14.30
“Dean, kau mendengarku? Aku sedang dalam perjalanan menuju kesana. Kuharap kau baik-baik saja dan tolong hubungi aku setelah kau mendengar pesan ini.”
Nikki menekan tombol kirim dan bunyi bip yang lirih terdengar ketika sebuah sebuah peringatan muncul di layar ponselnya. Peringatan itu memberitahunya kalau jaringan yang coba yang hubungi sedang berada di luar jangkauan.
Mati. Tidak ada harapan lagi.
Dean tidak akan menjawab pesan suara atau menghubunginya lagi – kecuali tentu saja kalau laki-laki itu membawa walkie talkie-nya. Meskipun begitu, belum ada suara yang keluar dari lubang kecil pada mesin itu dan dalam perjalanan menuju ke sana, Nikki terus memandanginya seolah berharap keajaiban benar-benar terjadi saat ia mendengar suara Dean muncul dari sana.
Mobilnya melintasi jalur bebas hambatan yang mengarah ke hutan terbuka. Sejauh ini ia bukan satu-satunya pengendara yang melewati jalur itu, meskipun begitu pusat kota sudah tertinggal jauh di belakang. Kira-kira puluhan kilometer jauhnya. Nikki menjaga kecepatan berkendaranya tetap stabil dan tatapannya tertuju ke jalanan di depan. Sesekali ia menegok ke kakan dan melihat hamparan tebing batu yang tinggi di sampingnya. Di sisi lain ada jurang yang terbuka dan persis di bawah sana seisi kota terpampang jelas.
Di tengah suara gemuruh mesin mobilnya yang berdengung, seisi pikirannya menguap. Nikki teringat perpisahannya dengan Sam sekitar satu jam yang lalu. Ia merasa bersalah pada gadis itu, dan meskipun berat untuk meninggalkan Sam, tetap saja Nikki bertekad untuk pergi.
Sepulangnya dari kantor polisi, Nikki langsung mengendara ke rumah untuk mengepakkan beberapa pakaian, obat-obatan, dan peralatan lain yang dibutuhkan. Ia menggeledah seisi laci kamar Sam dengan tergesa-gesa untuk menemukan walkie talkie-nya. Dan setelah lima belas menit melakukan pencarian, Nikki akhirnya menemukan benda itu tergeletak di kolong kasur Sam bersama beberapa mainan Sam lainnya. Nikki memeriksa baterainya, merasa lega setelah mengetahui baterainya masih penuh dan mesin itu masih berfungsi dengan baik. Untuk bergaja-jaga, Nikki juga membawa sejumlah baterai cadangan, mesin penunjuk arah dan speaker hitam seukuran kepalan tangan yang terhubung dengan alat pelacak Dean. Kalau Dean berhasil sampai di mobilnya dan mengaktifkan alat pelacak itu, suara yang keluar dari speaker itu akan memberitahunya arah yang tepat.
Terlintas begitu saja di pikirannya untuk membawa senjata. Nikki ingat kalau ia masih menyimpan senjata berburu lama milik ayahnya yang sudah meninggal belasan tahun lalu. Senjata itu diletakkan di dalam gudang, persis di dalam peti kayu kecil bersama tumpukan barang tidak terpakai lainnya. Ketika Nikki turun ke gudang untuk memeriksanya, senjata itu masih berada di tempat yang sama. Karena lama sudah tidak dipakai, permukaan senjata itu diselimuti debu. Ia kemudian memeriksa selongsongnya yang kosong. Sedikit berkarat, tapi mungkin masih bisa digunakan. Amunisi di simpan secara terpisah. Dean yang memiliki gagasan untuk meletakkannya di lemari pakaian mereka, berjaga-jaga jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Nikki membungkus semua perlengkapan senjata itu dengan kain tebal, kemudian menggulungnya dan meletakkannya di dalam bagasi. Setelah semuanya sudah siap, Nikki langsung berkendara menuju taman bermain anak-anak, tempat dimana Sam berada.
Putrinya sedang duduk di atas ayunan ketika Nikki memanggilnya. Lorrie yang kala itu sedang mengawasi putranya bermain di atas pasir bersama belasan anak lainnya, langsung memberondong Nikki dengan pertanyaan.
“Kau mau pergi kemana?”
“Aku akan menemui Dean.”
“Kenapa? Apa yang terjadi, Nik? Kau bilang dia akan bertunangan, bukan?”
“Aku tidak yakin lagi, dia dalam bahaya dan dia butuh bantuan.”
Lorrie menggeleng keras, “aku masih tidak mengerti.”
“Dia meneleponku beberapa hari yang lalu dan mengatakan dia melihat hal-hal aneh disana. Kemudian dia menghubungiku pagi ini. Dia bilang kalau dia baru saja melihat seorang gadis di bunuh..”
Kedua mata Lorrie membeliak. “Dan kau berniat datang kesana? Untuk apa? Membahayakan dirimu?”
“Dia butuh bantuan, Lorrie.. aku tidak bisa diam begitu saja.”
“Bagaimana dengan Kate? Sudah coba menghubunginya?”
“Sudah, dan dia sedang dalam perjalanan ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Rekannya mengatakan kalau dia baru akan kembali dalam satu atau dua hari.”
“Tapi kau sudah melaporkannya, kan? Kenapa tidak menyerahkannya saja pada polisi?”
“Terlalu lama. Tidak ada bukti kuat dan butuh waktu sebelum mereka dapat mengirim orang kesana.”
“Jadi kau berpikir kau akan membantu?”
“Aku akan mencari tahu.”
“Kau tahu dimana tempatnya?”
“Aku akan menggunakan maps.”
“Nik, aku tidak yakin itu keputusan yang tepat.”
“Aku tahu kau akan berpikir begitu. Tapi Lorrie, tolong bantu aku. Jaga Sam selama aku pergi.”
“Berapa lama kau akan pergi?”
“Aku tidak tahu.”
“Maka kau harus menjelaskannya sendiri pada putrimu.”
“Akan kulakukan.”
Tapi berbicara pada Sam nyatanya lebih berat ketimbang memberi Lorrie penjelasan. Sam merengek dan berusaha mencegah kepergiannya. Selama lima belas menit yang terasa panjang Nikki harus mengayun gadis itu di pundaknya, membisikkan kata-kata yang menenangkan ke telinganya sampai Sam benar-benar luluh untuk melepas kepergian Nikki. Akhirnya Nikki dapat pergi meninggalkan taman itu dengan berat hati dan langsung berkendara menuju hutan terbuka.
Perutnya terasa mulas. Nikki mau muntah. Di sepanjang perjalanan ia terus mempertanyakan keputusannya, tapi Nikki masih saja bersikukuh untuk pergi. Mobilnya diberhentikan beberapakali untuk pemeriksaan. Sebelum benar-benar meninggalkan kota, Nikki memastikan bensinnya sudah terisi penuh. Ia membeli semua makanan siap saji dan belasan kaleng soda ke dalam plastik belanjaannya untuk berjaga-jaga. Dean mengatakan kalau jarak desa dan pemberhentian terakhir bermil-mil jauhnya jadi Nikki menyimpulkan kalau tidak salahnya membeli semua persediaan makanan untuk berjaga-jaga.
Setelah hampir lima jam berkendara, Nikki memutuskan untuk menepikan mobilnya di tempat pemberhentian pertama dan mengambil waktu tiga puluh menit untuk istirahat. Belasan pengunjung mendatangi kedai di tempat itu untuk sekadar mengisi perut mereka. Nikki sudah makan cukup banyak beberapa jam yang lalu, dan biasanya ia tidak mengonsumi makanan lagi sebelum pukul tujuh malam. Anehnya, udara dingin di atas sana mampu memicu rasa laparnya lebih dari yang sudah-sudah. Jadi ia memutuskan untuk turun dari mobil untuk memesan sepiring pasta dan menghabiskannya dengan cepat di dalam mobil. Setelah itu Nikki melanjutkan perjalanan.
Jarak yang harus ditempuh untuk sampai di puncak gunung masih jauh. Sementara itu, jalanan kian menyempit. Nikki mendapati ada lebih sedikit pengendara yang berlalu lalang di sekitarnya. Tak jauh di seberang, truk-truk besar memasuki kawasan hutan. Bagian belakang truk itu dipenuhi oleh kayu hasil tebangan. Nikki sempat berhenti disana untuk bertanya pada seorang petugas yang berjaga di gerbang. Petugas itu kemudian menunjukkannya jalur tercepat untuk sampai di puncak gunung. Hanya saja jalur itu lebih terjal dan jarang dilewati pengendara. Nikki memutuskan untuk mengambilnya. Baginya yang terpenting saat itu adalah tiba lebih cepat sehingga ia bisa memastikan Dean baik-baik saja, dan dalam perjalanan menempuh jalur terjal yang lebih gelap itu Nikki terus berusaha menghubungi Dean. Hasilnya nihil.
Ia memandangi lampu merah kecil pada walkie talkie-nya. Tidak ada panggilan yang masuk. Sementara saat itu hampir pukul tujuh malam. Nikki melongo, kemudian memeriksa kembali layar ponselnya. Pukul tujuh tiga puluh lima, tapi langitnya masih cerah. Tiba-tiba kabut putih tebal menutupi jalanan. Nikki memperlambat lajunya, mencondongkan tubuh ke depan setir, berusaha mengenali jalanan di balik kabut itu. Karena khawatir mobilnya masuk ke jurang, Nikki memutuskan untuk berhenti di tengah jalan kemudian menunggu hingga kabutnya menipis.
Lima belas menit berikutnya saat kabut meninggalkan jalanan, Nikki langsung menginjak pedal gas dan melanjutkan perjalanan. Dalam hitungan menit Nikki sampai di perbatasan yang menunjukkan dua jalur berlawanan. Papan penunjuk jalan yang dipasang disana memberitahunya bahwa salah satu jalur akan mengarahkannya ke pemberhentian terakhir, sementara jalur lain menuju ke puncak gunung. Tiga pengendara di depannya langsung memilih jalur yang mengarah ke pemberhentian terakhir, sementara Nikki memilih jalur lainnya.
Kini tidak ada lagi kendaraan yang tersisa. Pohon-pohon tinggi yang berdiri di kedua bahu jalan memberondongnya. Tempat itu begitu hening sampai-sampai satu-satunya suara yang dapat ia dengar hanyalah gemuruh mesin mobil dan nafasnya sendiri. Sementara itu, udara dingin kian terasa mencekik. Nikki masih dapat merasakannya bahkan dalam kondisi jendela mobil yang tertutup rapat. Saking dinginnya, uapnya sampai menempel di permukaan jendela. Nikki harus mengelapnya dengan kain sehingga uap itu tidak menghalau pengelihatannya keluar.
Semakin jauh ia mengendara semakin mengecil jalur yang dapat dilaluinya. Sementara itu langit mulai gelap sekitar pukul sepuluh. Bangunan terakhir yang dilihatnya tertinggal dalam jarak sekitar belasan kilo meter di belakang. Kedua bahu jalan sepenuhnya diberondong oleh pohon-pohon tinggi yang lebat. Nikki menatap ke sekelilingnya dan merasa ngeri. Sementara itu, karena mobilnya terus dipaksa menanjak di permukaan jalan yang tidak rata, bahan bakarnya-pun habis dua kali lebih cepat. Tidak terpikir olehnya untuk menyediakan bahan bakar cadangan. Sekarang, ia harus berusaha menemukan tempat yang menyediakan isi ulang. Nikki memperhitungkan bahan bakar itu setidaknya akan habis dalam waktu kurang dari dua atau tiga jam. Ia tidak berani mengambil risiko kehabisan sebelum menemukan tempat pengisian, jadi ia memutuskan untuk menepikan mobilnya dan menunggu sampai ada pengendara lain yang melewati jalur itu.
Ketika Nikki mematikan mesin mobilnya, keheningan yang terasa sangat memekakan langsung menyelimuti seisi tempat itu. Nikki menatap ke seberang jalan. Kegelapan menyelimuti setiap sudut tempat. Anginnya yang dingin berusaha mengetuk kaca jendela mobilnya, sementara suara gemerisik daun-daun yang saling bergesekan terdengar tiap kali dahan itu melambai tertiup angin. Daun-daun itu kini berguguran dan jatuh menghantam atap mobilnya. Selagi telinganya berusaha membiasakan diri dengan suara-suara itu, Nikki menyandarkan tubuhnya di sofa sembari berusaha memejamkan mata. Kedua matanya terus mengawasi lampu merah kecil pada walkie-talkie yang terus berkedip. Perlahan-lahan titik merah kecil itu kian memudar dan sebelum Nikki dapat mencegahnya, ia sudah tertidur lelap.