DAY 6

1974 Words
00.11 Dean tersentak bangun ketika mendengar suara debuman keras dari kayu yang jatuh di langit-langit besi. Pipa yang bocor baru saja menumpahkan air kotor di atas lantai semennya yang lembab. Bau apak yang tajam menusuk hidungnya. Butuh waktu beberapa detik bagi Dean sebelum indra-indranya dapat menyesuakan diri dengan semua itu: ruangan dengan udara yang tipis dan lembab, dinding-dinding semen dengan ventilasi kecil di atas, kursi kayu di tengah ruangan, sebuah tikar dan botol berisi anggur hitam yang sengaja diletakkan di atasnya. Tidak ada pintu di ruangan itu, hanya ada dinding semen polos yang memerangkapnya. Ruangan itu terasa gelap dan juga lembap, satu-satunya cahaya yang masuk berasal dari ventilasi di salah satu sudut dinding. Tidak ada alas lain yang tersedia selain tikar kotor dan sebuah celah persegi kecil di dinding yang ditutupi oleh jeruji dan kawat yang memungkinkan seseorang untuk mengawasinya dari luar sana. Dean mendapati dirinya duduk di atas kursi kayu itu, masih mengenakan pakaian yang sama seperti pagi ini. Sementara itu salah satu sisi celana jins-nya yang sobek memperlihatkan kain putih kotor yang melilit luka pada kakinya. Warna merah darah yang samar-samar menembus di permukaan kain itu dan meskipun rasa sakitnya sudah mereda, tetap saja Dean merasa ngilu. Matanya kini menatap ke arah ventilasi udara yang memperlihatkan langit gelap di luar sana. Pukul berapa sekarang? Ia merogoh ke dalam saku celana jins-nya tapi tidak menemukan ponselnya disana. Kenapa juga Dean bisa berada di ruangan itu? Ketika ia berusaha mengingat-ingat peristiwa yang dialaminya sepanjang hari, tiba-tiba saja tubuhnya terkesiap. Dean bangkit berdiri dan menjadi gelisah dengan cepat. Satu tangannya terjulur ke belakang tengkuk. Ia merasa ngilu saat menyentuh luka bekas suntikan jarum itu. Bec menusuknya disana dan entah cairan apa yang disuntikan Bec ke tubuhnya, yang pasti tenaganya serasa dikuras habis. “Halo??” Suaranya menggema di dalam ruangan kosong itu. Memantul dari satu sudut ke sudut lainnya kemudian kembali ke telinganya dengan cepat. “Halo!!” Dean mencoba lebih keras, tapi tidak ada siapapun yang menjawab. Ia benar-benar sendirian. Di atas atap, Dean mendengar suara derap langkah kaki seseorang. Suaranya mirip debuman di atas lantai kayu. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang. Dean mendapat jawaban atas pertanyaannya tentang sudut-sudut mesterius dari pondok itu. Ia kemudian sadar kalau seseorang menempatkannya di ruang bawah tanah lain di dalam pondok. Kenapa hal itu tidak terpikirkan oleh Dean sebelumnya? Ketika ia berusaha menunjukan menuju pintu ruang bawah tanah pada Bree dan Irine, Dean tidak berhasil menemukannya. Jawabannya karena pintu itu berada di sisi lain pondok. Dinding kayunya dapat dipindahkan dengan mudah dan Bree membuat seolah-olah Dean benar-benar gila karena membayangkan pintu yang tidak pernah ada. Nyatanya pintu itu memang ada! Tidak bergerak kemana-mana dan tersembunyi di sudut lain pondok, tergantung bagaimana mereka menggeser dindingnya sehingga menyamarkan sudut-sudut dapur yang asing. Jadi jika ia dikurung di ruang bawah tanah, seharusnya ada lorong terbuka menuju hutan terlarang. Namun Dean telah mencari-cari ke sekelilingnya dan tidak kunjung menemukan lorong itu. Ia dikelilingi oleh dinding semen dengan satu ventilasi kecil di atas, tidak ada celah yang terbuka menuju lorong – kecuali mereka mencoba mengelabuinya sekali lagi dengan permainan dinding yang membingungkan. Dean langsung bergerak untuk memeriksa setiap sudut dinding, kemudian mengetukkan tangannya disana. Sisi pertama yang ada di belakangnya adalah sisi dinding yang terbuat dari semen, sisi kanan dan kirinya pun sama. Hanya tersisa satu sisi di depan dan ketika Dean mengetukkan tangannya di permukaan dinding itu, benar saja, bunyi seng yang diketuk langsung menggema ke telinganya. Dean bergerak mundur untuk memandangi dinding itu. Ketebalannya mungkin sekitar dua sampai tiga sentimeter dan di baliknya, dinding itu menyembunyikan lorong menuju hutan terlarang. Dean bergerak mondar-mandir selagi memikirkan cara untuk membuka dinding itu. Masuk ke dalam hutan terlarang mungkin bukan pilihan yang baik, tapi setidaknya ada harapan untuk keluar dari tempat itu jika Dean masuk ke sana. Hutan itu dibatasi oleh pagar setinggi tiga meter, selain itu Dean mengingat ada celah sempit dari pagar kawat yang dirusak oleh hewan liar. Dean yakin ia bisa menggunakan celah itu untuk keluar dari sana. Atau kalau memungkinkan, Dean akan memikirkan cara untuk memanjat pagarnya nanti, tapi yang pertama-tama – ia perlu walkie talkie nya untuk meminta bantuan. Keluar dari tempat itu mungkin bisa diusahakan tapi kembali ke kota tanpa kendaraan adalah hal yang mustahil. Lima belas menit setelah duduk diam di atas tikar sembari memikirkan strateginya, tiba-tiba Dean mendengar suara besi yang digeser terbuka. Suara itu asalnya dari celah kecil di dinding. Ketika Dean memutar wajah, ia melihat wajah Bree muncul disana. Namun karena celahnya hanya seukuran bata kecil, Dean hanya bisa melihat sebagian wajah Bree. Kedua mata gelap itu kini mengawasinya. Dean bangkit berdiri kemudian berjalan mendekat dengan ragu-ragu. Setidaknya sampai Bree membisikkan sesuatu dengan suara serak yang pelan. Seolah-olah wanita itu merasa bersalah atas apa yang menimpanya. Sulit bagi Dean untuk menyimpulkan, tapi Bree memang kelihatan kacau. Dean ingat kejadian beberapa jam yang lalu ketika Bec berusaha melukainya dengan jarum beracun itu. Bree menghalangi Bec sebisa mungkin, meskipun usahanya sia-sia tetap saja wanita itu hendak menolongnya. Tapi apakah bijaksana untuk memercayai Bree begitu saja setelah semua yang terjadi? Dean mengingatkan dirinya kalau Bree sudah berbohong tentang pintu menuju ruang bawah tanah itu. Jelas-jelas Bree tahu kalau ruangan itu ada, tapi wanita itu malah berpura-pura dan menyebut kalau pikiran Dean terganggu. “Dean, ini aku, tidak apa-apa. Kemarilah! Aku ingin melihatmu! Aku tidak akan menyakitimu, aku janji” Dean masih berdiri di tempatnya dan menatap wanita itu dengan curiga. Kedua alisnya saling ditautkan. “Apa maumu?” tanya Dean dengan ketus. Bree memejamkan mata. “Aku berusaha menolongmu..” “Kau berbohong tentang semuanya. Semua ini bagian dari rencanamu, kan? Kau membawaku kesini sehingga kau dan keluargamu yang sakit itu bisa menyiksaku..” “Aku tidak berniat menyiksamu..” potong Bree dengan cepat. Urat-urat pada wajahnya menegang, kedua tangannya terkepal dan kalimat selanjutnya keluar dengan keras dari mulutnya. “Lalu apalagi? Apa yang mau kau lakukan?” “Seharusnya semuanya tidak begini..” “Apa? Aku tidak mengerti..” “Kalau saja kau mendengarkanku sejak awal, seharusnya semuanya tidak begini.” “Seharusnya bagaimana?” “Kita akan menikah dan kita akan telibat dalam upacaranya, begitu saja. Mereka tidak harus menyakitimu dan semuanya akan baik-baik saja. Kita akan berbulan madu dan kau akan membuahi rahimku dengan janin anak perempuan..” Dean menyipitkan mata kemudian bertanya, “kenapa perempuan? Apa yang akan terjadi kalau aku memberimu anak laki-laki?” Bree menggeleng. Ketika berbicara, Dean tidak tahu apa wanita itu sedang berusaha meyakinkan Dean atau dirinya sendiri. “Kau pernah punya anak perempuan, dan seorang saudara perempuan,” ucap Bree tanpa mengindahkan pertanyaan terakhir Dean. “Aku bisa melihatnya. Kau punya gen yang bagus untuk menghasilkan anak perempuan.” Berusaha menenangkan dirinya, Dean mempertegas pertanyaan itu lagi. “Ya, aku tahu, dan apa yang akan terjadi seandainya aku memberimu anak laki-laki?” Lagi-lagi wanita itu menggeleng. “Tidak, itu tidak akan terjadi.” “Biar kutebak! Apa kalian akan menggantungnya di pohon? Atau melemparnya dari atas tebing? Membakarnya..?” Wajah Bree merah padam. Dean sepenuhnya sadar kalau ia sudah membuat wanita itu kesal. Mungkin, pikirnya, ia perlu memeperlambat temponya jika ingin keluar dari tempat itu hidup-hidup. “Kau tahu aku suka sikapmu yang keras kepala, tapi terkadang kau bisa menjadi sangat menyebalkan dengan sikap itu.” Dean mengabaikan sarkasme itu dan langsung bertanya, “jadi langsung saja apa intinya dari semua itu Bree? Lagipula apa aku akan menikahimu setelah semua ini? Bagaimana mungkin aku menikahimu ketika tahu kalau kau adalah seseorang yang akan mengurung ku disini?” “Sudah kukatakan padamu kalau aku berusaha membantumu, Dean.” “Oh ya? Coba lihat apa bantuan yang bisa kau tawarkan?” “Aku bisa membawamu keluar dari sini.” “Senang mendengarnya karena aku mulai bosan berada disini.” “Tidak, aku serius!” Bree bersikeras. “Kita akan keluar dari tempat ini bersama-sama.” “Bersama-sama,” Dean mengulangi. “Kau tidak percaya padaku?” Tertegun, Dean menimbang pertanyaan itu sebelum menanggapinya. Kedua matanya menatap Bree lurus, kemudian ia menilai raut wajah wanita itu. Bree tampak tulus – setidaknya itu yang dapat ia simpulkan. Lama Dean tertegun sebelum rahangnya mengendur, ekspresinya melunak, kemudian ia mengangguk pelan. “Tentu saja,” Dean melipat kedua tangannya di depan d**a kemudian berjalan perlahan mendekati lubang di dinding. Ia baru berhenti setelah sampai beberapa langkah di depan dinding. Kemudian sembari mencondongkan tubuh, Dean berbicara pelan melalui lubang itu. “Dan bagaimana kita akan keluar ketika aku saja terkurung disini?” Bree menatap ke sekelilingnya kemudian mendekat untuk berbisik, “Dengar! Aku akan menemukan cara untuk membuka pintu ini.” “Pintu?” ulang Dean? Pintu ketika mereka membawaku masuk ke sini?” “Tidak, pintu lain. Tersembunyi di ruangan ini.” “Dimana?” Hening, kemudian Bree menjawab dengan tenang, “kuberitahu nanti. Kita akan keluar bersama-sama, aku janji.” “Kenapa kau melakukan semua ini?” Dean melambakan dua tangannya ke sekitar ruangan dan bertanya, “membawaku masuk kemudian keluar dari sini? Apa maksudnya semua itu?” Bree tertegun. Kesedihan tampak dalam raut wajahnya. “Aku tidak punya pilihan..” “Pilihan apa?” Ketika wanita itu tidak menjawab, Dean melangkah maju dan bertanya, “Bree! Pilihan apa?” “Semua ini.. Ini yang dilakukan oleh keluargaku secara turun-temurun.” “Aku tidak mengerti.” “Nanti,” ucap Bree pelan. “Aku akan menjelaskannya nanti. Yang pasti, aku akan mengeluarkanmu dari tempat ini. Aku tidak mau kehilanganmu. Aku mencintaimu..” Rahang Dean mengeras, darahnya berdesir cepat. Ia hanya menanggapi pernyataan itu dengan anggukan singkat. Bree sepertinya tidak mengerti, tadinya Dean benar-benar berpikir kalau ia ahirnya dapat melupakan Nikki dan menemukan seseorang yang akan menemaninya. Meskipun rasanya mustahil, tapi setidaknya ia sudah berniat mencoba. Sekarang, saat semua kekacauan itu terpampang jelas di depan wajahnya, Dean tahu kalau tidak ada pintu yang terbuka untuk memercayai fantasi itu. Sadar ataupun tidak sadar Dean masih mengharapkan Nikki adalah orangnya: wanita yang berbaring di sampingnya ketika ia terbangun, dan satu-satunya wanita yang akan mendengarkan keluh kesahnya. Setidaknya dulu mereka seperti itu. “Oke,” sahut Dean setelah lama terdiam. “Kapan kau kembali untuk membuka pintunya?” “Besok mereka akan pergi, aku akan mencari alasan untuk tinggal kemudian mencoba beberapa hal yang bisa kulakukan untuk membuka pintunya.” “Kau tidak punya kuncinya?” “Tidak ada kunci, Dean.. pintu-pintunya tidak dirancang menggunakan kunci.” “Jadi bagaimana kau akan membukanya.” “Aku yakin Janet menyimpan sesuatu di ruang pribadinya. Sesuatu yang bisa kugunakan untuk membuka pintunya. Aku akan mencari tahu.” “Oke, besok kalau begitu.” Bree membuka kawat di dinding yang menutupi celah itu kemudian menjulurkan satu tangannya ke arah Dean melewati lubang. Selama sesaat Dean hanya memandangi tangan itu sampai Bree berkata, “aku mencintaimu. Ingat apa yang kau katakan padaku malam itu?” Dean berusaha mengingat apa yang diucapkannya pada malam pertama pertemuan mereka. Bree mengenakan jaket hijau dan jins gelap. Wanita itu tersenyum ke arahnya. Hanya butuh waktu beberapa detik bagi Dean untuk menyukainya. “Kuharap malam tidak pernah berakhir.” “Tepat sekali,” rahang Bree ditarik saat wanita itu tersenyum. “Sekarang aku tidak senang mengatakan ini, tapi kuharap malam segera berakhir sehingga kita bisa bersama-sama kali. Maksudku, tidak dibatasi oleh dinding ini.” Dean menganggukkan kepala, dengan pelan menyetujuinya. “Tentu saja.” “Aku harus meninggalkanmu sekarang, jika tidak mereka akan tahu.” Setelah mendengarnya Dean melangkah mundur kemudian mengizinkan wanita itu menutup kembali celah di dinding dan berbalik pergi. Dari tempatnya berdiri ia mengawasi kepergian Bree. Suara langkahnya ketika menaiki tangga kayu masih menggema di dalam ruangan, sampai Dean mendengar pintu digeser tertutup, keheningan yang mencekik kembali membanjirinya. Dean kemudian bergerak mendekati tikar dan duduk disana sembari melipat kedua lutut. Nafasnya berembus pelan dan kedua matanya terus menatap pada celah sempit ventilasi itu, bertanya-tanya apa memungkinkan jika ia keluar dari sana? Sabar! Hanya satu malam Dean.. satu malam dan kau akan bebas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD