11.45
Dean terbangun ketika mataharinya sudah naik di atas kepala. Celah pada lubang ventilasi udara itu memungkinkan Dean untuk melihatnya. Luka pada kakinya seakan mati rasa, punggungnya kesakitan setelah tidur di atas lantai kasar yang hanya beralaskan tikar tipis sementara wajahnya nyaris membeku. Meskipun tempat itu kedap, hawa dingin yang dialirkan oleh angin sejak semalam, merambat ke setiap sudut tempat di dalam ruangan sempit itu dan membekukannya.
Selama beberapa jam Dean duduk diam disana sembari menatap lurus ke arah pintu. Ia menunggu selagi bertanya-tanya pukul berapa saat itu. Jika tebakannya tepat, maka seharusnya itu sudah hampir tengah hari. Dean lupa bertanya kapan tepatnya Bree akan datang untuk membukakan pintu. Wanita itu hanya mengatakan kalau ia akan kembali saat semua orang sudah pergi.
Samar-samar Dean mendengar suara derap langkah kaki beriringan sedang bergerak ke arah barat. Suara itu datangnya dari atap di atasnya dan kalau perkiraannya tidak salah, maka orang-orang itu sedang berjalan keluar melewati pintu belakang. Dengungan percakapan berdengung di telinganya. Ia memejamkan mata selagi mengingat-ingat suara mereka. Janet dan Bec, si kembar Jill dan Jess. Tapi ada lebih banyak suara yang didengarnya. Ada apa di atas sana? Pesta? Apa banyak tamu yang datang? Dean menebak kalau semua tamu itu adalah wanita berkulit putih.
Sekitar lima belas menit kemudian seseorang bergerak munuruni tangga. Rantai besi ditarik, jeruji di dorong ke samping, dan celah kecil di dinding kembali dibuka. Hanya saja wajah yang muncul disana bukan Bree melainkan Irine.
“Dimana Bree?”
“Masih di atas sana.”
“Apa yang mau kau lakukan disini?”
Irine menatap ke sekelilingnya sebelum mendekatkan wajahnya ke lubang. Alih-alih menjawab pertanyaan Dean, Irine justru melempar pertanyaan lain sembari berbisik.
“Apa yang dikatakan Bree padamu?”
Dean mengangkat satu alisnya, dengan cepat menutup diri untuk menghindari pertanyaan wanita itu. Ia tidak bisa memercayai wanita itu lagi – tidak setelah apa yang disaksikannya di dekat tebing.
“Apa maumu?” Dean mengulangi pertanyaannya, kali ini lebih pelan dan dingin.
“Aku bisa membantumu.”
Rahangnya ditarik begitu lebar ketika tersenyum sampai terasa sakit. Dean mendengus keras, selama sesaat hendak tertawa karena ia masih saja meletakkan harapan pada apa yang dikatakan Irine. Jelas-jelas ia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Irine terlibat dalam semua kegilaan itu.
“Kenapa aku harus mendengarkanmu?”
Irine mengangkat satu tangannya yang menggenggam sebuah alat pemotong kawat kemudian menunjukkannya di depan Dean.
“Karena aku bisa membantumu.”
Dean terpaku, merasa tergiur. Ia bisa menggunakan alat itu untuk memotong kawat yang menutupi lubang ventilasi udara dan keluar dari sana. Meskipun usaha itu akan membutuhkan sedikit upaya, tetap saja hal itu dapat dilakukan. Ada kursi kayu dan tikar. Dean bisa memanfaatkannya untuk memanjat ke atas ventilasi udara dan melompat keluar. Ukuran lubang itu tidak besar, tapi juga tidak begitu kecil. Setidaknya lubang itu seukuran satu setengah kali tubuhnya. Kalau Dean cukup pandai menekuk tubuhnya, ia dapat keluar dari sana dengan mudah.
Tapi memikirkannya saja lebih mudah ketimbang melakukannya, terutama ketika ia tidak benar-benar tahu motif di balik iktikad baik itu. Alih-alih menerima bantuan yang ditawarkan Irine dengan cepat, Dean mengikuti isting alaminya untuk mengulur waktu dan memuaskan rasa penasarannya dengan sejumlah pertanyaan yang sejauh ini sudah menggantung di kepala.
“Kenapa kau tidak mengatakan pada mereka apa yang terjadi sebenarnya di tebing itu?”
Irine terdiam cukup lama sebelum memutuskan untuk menjawab, “itu dilarang.”
“Jadi aku benar, kan? Kau ada disana, dan juga menyaksikan gadis itu di lempar dari atas tebing?”
“Itu tidak mengubah..”
“Itu benar, kan?” potong Dean dengan cepat.
Irine menatapnya, kemudian mengangguk pelan. Kedua bahu Dean yang sebelumnya menegang kini mengendur. Ada satu kelegaan aneh yang membanjirinya. Setidaknya sekarang ia tahu kalau semua itu bukan bagian dari halusinasinya semata.
“Kenapa mereka melakukannya?”
“Seorang gadis dikorbankan untuk menyambut bulan purnama. Ada kepercayaan yang mengatakan kalau hal itu dilakukan untuk memperpanjang usia kaum elite.”
“Kaum elite?” kedua alis Dean terangkat dan Irine langsung menjelaskan.
“Wanita berkulit putih.”
“Dan kau adalah salah satu dari mereka?”
“Ya.”
“Kalau begitu, kenapa Bree dan keluargamu yang lain tidak hadir disana juga?”
“Hanya mereka yang sudah menikah dan melakukan pengorbanan.”
“Pengorbanan apa?”
“Pengorbanan.”
Dean hendak membuka mulut untuk menanggapinya, tapi kemudian Irine kembali mengangkat alat pemotong kawat itu dan memasukkannya ke dalam ruangan melalui celah dinding. Alat itu kini jatuh berkelontang di atas lantai semen yang dingin. Dean mengawasinya dengan curiga, kemudian sebelum Irine berbalik pergi, ia bertanya.
“Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau mau membantuku?”
Ada senyum kecil yang tersungging di bibir Irine selama beberapa detik. Dean tidak sempat mengamatinya lebih jelas. Tidak banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan dan Dean sehingga bayangan hitam menghalanginya untuk melihat wajah Irine dari balik dinding dengan jelas.
“Seperi kataku,” Irine berkata, “.. kau mengingatkanku pada Ian dan aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.”
Kemudian wanita itu berbalik pergi tanpa mengindahkannya lagi. Dean berdiri mematung di tempatnya sampai Irine menghilang dari balik dinding. Samar-samar ia masih mendengar suara berderap langkah kakinya, kemudian suara itu menghilang di ujung tangga. Saat itu juga ia menunduk untuk meraih alat pemotong kawat dan tanpa berpikir panjang langsung bekerja untuk membongkar ventilasi udara.
Orang-orang disana mungkin telah mendesain tempat itu sedemikian rupa sampai berhasil membingungkannya, tapi tetap saja, desain rumit sekalipun dapat memiliki satu kelemahan stuktur. Dalam kasusnya, ventilasi udara itu merupakan salah satu kelemahan struktur dimana seharusnya mereka tidak perlu memberi celah apapun yang memungkinkan seseorang yang mereka tawan dapat keluar dari sana – kecuali ventilasi itu dimaksudkan untuk hal lain. Bagi Dean jalan keluar tetap saja jalan keluar. Seperti seekor tikus yang terjebak dalam satu ruangan sempit, ia akan terus mencari cara untuk dapat keluar dari sana, tidak peduli betapa konyol dan tidak masuk akalnya cara itu.
Satu jam berikutnya Dean sudah berhasil memotong satu sisi kawat yang menutupi ventilasi udara itu. Ia hanya perlu memotong sisi lainnya sebelum penghalang sepenuhnya terbuka dan ia dapat keluar dari sana. Tapi Dean tidak memperkirakan kawat yang mereka gunakan untuk menutupi ventilasinya begitu tebal sehingga butuh upaya keras untuk merusaknya. Mengandalkan kursi kayu dan tikar yang ditumpuk di atas kursi itu untuk menopang tubuhnya, Dean berpegang pada satu-satunya harapan ia dapat menyelesaikan pekerjaan itu lebih cepat sehingga seseorang tidak akan menyadari kepergiannya.
Bree belum juga turun. Padahal beberapa jam yang lalu Dean mendengar seluruh tamu telah meninggalkan pondok. Mungkin Irine juga sudah pergi setelah menemui Dean. Pondok sepenuhnya sepi dan tidak sulit untuk menyadarinya karena ia tidak lagi mendengar dengungan percakapan dari atas atau derap langkah seseorang di atas lantai kayu. Ia tidak bisa mengandalkan Bree untuk membawanya keluar dari sana. Dean harus berusaha sendiri karena satu hal yang dipelajarinya setelah lima hari berada disana adalah: jangan mudah untuk memercayai siapapun.
Berpegang teguh pada satu keyakinan itu, Dean akhirnya berhasil membuat lubang di dinding. Penutup kawat dibiarkannya jatuh di atas lantai semen selagi ia berusaha memanjat naik ke atas. Dean berjinjit meraih tepian jendela kemudian mencengkram erat tepian itu dan mengerahkan otot lengannya untuk mengangkat tubuh. Dengan bantuan kedua kaki yang merayap di permukaan dinding, Dean akhirnya berhasil menjulurkan kepalanya ke dalam lubang. Cahaya terik dari luar sana langsung menusuk matanya. Dean harus mengerjapkan mata berkali-kali sebelum dapat menyesuaikan diri dengan intensitas cahaya dari luar. Siapa sangka terkurung di dalam ruangan gelap selama hampir semalaman mampu membuatnya merasa seperti buta?
Mengerahkan sisa tenaga yang dimilikinya Dean kembali menarik tubuhnya keluar dari jendela itu. Pada ketinggian sekitar hampir dua meter di bawah, tanah dan semak-semak belukar terbuka untuknya. Dean memperhitungkan setidaknya jika ia mendarat dengan kepala membentur tanah lebih dulu, maka ia mungkin akan mengalami cedera serius di tulang lehernya. Tapi jika ia bisa memanfaatkan penghitungan waktu sebelum menghantam permukaan tanah, Dean mungkin dapat memutar tubuhnya sehingga bagian belakang punggung dan lengannya yang akan lebih dulu mendarat disana.
Ketika Dean berusaha mengeluarkan kakinya dari lubang, tiba-tiba ia mendengar suara celah kecil yang di geser terbuka dan suara seseorang muncul di belakangnya. Ia baru setengah jalan keluar dari dalam lubang sehingga Dean masih bisa melongokkan wajah untuk melihat siapa yang muncul disana. Tiba-tiba saja Dean mendengar suara teriakan keras seorang wanita, tapi itu bukan suara Bree, melainkan Jill. Gadis itu kemudian menyerukan nama Bree untuk meminta bantuan.
“Dia kabur! Bree!! Dia kabur.”
Jantung Dean berdegup kencang saat ia mendengar suara bedebum langkah kaki yang tergesa-gesa ketika menuruni tangga. Dean sudah dapat menebak siapa yang muncul disana: Bree. Dan benar saja, wanita itu menatapnya dengan kedua mata membeliak dari balik tebing. Wajahnya merah padam. Bree tampak marah karena Dean tidak mengikuti perintahnya, tapi itu saja yang bisa disimpulkan Dean, karena ketika ia menarik tubuhnya sekali lagi, Dean sudah sepenuhnya keluar melewati lubang itu. Karena terburu-buru Dean belum sempat mengantisipasi lompatannya sehingga ia terjatuh dengan lutut menghantam tanah. Rasa perih yang hebat langsung menyerang kakinya yang terluka. Dean mengerang kesakitan, tapi ia juga harus bergerak cepat, kecuali ia mengambil risiko kalau seseorang akan mengejarnya.
Di hadapannya, area hutan terlarang terbuka lebar. Pohon-pohon tinggi menyembunyikan kegelapan yang memekakan di depan sana. Dean mengikuti insting alaminya untuk berlari ke arah yang berlawanan, berjaga-jaga kalau seseorang membuka pintu dan memutuskan untuk mengejarnya.
Baru beberapa meter jauhnya, Dean mendengar teriakan seseorang yang berusaha menghentikannya. Ia menduga kalau teriakan itu berasal dari orang-orang pribumi yang merasa kesal karena tanahnya dilewati. Orang-orang itu kini mengejarnya, tapi mereka tidak cukup cepat. Selain itu pohon-pohon tinggi di hutan membantu Dean bersembunyi dari mereka.
Semak-semak belukar tumbuh liar di sepanjang kawasan hutan itu. Semakin dalam ia melangkah masuk, semakin banyak pohon-pohon tinggi yang mengelilinginya. Pohon-pohon itu mempersempit jalur setapak yang dilaluinya. Sementara itu sulur-sulur tanaman yang menggantung di atas kepalanya terasa seperti tangan panjang yang berusaha mencakarnya.
Setelah berlari ratusan meter jauhnya ke dalam hutan, derap langkah yang mengikutinya itu kian memudar sampai tidak menyisakan apa-apa lagi. Pada satu titik ketika Dean tidak sanggup menahan rasa sakit yang berdenyut-denyut itu lagi, ia menghentikan langkah untuk bersembunyi di balik pohon besar. Sekujur tubuhnya yang berkeringat terasa lengket - Dean perlu membasuhnya dengan air bersih. Bintik-bintik merah muncul di atas kulitnya karena alergi udara panas. Di hutan itu udaranya terasa lebih sempit dan panas. Sementara Dean harus berlomba dengan jantungnya yang berpacu cepat dan darahnya yang mengalir deras. Nafasnya memburu, rasa pening yang hebat menyerang kepalanya. Dean menatap ke sekelilingnya. Segalanya tampak buram. Kemudian secara tak diduga-duga, wajah monster berkepala hitam muncul kembali di hadapannya. Monster itu hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya. Kedua matanya yang merah terbuka dan memperlihatkan pupil hitam kecil yang mengembang dan mengempis dengan aneh. Lidahnya yang panjang dan tipis terjulur sedang taringnya mencuat. Monster berkepala hitam itu sedang memandanginya, sementara Dean berusaha keras menggerakan kedua kakinya untuk melangkah maju. Satu langkah saja terasa sangat berat, seolah-olah seseorang telah meletakkan batako di bawah sepatunya. Gambaran wajah monster itu kian berbayang. Dean memejamkan mata kemudian membukanya dan melakukan hal yang sama selama tiga kali hanya untuk menyingkirkan pemandangan mengerikan itu dari depan wajahnya.
Tapi monter itu tidak pergi.
Sial! Jangan sekarang! Ayolah.. jangan sekarang.
Dean melangkah maju. Satu langkah panjang yang berani sudah cukup untuk membuat monster itu merasa gentar. Musuh dari masa lalunya kini bergerak mundur. Satu langkah lain dan monster itu tiba-tiba menghilang. Ketika Dean mengedarkan pandangannya ke sekitar, tiba-tiba saja ia dikelilingi oleh tiga monster yang sama. Masing-masing dari mereka berdiri di samping pohon ek besar. Dean mengerjapkan mata berkali-kali sembari menarik nafas. Setiap detik yang berlalu bukannya membaik justru semakin memburuk. Episode delusinya yang lain baru saja dimulai.
Sudah berapa lama ia tidak minum obat?
Seminggu? Mungkin lebih - Dean tidak ingat. Yang pasti ia mulai melihat beberapa hal yang tidak ada: seperti monster berkepala hitam, ular di bawah kakinya, dan kalelawar besar dengan sayap sepanjang satu meter yang terbang di atas kepalanya.
Sial! Sial! Sial! Jangan sekarang..
Sembari menelan liurnya, Dean berusaha melawan semua halusinasi itu dan terus bergerak menyusuri hutan untuk menemukan celah kawat yang rusak dimana ia bisa keluar dari sana. Ia mengatakan pada dirinya untuk tetap bergerak, jika tidak penduduk pribumi - atau yang lebih buruk lagi keluarga Bree - akan menangkapnya.
Satu.. dua.. tiga.. Dean menghitungi langkahnya. Sementara ketiga monter itu terus mengikutinya di belakang. Setiap kali Dean menatap ke belakang, monter itu akan berbalik menatapnya kemudian membuka mulut lebar-lebar. Untuk alasan yang sama Dean berjalan sembari menundukkan kepala. Tetap menghitung, jangan berhenti! Ia mengingatkan dirinya sendiri. Sulit dipercaya kalau Dean meninggalkan obatnya di dalam mobil begitu saja!
Beberapa menit berlalu, mungkin sudah hampir satu jam – ketika hitungannya sudah buyar di atas kepala, Dean akhirnya berhasil melewati bagian hutan yang paling gelap. Samar-samar di kejauhan ia melihat pagar besi. Wajahnya langsung semringah. Dean berlari menghampiri pagar besi itu. Pikirnya jaraknya tidak cukup jauh. Namun jalur di hutan yang membingungkan itu membuat Dean berputar di tempat yang sama beberapa kali. Baru ketika Dean memutuskan untuk berjalan mengikuti arah angin, ia akhirnya menuju tempat yang tepat.
Sesampainya di depan pagar, Dean masih harus mencari celah di bawah pagar yang rusak. Seingatnya celah itu tersembunyi di antara semak-semak. Lima belas menit mengelilingi pagar itu, Dean nyaris frustrasi karena tidak kunjung menemukan celahnya. Tapi kemudian ia melihat seekor anjing sedang menggaruk tanah di depan pagar. Itu anjing hitam yang sama milik wanita tua yang pernah dilihatnya kali pertama Dean menemui pagar itu. Dean langsung berjalan menghampiri anjing itu, terkejut mendapati celah yang sedari tadi dicarinya berada persis di dekat anjing itu. Kemudian dengan upaya keras, Dean membungkukkan tubuhnya hingga nyaris menyentuh tanah. Kepalanya melewati celah itu lebih dulu, kemudian kedua bahunya. Karena tidak berhati-hati, Dean membuat lengan kanannya tergores kawat tajam di bawah pagar itu. Luka goresan pada lengannya itu menyebabkan darah mengalir keluar dari sana. Ia mendesis kesakitan. Di sampingnya, anjing hitam itu menggonggong keras. Secara naluriah, Dean meletakkan satu jarinya di depan bibir dan memberi isyarat agar anjing itu tetap tenang. Ia kemudian terburu-buru mengeluarkan kakinya dari celah sebelum sadar kalau wanita tua yang sama sedang berdiri di dekat pohon dengan kedua mata membeliak lebar. Wanita itu terperangah memandanginya, seolah-olah Dean adalah hantu yang baru saja lolos dari dalam neraka.
Segera setelah Dean meloloskan diri keluar dari pagar yang membatasi kawasan hutan dengan hutan terlarang itu, ia langsung mengangkat kedua lengannya di udara untuk menjelaskan pada si wanita tua dengan pelan.
“Dengar.. aku hanya..”
Sebelum Dean menyelesaikan penjelasannya, wanita itu telah membuka mulutnya lebar, kemudian menyerukan sesuatu dalam bahasa asing dengan keras.
Dean terpaku saat menatapnya. Anjing hitam di sampingnya terus menggogong keras, suaranya beradu dengan seruan wanita itu. Ketika Dean mengedarkan tatapannya ke sekitar, indra-indranya langsung terjaga. Sekujur tubuhnya waspada. Dean kembali mendengar suara derap langkah kaki yang bergerak mendekat. Semakin lama semakin dekat. Wanita tua itu terus berbicara. Suaranya serasa menggema di tengah-tengah keheningan hutan, seolah-olah ia sedang memanggil kawanannya untuk datang.
Pikir Dean, orang-orang pribumi itu akan muncul kembali, tapi dugaannya salah. Dan suara derap langkah yang bergerak mendekat bukanlah suara derap langkah manusia, melainkan kera. Seekor kera berkulit merah muncul di balik pohon pinus, di semak-semak, di dekat pagar. Tiba-tiba saja Dean sudah dikepung oleh sekelompok kera yang sedang bersiap untuk menyerangnya. Selama sesaat Dean terpaku karena bingung dan waspada. Tapi, insting alaminya meminta Dean untuk lari saat itu juga. Jadi sebelum wanita itu selesai menyerukan sesuatu dalam bahasa yang terdengar asing di telinganya, Dean bergerak mundur ke arah hutan. Tiga kawanan kera melangkah maju mendekat, kemudian lima yang baru saja muncul dari semak-semak ikut maju. Dean mengambil langkah mundur lagi dan setiap kali ia bergerak, akan ada lebih banyak kera yang bermunculan. Semua kera itu melakukan hal yang sama seperti yang tampaknya diperintahkan oleh majikan mereka: menangkap Dean.
Lari, bodoh! Apa yang kau tunggu? Lari!!
Sembari menelan liurnya, Dean langsung membalikkan badan dan berlari untuk keluar dari hutan. Di saat yang bersamaan sekawanan kera itu mulai mengejarnya di belakang. Jumlah mereka terus bertambah seiring dengan semakin besar usahanya untuk menghindari mereka. Dean terus berlari, nafasnya memburu. Batinnya merasa ragu kalau ia mengambil jalur yang tepat, tapi setidaknya Dean harus terus bergerak. Meskipun rasa berdenyut-denyut pada luka di kakinya semakin tak keruan, Dean menolak untuk berhenti.
Sungai. Aku harus pergi ke sungai.
Kawanan kera itu tidak akan mengikutinya sampai ke sungai. Samar-samar Dean masih mengingat jalur yang harus di ambil untuk sampai disana, tapi pertama-tama ia harus berlari sejauh dua ratus sampai tiga ratus meter lagi.
Di belakangnya, sekawanan kera mengeluarkan suara berisik yang menggema di setiap sudut hutan. Pada satu titik ketika ia berpikir kalau ia telah mengambil jalur yang salah, Dean akhirnya melihat titik cerah. Sungai panjang itu akhirnya terlihat. Aliran arusnya yang deras cukup membantu karena suaranya dapat terdengar dalam jarak dua ratus meter jauhnya. Dean terus berlari mengikuti sumber suara itu. Di belakangnya tiga ekor kera yang berlari paling cepat nyaris berhasil menggapainya. Sebenarnya, salah satu di antara mereka sudah mencakar kaki Dean, mengoyak jins dan nyaris saja mengenai lukanya, tapi Dean berhasil menepis kera itu dan berlari lebih cepat.
Sesampainya di depan sungai, Dean tidak berpikir panjang untuk langsung menceburkan dirinya kesana. Pakaiannya sepenuhnya basah, tapi hal itu tidak mengehentikan Dean untuk terus berenang ke tengah. Kemampuannya sebagai pelatih renang benar-benar diandalkan dalam situasi itu. Dean menenggelamkan diri di dalam air selama hampir dua menit hanya untuk mengelabui kera itu. Secara bersamaan, Dean berenang sampai ke tengah sungai dimana kedalamannya cukup tinggi hingga kakinya sudah tidak dapat lagi menyentuh permukaan.
Ketika Dean mengangkat kepalanya di atas permukaan air, ia mendapati kera-kera itu sudah tidak lagi mengikutinya. Beberapa di antara mereka yang putus asa langsung berbalik kembali ke dalam hutan, sisanya masih diam di bantaran sungai, kebingungan memikirkan cara untuk menggapai Dean sebelum akhirnya cukup putus asa untuk mengikuti kawanannya yang lain kembali ke dalam hutan. Dean tersenyum puas, jantungnya mencelos dengan lega.
Satu masalah baru saja pergi.