08.14
Nikki tersentak bangun ketika seseorang mengetuk kaca mobilnya dengan keras. Ketika ia menekan tombol hitam di ujung pintu mobil dan kaca perlahan bergerak turun wajah seorang pria tua berkulit hitam muncul di depan sana. Pria itu memandangi Nikki dengan awas, ekspresinya menyatakan ketidaksukaan yang jelas, kemudian Nikki sadar kalau ia mungkin telah memarkir mobilnya di kawasan milik pria itu.
Ketika menatap ke sekeliling, jalanan tampak kosong. Tidak ada kendaraan yang berlalu-lalang. Sementara itu langit sepenuhnya cerah. Kabut putih di kejauhan kian menipis. Tapi tidak ada apapun di dekat sana selain pondok kayu kecil di seberang. Baru disadarinya kalau pondok itu berada disana. Semalam Nikki bahkan tidak melihatnya. Mungkin karena terlalu gelap.
“Maaf, tapi aku perlu mengisi bahan bakar. Kau tahu dimana aku bisa mengisi bahan bakar?”
Pria itu tidak segera menjawab. Kedua matanya yang tampak curiga masih memandangi Nikki. Ketika Nikki berpikir sia-sia saja bertanya, pria itu akhirnya mengangkat satu lengannya dan menunjuk persis ke arah pondok.
“Kau punya bahan bakar?”
Pria itu hanya menganggukkan kepala untuk menanggapi pertanyaannya. Nikki merasa sedikit harapan muncul di hadapannya. Ia tersenyum lega kemudian bersiap untuk memutar mobilnya menuju pondok.
“Baik, aku akan kesana, terima kasih.”
Pria itu berbalik pergi menuju pondok. Selama beberapa detik Nikki masih duduk diam untuk mengawasinya. Di atas dasbor ponselnya menyala. Pengingat waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Biasanya Nikki bangun satu atau dua jam lebih awal. Tapi berkendara selama seharian benar-benar menguras tenaga, jadi ia menganggapnya wajar. Tidak mau berlama-lama, Nikki langsung menginjak pedal gas dan mengikuti pria itu menuju pondok.
Pondok kayu tua itu menjual persediaan bahan bakar bagi mereka yang berpergian di sekitar kawasan hutan. Meskipun letak hutan terbuka sudah tertinggal berkilo-kilo meter jauhnya di belakang.
Pria berkulit hitam dengan pakaian lusuh dan topi merah itu sendiri adalah pemiliknya. Ia tinggal di dalam pondok yang luasnya tidak sampai berapa meter, makan, dan mencuci pakaiannya sendiri. Nikki sampai penasaran bagaimana pria itu mendapatkan pasokan makanan dan bahan bakar. Tapi ketika ia bertanya pria itu tidak pernah menjawab pertanyaannya secara verbal. Hal itu sekaligus membuat Nikki penasaran. Ia pernah menemui beberapa pasien dengan kemampuan berbicara yang terbatas, meskipun tidak pantas rasanya mengaitkan masalah pekerjaannya dengan pria asing ini.
“Maaf, tapi apa kau tinggal disini sendirian?”
Nikki bergerak mendekat selagi pria itu mengulurkan selang panjang kemudian memasukkannya ke lubang kecil pada tabung pengisi bahan bakar. Mesin itupun tampak asing. Semua elemennya digerakkan secara manual dan jelas kalau Nikki tidak pernah melihat yang seperti itu di kota. Jadi ia hanya berdiri diam selagi membiarkan pria itu mengoperasikan mesinnya.
Sembari mengulur selang, pria itu menatapnya kemudian mengangguk untuk menanggapi pertanyaan Nikki. Nikki berpikir bahwa mungkin ia akan membuat pria itu tidak nyaman jika terus bertanya tentang kehidupannya. Jadi ia memutuskan untuk mengajukan pertanyaan lain.
“Aku berusaha menemukan desa kecil di puncak gunung. Kau tahu arah mana yang harus kuambil untuk sampai disana lebih cepat?”
Tiba-tiba pria itu mematung. Selang masih mengalirkan bensin ke lubang mobilnya. Cairan bensin tumpah ke atas tanah saat selang tidak di arahkan dengan benar. Nikki sontak berlari untuk menolong pria itu mengembalikan selang ke arah yang tepat. Baru setelah bahan bakar mobilnya sudah terisi penuh, pria itu kembali menutup selang dengan benda kecil berwarna hitam kemudian mengaitkannya di atas paku panjang sebelum berbalik dan kembali menatapnya. Yang membuat Nikki bertanya-tanya, pria itu kemudian mengangkat satu jarinya ke arah Nikki kemudian menelengkan wajah dan membuat isyarat dengan bahasa tubuh.
Nikki langsung paham. Laki-laki itu mungkin bisu. Ia pernah berbicara dengan beberapa pasien yang bisu. Nikki mempelajari bahasa tubuh mereka, jadi tidak sulit untuk memahami apa yang coba disampaikan pria itu, dan kalau ia tidak salah, maka pria itu sedang bertanya apa yang hendak dilakukannya disana.
“Suamiku pergi kesana beberapa hari yang lalu..” Nikki memejamkan kedua mata dan langsung memperbaiki kalimatnya. “Mantan suamiku. Dia datang bersama seorang wanita berambut merah. Apa kau pernah melihat mereka datang kesini?”
Pria itu merundung, tampaknya gelisah seolah ada sesuatu yang ingin disampaikannya, tapi kemudian ia hanya mengangguk.
“Kau melihatnya?”
Pria itu mengangguk.
“Kau tau kemana mereka pergi?”
Pria itu membentuk isyarat dengan kedua tangannya yang diartikan Nikki dengan ragu-ragu.
“Tempat..? Bukan.. Hutan?”
Ia mengangguk. Nikki melanjutkan dengan percaya diri.
“Hutan terlarang?”
Tidak ada jawaban, tapi Nikki tahu kalau ia tidak keliru mengartikannya. Kemudian pria itu kembali mengangkat kedua tangannya dan membentuk isyarat lain.
“Jangan pergi kesana.. Tidak ada jalan kembali..”
Jantung Nikki berdengup kencang. Darahnya mengalir deras.
“Ada apa disana?”
Laki-laki itu menyilang kedua tangannya, membentuk isyarat lain yang membuat Nikki menjadi gelisah.
“Orang-orang jahat.. Penduduk pribumi? Terowongan..”
Nikki menggelengkan kepala.
“Aku tidak mengerti apa maksudnya semua itu?”
Kemudian satu isyarat lain untuk mempertegas ucapannya.
“Kematian.”
Nikki sudah cukup mendengar. Kalau apa yang dikatakan pria itu benar, maka tidak banyak waktu yang tersisa untuk menyelamatkan Dean. Nikki harus bergegas.
“Dengar, bisakah kau menolongku?”
Hening. Pria itu masih menatapnya, kemudian mengangguk pelan.
“Beritahu aku semua yang kau tahu tentang tempat itu, dan jika ada cara untuk dapat membawa mantan suamiku keluar dari sana, apa yang bisa kulakukan?”
Kini lengan pria itu terjulur, jarinya menunjuk ke arah pondok. Ia memberi isyarat pada Nikki untuk masuk. Berdiri diam disana, Nikki berpegang pada satu-satunya harapan kalau ia tidak mengambil keputusan yang salah dengan memercayai pria itu.