6D

1683 Words
01.05 Setelah cukup yakin kalau kerumunan kera itu telah meninggalkan area sungai, Dean menarik tubuhnya keluar dari sana. Jari-jarinya mengeriput karena terlalu lama berada di bawah air, bibirnya membiru, dan tubuhnya menggigil ketika berusaha menahan suhu rendah di permukaan air. Dean mengepakkan pakaian dan sepatunya yang basah. Perban yang melilit kakinya hampir terbuka dan memperlihatkan lukanya yang bernanah. Dean butuh alkohol dan perban yang baru. Ia cukup yakin kalau Nikki pernah menyimpan kotak P3K di dalam mobil - dan mungkin ada pakaian bersih juga yang masih tertinggal disana. Dean ingat betul ia meninggalkan satu tas penuh berisi pakaian ketika tahu kalau ia dan Bree harus melanjutkan perjalanan menuju pondok dengan berjalan kaki. Dean tidak pernah merasa lebih bersyukur karena telah membuat keputusan yang tepat itu. Sementara itu, hari semakin siang dan matahari sudah naik di atas kepala. Cahayanya membanjiri setiap sudut tempat di dalam hutan. Dean berjalan menyusuri jalur setapak selagi menahan rasa sakit akibat luka di kakinya yang terbuka. Di sekelilingnya, jalur sedikit lebih leluasa karena tidak banyak pohon tumbuh disana. Hal itu juga membantunya untuk melihat keluar dari kedalaman hutan. Dean sudah berjalan ratusan meter jauhnya meninggalkan sungai ketika ia akhirnya menemukan jalur setapak menuju tempat dimana mobilnya ditinggalkan. Tidak sulit untuk mengenali jalur itu. Kali pertama Dean datang kesana, ia sudah menandai tiga pohon kembar yang berdiri sejajar dan sebuah dahan yang menunjuk ke arah utara. Seseorang telah menandai pohon besar disana dengan ukiran dan ada sebuah papan kayu tua yang ditancap di atas permukaan tanahnya yang lembab. Ketika Dean akhirnya melihat buntut oranye roger yang mengintip dari balik semak-semak tinggi, ia menyeringai lebar. Hatinya dibanjiri oleh perasaan lega yang sama persis seperti ketika ia berhasil meloloskan diri dari sekawanan kera. Karena itu Dean berlari cepat menghampiri rogernya. Ia mengelap permukaan kacanya yang di selimuti daun-daun gugur menggunakan lengan pakaiannya. Dean tidak pernah merasakan rasa senang sebesar itu ketika ia dapat melihat roger butut tuanya lagi. Rasanya konyol sekali, tapi tetap saja hal itu terasa seperti sebuah keajaiban dalam situasi ini. “Ya! Aku sangat merindukanmu, Bi! Serius! Aku merindukanmu!” Saking senangnya Dean tersenyum begitu lebar sampai-sampai rahangnya terasa sakit karena ditarik begitu erat. Namun ketika hendak membuka pintu mobil, Dean baru teringat kalau ia meninggalkan mobilnya dalam keadaan terkunci, sementara kunci mobilnya sendiri masih tertinggal di dalam pondok. Tergeletak di atas nakas kayu kecil di kamar utama. “Sial! Sialan!” Merasa kesal ia bergerak mondar-mandir di depan mobil itu sembari memikirkan cara untuk masuk. Saat remaja, Kate pernah mengajarinya cara menyalakan mesin mobil menggunakan perkakas. Dean yakin ia masih mengingat caranya dan pastinya kalau ia berhasil masuk ia bisa menemukan kotak perkakas milik Kate di dalam dan menemukan benda yang dibutuhkan untuk menyalakan mesin itu. Dulu Kate sering melakukannya ketika ayah mereka tidak mengizinkan Kate menggunakan mobil. Kate remaja yang keras kepala bersikeras tetap menggunakan mobil itu untuk menemui kekasihnya. Suatu hari Dean menyaksikan Kate mengendap-endap keluar dari rumah pada tengah malam dan mencuri mobil ayah mereka dari garasi hanya untuk menemui kekasihnya. Kali berikutnya Kate melakukan hal yang sama, Dean bersembunyi di dalam mobil itu untuk menyaksikan bagaimana Kate menyalakan mesin mobil menggunakan perkakas dan mengemudikannya keluar dari halaman rumah dengan kecepatan tinggi. Dean nyaris muntah karena guncangan hebat setiap kali Kate menerjang lubang di jalananan tanpa menurunkan kecepatannya. Kalau saja Kate tahu Dean bersembunyi di bangku belakang mobil, dengan tubuh kurusnya yang hanya ditutupi oleh selimut tebal, pastinya Kate akan marah besar. Tapi Dean tidak pernah mengakui semua itu pada Kate – setidaknya belum. Ia lebih nyaman menyembunyikan rahasia itu untuk dirinya sendiri karena jika Kate tahu, wanita itu pasti malu setelah Dean melihat apa yang disaksikannya di dalam mobil: tubuh telanjang Kate dan mantan pacarnya yang berkeringat menempel di atas jok mobil ketika mereka bercinta. Dean merasa jengah hanya dengan mengingatnya. Bagaimanapun, pengalaman itu bukannya tidak berguna. Setidaknya Dean jadi tahu cara menyalakan mesin mobil tanpa menggunakan kunci. Masalahnya, Kate tidak memberitahu cara untuk membuka pintu mobil dengan kaca yang tertutup rapat. Mau tidak mau, Dean mengambil jalan pintas termudah untuk memecahkan kaca menggunakan batu besar. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Kaca mobil bisa diperbaiki nanti, yang terpenting Dean harus segera keluar dari sana. Sembari menggenggam batu seukuran tiga kali kepalan tangannya, Dean mengambil jarak sekitar satu meter di depan kaca sebelum melempar batu itu hingga menghancurkan bagian samping kaca jendela mobilnya. Bunyi pecahan kaca yang nyaring ketika batu itu menghancurkannya membuat Dean berdiri terpaku menatap dengan pilu ke arah roger-nya selama beberapa saat. Kemudian ia membuka kemejanya dan menggunakan kain itu untuk menyingkirkan sisa pecahan kaca dari permukaan jendela. Kini yang tersisa hanya kaus abu-abu berlengan pendek dan jins-nya yang sudah sobek. Dean menjulurkan lengannya dengan hati-hati melewati permukaan jendela, kemudian membuka kunci hingga pintu mobilnya dapat digeser terbuka. Ia kemudian menyingkirkan sisa pecahan kaca di atas sofa dan di lantai mobil. Setelahnya Dean menekan tombol hitam di atas dasbor yang difungsikan untuk membuka bagasi. Suara klik yang samar terdengar ketika bagian dalam bagasinya terbuka. Dean berjalan mengitari mobil dengan cepat untuk membuka pintu bagasi. Namun begitu sampai di bagian belakang bagasi, sebuah cairan merah gelap yang tumpah di atas permukaan tanah menyita perhatiannya. Cairan merah gelap yang mengering itu kerubungi oleh puluhan lalat. Ketika Dean mengikuti jejaknya, ia mendapati kalau cairan merah gelap itu berasal dari celah bagasinya, membentuk garis panjang di bagian bawah mobil sebelum jatuh di atas permukaan tanah. Ketika satu jarinya menyentuh bercak cairan itu, bekas noda merah gelap yang telah mengering menempel di atas tangannya. Darah. Dean mengerutkan dahi dengan heran, bertanya-tanya dari mana asal datangnya darah itu. Kemudian ketika pintu bagasinya dibuka, Dean langsung tersentak mundur saat menyaksikan apa yang ada di dalam sana: kepala seekor rusa yang dipenggal. Bau busuk tajam yang menguar dari bangkai itu membuat Dean bergerak menjauhi mobil. Rasa mual mengaduk seisi perutnya, membuatnya membalikkan tubuh untuk sejenak berpaling dari pemandangan mengerikan itu. Satu pertanyaan terjawab sudah. Dean mengingat seekor rusa yang ditemukan tewas di dalam hutan. Bree yang pertama kali melihatnya. Ketika Dean datang, wanita itu menolak untuk mengatakan susuatu tentang bangkai rusa tanpa kepala. Alih-alih Bree memintanya kembali ke mobil. Dean punya firasat kalau Bree mengetahui hal itu. Jadi ia bertanya-tanya, siapa yang meletakkan bangkai kepala rusa itu di dalam bagasinya? Boleh jadi seseorang yang punya akses untuk masuk ke dalam mobilnya. Tapi siapa? Sepanjang perjalanan Dean hanya ditemani oleh Bree, kecuali tentu saja Bree yang membiarkan seseorang meletakkannya disana tanpa sepengetahuan Dean. Semua itu menjadi semakin gila saja. Dean bergerak mondar-mandir selagi berusaha meredakan rasa mualnya. Pada satu titik ketika ia sudah cukup siap, Dean kembali berjalan mendekati bagasi untuk menyingkirkan kepala rusa itu dari dalam sana kemudian membersihkan sisa darahnya yang menempel di lantai bagasi menggunakan kemejanya. Setelah membungkus kepala rusa itu menggunakan kemejanya yang sudah kotor, Dean menyingkirkannya ke bagian pojok bagasi, kemudian bergerak cepat untuk mencari kotak peralatan yang ditinggalkan di dalam bagasi seperti yang di katakan Kate. Kotak itu tersembunyi persis di dalam tas hitam yang ditinggalkannya. Dean menyambar tas hitam itu lebih dulu, menemukan sebuah sweter hijau dan jins bersih yang bisa ia gunakan. Kemudian secara tak diduga-duga, walkie-talkie milik Sam tersembunyi di bawah tumpukan pakaiannya. Dean mengeringai lebar saat mengangkat benda hitam itu di depan wajahnya. Sayangnya ketika ia berusaha menghidupkan tombolnya, lampu peringatan yang berkedip tiga kali pada mesin itu memberitahunya kalau ia kehabisan baterai. Dean langsung menggeledah seisi laci dasbor, berusaha menemukan baterai, tapi pencariannya terasa sia-sia. Tidak ada apapun di dalam sana selain sampah permen karet dan kaleng red bull yang sudah kosong. Ketika teringat olehnya tentang alat pelacak itu, Dean langsung memeriksa langit-langit mobil Dean ingat ia meletakkannya disana, tidak menyangka kalau ia benar-benar akan membutuhkannya. Kemudian ketika menemukan benda kecil itu, Dean langsung menyalakan tombol hitam untuk mengaktifkannya. Lampu biru yang berkedip menandakan kalau alat pelacak sudah menyala. Satu pertanda bagus, sekarang ia perlu memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan baterai sehingga Dean dapat berkomunikasi dengan Nikki melalui walkie-talkie itu. Tapi sebelum memutuskan untuk pergi dan mencarinya, Dean berkutat dengan serangkaian perkakas milik Kate untuk mengganti ban mobilnya yang pecah. Mulanya rencana itu cukup sederhana: perbaiki mobil, kemudian mengendara ke posko terdekat untuk mendapatkan baterai sehingga ia dapat menghubungi Nikki untuk meminta bantuan. Tapi mengganti ban yang pecah tidak semudah kelihatannya, bahkan dengan buku panduan manual sekalipun. Selain itu, perkakas milik Kate tidak cukup lengkap untuk menyelesaikan prosedur mengganti ban secara sempurna sehingga Dean masih harus berusaha mencari-cari alat yang dapat digunakannya untuk membuka ban itu. Masalahnya, Dean tidak punya pengalaman untuk memperbaiki mobil. Ia tidak pernah menekuni bidang itu sejak kecil, kalau tahu hal ini akan terjadi padanya, sudah pasti Dean akan mengabdikan masa kecilnya mengekor di belakang ayahnya yang merupakan seorang pandai mesin. Alih-alih mengikuti jejak laki-laki itu, Dean membenci setiap aspek pekerjaan yang ditekuni ayahnya sejak dulu. Hal itu semata-mata karena ia tidak begitu menyukai pemabuk keras kepala seperti ayahnya. Kate merasakan hal yang sama, kecuali karena kakaknya memang pandai dalam mengakali sesuatu. Kalau Kate ada disana, wanita itu pasti tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi itu. Dean mengerang kesal pada pikiran-pikiran yang muncul di kepalanya. Mungkin temannya benar kalau ia dilahirkan dengan serangan panik dan pikiran yang sulit untuk fokus pada satu hal. Berenang melatihnya untuk fokus pada satu hal, membuat Dean sejenak melupakan ratusan atau mungkin ribuan pikiran lain yang muncul secara bersamaan di dalam kepalanya dan mengalihkan fokusnya. Tapi obat-obatan jugalah yang berperan besar. Rasanya menyebalkan ketika tahu kalau ia dapat memikirkan seratus hal secara bersamaan di dalam kepalanya. Fokus, Dean! Fokus.. Dean menatap ke sekeliling sembari mengatur nafas. Matanya mencari-cari benda runcing yang cukup kuat untuk membuka ban mobilnya. Sebuah kayu dengan ujung runcing yang menancap di atas tanah terlihat cukup menjanjikan, jadi Dean mencobanya. Hasilnya nihil. Kayu itu tidak cukup kuat karena ketika Dean mendorongnya masuk melewati celah ban, kayunya justru terbelah menjadi dua. Dengan kesal Dean melempar kayu itu ke semak-semak. Kepalanya terasa berdenyut-denyut tak keruan. Ia kehabisan akal. Sementara itu walkie-talkie di saku jins-nya masih menjanjikan sesuatu yang mungkin layak di usahakan. Putus asa dengan ban mobilnya, Dean akhirnya memutuskan untuk pergi mencari posko terdekat untuk mendapatkan baterai. Dan dengan berat hati, lagi-lagi ia harus meninggalkan roger-nya disana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD