07.20
Sisa perjalanan mereka berlangsung hening. Bree lebih diam dari biasanya. Sejak tadi, wanita itu terus melamun sembari menatap keluar jendela, menyaksikan barisan pohon yang tertinggal di belakang mereka, tapi yang pasti pikirannya berada di tempat lain. Saat Den menegurnya, Bree hanya menunjukkan anggukan singkat yang tidak menjawab apa-apa.
Dean sendiri sibuk memikirkan cara untuk menghubungi putrinya. Ia bisa saja menggunakan walkie talkie-nya. Benda itu dapat bekerja hanya dengan menangkap gelombang radio di sekitar. Sam menyimpan satu walkie talkie di kamarnya, sementara Dean membawa satu yang lain bersamanya ketika ia memutuskan keluar dari rumah beberapa bulan yang lalu. Samar-samar ia mengingat benda itu masih terkubur di dalam koper bersama setumpuk pakaian dan barang-barang lain miliknya. Boleh jadi benda itu masih ada disana. Dean mengingatkan dirinya untuk mengecek koper segera setelah ia sampai nanti - berjaga-jaga kalau ia tidak kunjung menemukan sinyal.
Di tengah pemikiran itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara deru mesin yang meraung-raung tak keruan. Mobil berguncang ketika ban ranger-nya tersuruk-suruk di atas pemukaan tanah yang tidak rata. Dean menginjak pedal rem dengan cepat sebelum bumper mobil itu menyapu semak-semak belukar di hadapannya. Seiringan dengan mobil yang berhenti secara tiba-tiba, tubuhnya terlonjak ke depan. Kepalanya nyaris saja membentur setir dengan keras. Alih-alih menghawatirkan dirinya, Dean mengecek kondisi Bree lebih awal tepat setelah mobil berhenti satu meter jauhnya dari semak-semak.
Wajah Bree pucat, wanita itu seolah baru saja dibangunkan dari tidurnya karena tiba-tiba ia tampak kebingungan.
“Apa itu?”
“Kurasa ban-nya pecah.”
Dean langsung bergerak turun untuk memeriksanya. Benar saja. Bannya pecah dan perlu diganti sementara ia tidak punya peralatan lengkap untuk mengganti ban itu.
“Matilah kita.”
Bree turun dari mobil dengan santai dan mengayun pintu hingga tertutup rapat. Wanita itu kemudian membuka bagasi untuk menurunkan barang-barang mereka dari dalam sana.
“Tidak apa-apa,” katanya sembari mengayunkan tas hitam Dean ke pundaknya. “Kita bisa berjalan. Tempatnya tidak jauh dari sini. Aku tau jalan setapak yang bisa kita lewati.”
Dean menghentikan Bree sebelum wanita itu melangkah jauh.
“Tunggu! Apakah jalannya aman?”
“Tidak, karena akan ada banyak ular dan beruang di dalam hutan..”
Hening, kemudian Bree menyeringai lebar.
“Aku hanya bercanda! Ayo, pak pelatih, ikuti aku!”
Untuk sejenak Dean berdiri mematung memandangi wanita itu, kemudian tersenyum dan bergegas mengambil sisa barang di dalam bagasi. Ia memastikan kaca-kaca jendela dan pintu mobil tertutup rapat sebelum berjalan membuntuti Bree untuk masuk ke dalam jalur setapak yang dikelilingi lebih banyak pohon pinus dengan batang yang tinggi, diselimuti oleh kabut putih yang kian menipis seiring dengan berlalunya waktu.
Meskipun matahari sudah berada di atas cakrawala, energi panas yang disalurkannya tetap tidak dapat mengusir hawa dingin di sekitar sana. Dean melihat layar ponselnya dan menghitung bahwa setidaknya mereka sudah berjalan selama dua puluh menit ketika ia melihat sebuah pondok kayu di kejauhan sana. Rasanya seperti menyaksikan sebuah mukjizat di depan matanya.
Tangan Bree melingkari lengannya ketika wanita itu menunjuk ke arah pondok dengan antusias. Dean spontan mendekat untuk melingkari lengannya ke seputar pundak wanita itu dan berbisik, “itu rumahmu?”
“Ya. Rumah lamaku.”
“Selamat datang di rumah, Sayang.”
-
Dua orang wanita berambut merah yang sedang berdiri di pekarangan rumah langsung menyambut mereka dengan gembira. Yang satu bertubuh gemuk dengan tulang wajah berbentuk bulat sempurna, memiliki bentuk mata yang sama seperti Bree. Kala wanita itu tersenyum, rahangnya ditarik begitu kuat sehingga keriput tipis di bawah matanya dapat terlihat. Satu yang lain adalah wanita bertubuh jangkung, kurus seperti Bree, hanya saja lebih tinggi. Hidungnya sedikit bengkok dan ada garis lurus mirip bekas luka di seputar dahinya yang rata. Rambutnya yang lurus dikuncir ekor kuda dan melihat dari wajahnya, Dean menebak wanita itu hanya beberapa tahun lebih tua dari Bree.
Masing-masing dari mereka berkulit putih. Seputih s**u. Perawakannya mirip Bree dan aksennya-pun terdengar familiar. Dean langsung menebak mereka sebagai ibu dan kakak perempuan Bree. Bree hanya pernah mengatakannya sekali, tapi tidak pernah mengatakan berapa banyak jumlah keluarganya karena tak lama setelah kemunculan dua wanita asing itu, Dean melihat tiga wanita lain keluar dari pintu rumah. Semua berambut merah. Dua diantaranya dikepang dan mengenakan dress yang sama. Baru disadarinya kalau wajah mereka juga identik. Satu yang lain cukup tua. Mungkin hanya beberapa tahun lebih muda dari ibu Bree - dan juga lebih kurus. Senyumnya lebar, dan wanita itu bersuara paling keras.
Tiba-tiba Dean merasa jengah ketika para wanita itu mengerubunginya seperti lebah yang tidak berhenti mengeluarkan suara dengungan. Wanita gemuk pertama yang dilihatnya mengenalkan diri sebagai Rebecca, biasa dipanggi Bec oleh semua anggota keluarganya. Sesuai dugaan Dean, Rebecca adalah ibu dari empat anak perempuan. Bree yang kedua setelah kakaknya: Irine, yang bertubuh jangkung dan memiliki luka baret di dahinya. Irine memiliki sepasang mata yang kosong dan tatapan serius. Tidak seperti yang lainnya, Irine jarang tersenyum. Berbeda dari si kembar yang sekaligus menjadi anak bungsu dalam keluarga: Jill dan Jess. Nyaris tidak ada ciri khusus yang membedakan mereka kecuali – tentu saja – yang satu lahir lima menit lebih awal sebelum satu yang lain. Sementara wanita terakhir yang bersuara paling keras adalah Janet, adik perempuan Bec sekaligus Bibi bagi keempat wanita lainnya.
Dean menatap ke sekelilingnya dengan tidak nyaman, sementara Bree berdiri disana untuk memperkenalkannya.
“Apa pekerjanmu?” tanya Bec sembari memusatkan seluruh perhatiannya pada Dean.
“Aku pelatih renang.”
“Atlet?”
“Tidak, hanya pelatih renang di sekolah menengah atas.”
Jill dan Jess tertawa meskipun Dean tidak mampu menemukan sisi humor dari apa yang baru saja dikatakannya. Kemudian setelah basa-basi yang panjang, mereka akhirnya mempersilakan Dean masuk.
Dean berpikir mereka akan menempatinya di satu pondok kayu yang sama. Ternyata mereka memiliki dua pondok kayu yang berbeda. Satu yang lain letaknya di seberang danau. Stuktur bangunannya lebih tua, namun kedua pondok memiliki besar yang sama. Jaraknya sekitar dua ratus meter dari pondok yang pertama dan hanya dibatasi oleh danau yang memanjang ratusan meter ke arah hutan. Sejumlah pohon oak mudah di temukan di kawasan itu. Selain danau, pohon-pohon itu yang membatasi kedua pondok.
Yang mengejutkan Dean adalah tradisi keluarga yang mengaharuskan calon pengantin menempati satu pondok sementara anggota keluarga lain akan singgah di pondok lainnya. Sementara ada begitu banyak ruangan kosong yang tersedia, Dean hendak mengatakan bahwa tidak menjadi masalah jika ia harus membaur dengan keluarga besar, tapi Bec dan anggota keluarga Bree yang lain bersikeras mengatakan bahwa hal itu sudah menjadi bagian dari tradisi keluarga. Mau tidak mau Dean menyerah pada keputusan mereka. Lagipula tidak masalah jika ia harus menempati pondok dengan atau tanpa keluarga Bree di sekelilingnya, meskipun pengalaman menempati pondok kayu di kawasan pegunungan itu menjadi yang pertama untuknya.
-
Keluarga Bree tidak tinggal lama. Mereka semua pergi lima belas menit setelah kedatangan Dean. Sebelum pergi, Bec dengan senang mengatakan kalau Dean dan Bree dapat bergabung dalam acara makan malam. Mereka akan mengadakan pesta berbeku di luar pondok sebagai bentuk ‘tradisi’ lain untuk menyabut anggota keluarga yang baru datang. Pestanya diadakan beberapa jam kedepan, artinya Dean masih memiliki beberapa jam untuk mandi dan menggeledah seisi koper untuk menemukan walkie talkie-nya.
Dan jika beruntung, ia bisa berkeliling sampai menemukan sinyal.
-
Dean menempati kamar paling besar di lantai atas bersama Bree. Ada dua kamar lainnya yang sebelumnya ditempati Jill dan Jess. Ketiga ruangan itu saling berhadap-hadapan. Sementara jendela kamar yang ditempatinya menghadap langsung ke arah danau. Dari sana Dean dapat menyaksikan pohon pinus yang membentuk barisan panjang menuju hutan. Danau dan pekarangan rumah terbuka persis di depan jendela. Ada dermaga kecil di danau itu dan sebuah perahu rakit yang ditautkan pada tiang kayu setinggi dua meter.
Air danau menggenang dengan tenang. Sesekali angin lembut yang bertiup menyapu permukaannya dan menciptakan gelombang kecil yang saling berkejaran menuju tepi danau. Rumput hijau tumbuh sepanjang mata kaki. Bukit panjang menjadi latar belakang pondok di seberang sana. Ketika Dean mengamati pondok itu lebih jelas, ia menyaksikan jendela-jendelanya yang terbuka lebar. Jill dan Jess sedang duduk di atas sofa hijau sembari melipat kakinya. Di seberang, ada Bec yang juga duduk berhadap-hadapan dengan putri bungsunya. Janet berdiri di tengah-tengah ruangan sembari menggulung kain merah panjang dengan kedua tangannya. Sedangkan Irine sedang berdiri di depan jendela. Ekspresinya tampak kosong, namun kedua matanya menatap lurus ke depan - persis ke jendela kamar Dean.
Dean sontak bergerak mundur ketika menyadarinya. Instingnya langsung memintanya untuk menutup jendela itu. Berusaha mengabaikan keganjilan yang baru saja terjadi, Dean memutuskan bahwa itu adalah waktu yang tepat untuk mencari sinyal dan menghubungi Sam.