10.15
Halaman belakang pondok ternyata lebih luas dari kelihatannya. Rumput hijau terhampar ratusan meter jauhnya dari tempat ia berdiri. Disana sangat hening, satu-satunya suara yang dapat ia dengar hanyalah desauan angin yang bergerak di sela-sela pohon oak, dan juga semak-semak yang berdesik.
Ketika Dean mendekati danau, ia mengamati perahu kecil yang ditambatkan disana. Di dalamnya terdapat sebuah alat pancingan, ember kecil, jaring, dan juga rantai yang telah menguning. Lantai dek-nya yang kering menegaskan bahwa perahu itu sudah tidak digunakan dan dibiarkan mengambang disana untuk waktu yang cukup lama.
Dengan berhati-hati, Dean memijakkan kakinya di atas papan kayu yang disusun membentuk jembatan kecil di tepi danau. Stukturnya masih cukup kuat meskipun sepertinya jembatan itu sudah berada disana cukup lama. Bercak-bercak hitam tertinggal di atas permukaannya, seperti noda bekas tinta yang sulit untuk dihilangkan. Ada jejak kaki yang hampir memudar disana, Dean berpikir mungkin jejak anjing liar atau semacamnya.
Sembari menikmati angin yang bertiup pelan disana, Dean menatap layar ponselnya. Masih tidak ada balasan pesan dari Nikki atau Kate. Dean mencoba menelepon ke ponsel Nikki. Sinyal sempat muncul sebentar dan panggilannya sempat berdering sesekali, tapi kemudian nada dering itu leyap bersamaan dengan pemberitahuan yang muncul pada layar ponselnya bahwa jaringan berusaha menyambungkan ulang panggilannya.
Dean berdecak masam. Ia bergerak meninggalkan jembatan kayu untuk mendekati pohon oak besar yang berdiri disana, kemudian mencoba lagi. Selagi menunggu ponselnya menangkap sinyal, ia menyaksikan ada sesuatu yang mengintip dari balik batang pohon besar yang berdiri tidak jauh darinya. Ia sempat mendengar suara gemerisik, seperti langkah kaki yang bergerak cepat dan terburu-buru.
Dean langsung menjulurkan kepala untuk menatap ke balik pohon. Kedua matanya mencari-cari ke arah dimana sumber suara itu berasal. Kemudian ia melihat siluet hitam melintas di balik semak-semak belukar. Ekor hitam melambai dari balik semak, diiringi oleh suara gemerisik pelan. Dean hendak melangkah mendekati semak-semak itu, tapi kemudian panggilan yang tersambung menghentikannya dengan cepat.
“Halo?”
Dean mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Tiba-tiba dibanjiri oleh perasaan lega setelah mendengar suara Nikki.
“Hei! Apa kau mendengar pesan suaraku?”
“Ya. Maaf. Masalah agak ruwet disini.”
“Apa yang terjadi?”
“Kecelakaan kecil.”
“Kecelakaan..? Apa maksudmu? Kecelakaan apa?”
“Sam jatuh di taman bermain anak-anak. Dia lepas dari pengawasan Lorrie dan temannya mendorongnya dari perosotan.”
Tiba-tiba wajah Dean memerah, bulu kuduknya meremang dan jantungnya berdegup kencang. Ia hanya pernah mengalami reaksi kejut yang sama dulu ketika ia masih kanak-kanak. Spontan saja dia berkata, “kenapa tidak bilang?”
“Aku baru saja mengatakannya padamu..”
Nikki terdengar kesal sekaligus frustrasi. Dean memejamkan mata sembari berusaha mengatur nafasnya. Kemudian dalam hitungan kelima ia memperbaiki ucapannya.
“Maaf, aku tidak bermaksud menyalahkanmu. Tapi bagaimana kondisinya sekarang?”
“Ada bekas memar yang membiru di lututnya. Dia menangis sepanjang malam, meneriakkan namamu berkali-kali sampai membuatku pusing. Tapi dia sudah lebih baik, sekarang dia sedang tidur.”
“Kenapa kau tidak meneleponku saja?”
“Aku menghubungimu, Dean.. tapi kau tidak menjawab. Kupikir kau sudah tidur..”
“Maaf? Kapan kau menghubungiku?”
“Semalam.”
“Pukul berapa?”
Nikki berdecak, berusaha mengingat-ingat kemudian menjawab sambil lalu. “Sekitar pukul satu. Sam terbangun dan menangis. Dia ingin sekali berbicara denganmu jadi aku mencoba menghubungimu. Tapi lupakan saja! Bukan masalah besar. Seperti kataku, dia sudah baikkan sekarang.”
“Tidak, Nikki! Apa kau serius menghubungiku? Apa panggilanmu masuk?”
“Ya.. kau..”
Suara Nikki terputus-putus, Dean berdecak kesal, menatap layar ponselnya, bergerak mondar-mandir untuk menemukan sinyal kemudian menunggu sembari berkacak pinggang.
“Nikki? Aku tidak bisa mendengarmu dengan jelas..”
“.. tele.. putus.. Aku... coba.. hub..”
“Nikki, tunggu! Pelan-pelan, sinyalnya buruk sekali disini.”
Tidak ada jawaban. Telepon masih tersambung, tapi karena sinyal yang terus muncul dan hilang, Dean tidak dapat mendengar Nikki dengan jelas. Merasa frustrasi, Dean akhirnya berkata,
“Tolong tuliskan pesan.. Pesan. Aku tidak bisa mendengar suaramu. Kita bicara lewat pesan saja, oke?”
Hening.
“Nikki? Nikki apa kau mendengarku?”
Kemudian sambungan telepon terputus.
Dean kembali berdecak kesal. Ia bergerak mondar-mandir di sekitar sana sembari memeriksa daftar panggilan yang masuk ke ponselnya. Jika Nikki benar-benar berusaha menghubunginya dan panggilan itu terhubung, seharusnya panggilan itu sudah masuk dalam daftar riwayat panggilan tidak terjawab. Namun, setelah mengecek laman riwayat panggilan, Dean tidak menemukan satupun panggilan dari Nikki yang masuk. Panggilan terakhir adalah panggilan dari Zach, dan beberapa panggilan kerja lainnya. Sementara itu kotak pesan juga kosong. Pesan terakhir yang dikirimnya ke ponsel Kate masih belum mendapat balasan. Tidak ada apapun yang masuk ke ponselnya.
Jadi Nikki berbohong?
Tidak mungkin! Dean begitu mengenal Nikki sampai yakin kalau berbohong adalah hal terakhir yang dapat dilakukan wanita itu.
Tapi dia berbohong padamu beberapa kali. Dia berbohong ketika mengatakan kalau dia baik-baik saja.
Tidak, itu berbeda. Dean yakin dalam hal ini Nikki tidak akan berbohong.
Akhirnya, Dean memutuskan untuk mengetikkan pesan:
Aku tidak bisa mendengar suaramu. Sinyalnya sangat buruk disini. Tolong terus kabari aku tentang kondisi Sam. Jika dia sudah bangun, katakan kalau aku merindukannya.
Suara gemerisik yang kembali muncul mulai terasa mengganggu. Dean kontan berbalik untuk menatap ke arah semak-semak. Ia melangkahkan kakinya mendekat. Sekujur tubuhnya merasa awas, jantungnya berdegup kencang. Kemudian seekor anjing berbulu hitam yang melompat keluar dari semak-semak mengejutkannya. Sontak ia bergerak mundur. Ketegangan yang dialaminya mulai mengendur. Tatapannya mengawasi kemana anjing itu pergi. Ekor hitamnya melambai-lambai di udara, bercak-bercak darah menempel di atas rumput hijau setinggi mata kaki. Dean mengikuti bercak merah itu ke balik semak-semak tinggi kemudian melihat seekor burung tergeletak disana. Tubuhnya sudah dikonyak-koyak, isi perutnya berhamburan keluar di atas rumput.
Dean berdiri terpaku menatap bangkai burung itu selama beberapa saat. Bangkainya tampak masih segar, sepertinya burung itu belum lama jatuh tergeletak disana. Kemudian ia menatap ke sekelilingnya, tiba-tiba merasa seperti ada seseorang yang sedang memata-matainya.
Tak lama kemudian bunyi ketukan yang keras mengalihkan perhatiannya. Suara itu datangnya dari kejauhan, persis seratus sampai dua ratus meter di belakang pondok. Naluri alaminya meminta Dean untuk mengikuti sumber suara itu. Langkah kakinya yang panjang membawanya bergerak menelunsuri rumput hijau dan tanah yang melandai. Di ujung sana, persis di kedua sisi pohon pinus yang berdiri menjorok, seseorang dengan kain coklat tua di kepalanya, sedang mengangkat kapak tinggi-tinggi kemudian menghantamkannya dengan keras di atas permukaan kayu hingga membelah kayu itu menjadi dua bagian.
Dean mendekati laki-laki berkulit hitam itu, tapi semakin tidak yakin sering tiap langkah yang diambilnya. Dalam jarak belasan meter jauhnya baru ia sadari kalau orang yang dilihatnya bukan laki-laki melainkan wanita berkulit hitam. Wanita itu masih cukup muda, Dean menebak usianya sekitar belasan tahun. Tubuhnya hanya dibalut oleh kain coklat serupa seperti kain yang ia lilitkan di atas kepala untuk menyembunyikan rambutnya. Wanita itu memiliki lengan besar yang sekaligus menjelaskan kepiawannya membelah kayu menjadi dua. Ada luka bakar di seputar lengan itu: lingkaran gelap dengan tiga garis hitam yang lebih mirip seperti simbol.
Dean menyipitkan kedua mata saat berusaha mengenalinya, tapi kemudian semua itu buyar saat ia mendapati wanita itu memutar wajah untuk menatapnya. Kedua bola matanya terbuka lebar, dan wanita itu bergerak mundur seolah sedang berusaha menghindarinya.
“Permisi.. tolong jangan khawatir. Aku orang baru disini, aku menempati pondok itu. Namaku Dean dan Bree tunanganku. Siapa namamu?”
Wanita itu masih menatapnya. Ia tampil seperti wanita polos yang ketakutan sekaligus pembunuh berantai dengan kapak pemotong kayu yang mengayun ringan di satu tangannya. Siapa yang akan menyangka sebuah kapak besar dapat mengayun di satu tangannya dengan begitu ringan seperti kapas?
Ketika wanita itu tidak juga menjawab, Dean menatap ke sekeliling dan mencoba mengajukan pertanyaan lain.
“Baik, apa kau mengerti apa yang kukatakan? Kecuali kau berbicara dengan bahasa lain?”
Hening, kemudian perlahan-lahan Dean menangkap anggukan singkat.
“Bagus. Jadi sebenarnya aku sedang mencari sinyal. Kau tahu? Sinyal untuk menghubungi seseorang atau mengirim pesan. Mungkin kau tau dimana tempat yang tepat untuk mendapatkan sinyal?”
Wanita itu terdiam, berkedip cepat kemudian terhenyak. Dean menyaksikan reaksinya dengan heran, kemudian dia sadar kalau tatapan wanita itu jatuh melewati pundaknya. Ketika berbalik untuk memeriksa apa yang sedang dilihatnya, Dean mendapati Bree sedang berdiri di ujung sana, mengenakan pakaian hangat, celana pendek dan sandal merahnya. Rambutnya basah, kedua tangannya terlipat di depan d**a dan kepalanya terjulur dengan penasaran. Bree menatap ke arah Dean seolah sedang berusaha menebak percakapan Dean dengan wanita berkulit hitam itu. Saat Dean memutar wajahnya kembali, ia mendapati wanita berkulit hitam itu sudah menghilang ke dalam hutan sembari membawa tumpukan kayu yang di satu lengannya.
Dean mengawasi kepergian wanita itu sembari berusaha mengingat-ingat ekspresinya. Kemudian ia melihat wanita itu mendekati pondok kayu kecil dengan atap berupa jerami dan menghilang di balik pintu kayunya yang hampir lapuk. Hingga detik itu, Dean bahkan baru sadar kalau pondok kecil itu sudah ada disana sejak tadi. Tidak seperti pondok yang ditempatinya, pondok itu hanya berupa bangunan kecil yang luasnya tidak sampai seratus meter dengan pintu kayu yang sudah lapuk dan tanpa jendela – seperti gudang penyimpanan. Timbunan kayu yang sudah dirapikan bersandar di dindingnya. Tidak ada cahaya lampu sehinga seisi tempat itu tampak begitu gelap.
Dean menyipitkan mata, segera memutuskan bahwa ia akan mencari tahu tentang gudang penyimpanan itu nanti. Sementara itu, Bree masih berdiri di tempat yang sama ketika Dean berjalan mendekatinya. Wanita itu mengerutkan dahi sembari menatapnya, seolah menunggu Dean untuk menjelaskan sesuatu. Kemudian Dean mengangkat ponselnya dan mengatakan, “sinyal. Aku berusaha mencari sinyal untuk menghubungi Sam.”
Kedua lengan Bree terjulur untuk menyambutnya. Wanita itu berjalan di samping Dean untuk kembali ke pondok mereka.
“Kusarankan agar kau jangan bicara terlalu sering dengan penduduk lokal disini, terutama mereka yang berkulit hitam.”
Dean mengangkat alisnya sembari memutar wajah dengan penasaran. “Mengapa?”
Bree mengangkat kedua bahu dengan tidak acuh, kemudian menanggapinya dengam berkata, “bukan apapun. Mereka hanya terlalu sensitif pada orang-orang baru.”
“Aneh sekali.”
“Ya, begitulah. Tapi kau akan terbiasa setelah mengetahui aturannya.”
“Aturan?” langkah Dean tehenti. Kini ia memutar tubuhnya dan meletakkan seluruh perhatian pada wanita itu. “Aturan apa?”
Wajah Bree memerah seolah wanita itu tersadar kalau ia baru saja menyinggung topik yang sensitif. Kemudian sembari mengibaskan satu tangannya di udara, dia berkata, “bukan apapun. Lupakan saja! Air hangatmu sudah tersedia. Sebaiknya cepat sebelum airnya menjadi dingin.”
Kemudian Bree berlalu pergi dan menghilang di balik pintu pondok.