harus disingkirkan. Dengan jantung berdegup kencang, Dean memutuskan untuk berlari cepat di jalanan lepas tanpa menengok lagi ke belakang. Firasatnya mengatakan kalau mungkin satu atau dua penduduk pribumi bersenjata itu sedang mengejarnya dan untuk alasan yang sama, Dean berlari cepat. Ia mengabaikan rasa sakit pada kakinya, jika tidak nyawanya terancam melayang. Untuk mengelabui orang-orang yang mengikutinya itu, Dean memotong jalan dengan berbelok di jalur setapak. Ia mengandalkan batang pohon-pohon tinggi di sekelilingnya untuk bersembunyi dari mereka. Kemudian ketika jalur itu kembali mengarahkannya menuju hutan, Dean bergerak mengambil sisi jalur lain dan keluar di jalanan melewati jalanan beraspal. Namun persis ketika ia hendak berlari menyebrangi jalur itu, sebuah mobil yang bergerak cepat melintas di jalur yang sama. Mobil itu datang disaat yang bersamaan ketika Dean hendak menyebrang. Sang pengemudi segera menginjak pedal rem dengan cepat hingga suara melengking terdengar keras saat ban berdecit di atas aspal dan mobil berhenti persis beberapa senti darinya. Tubuh Dean membeku seketika itu juga. Jantungnya berpacu kuat. Nyaris saja tabrakan itu tak terhindarkan. Namun begitu melihat wajah Nikki yang tampak memerah di balik kemudi, kelegaan langsung membanjirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD