2C

955 Words
12.00 Dean memejamkan kedua mata saat butiran air hangat yang mengalir deras dari pancuran air menghujani kulit telanjangnya. Otot-otot tubuhnya mengendur selama beberapa detik ketika menikmati sensasi itu. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun sejak ia membasuh tubuhnya dengan air. Ia tidak pernah membayangkan kalau perjalanan panjang mampu menciptakan sensasi aneh seperti itu. Menggunakan kedua tangan, Dean membilas tubuhnya dengan sabun yang sudah disediakan Bree di atas rak kecil. Cairan hitam itu diletakkan dalam tabung kecil tak bermerk. Aromanya juga tercium asing. Biasanya Dean hanya menggunakan sabun lemon kesukaannya, beberapa hari ke depan sepertinya akan menjadi pengecualian. Dean membiarkan pikirannya menguap selagi air pancuran air itu menyingkirkan busa sabun terakhir dari tubuhnya. Meskipun begitu ia tidak bisa menjaga pikirannya tetap tenang. Dalam situasi tertentu, ketika keheningan menyelimutinya dan yang tertinggal hanya ia dan pikirannya, Dean tanpa sadar akan mulai melamun dan membayangkan hal-hal secara acak. Terkadang ketika ia begitu hanyut dalam pikirannya sendiri, Dean akan mengalami kesulitan untuk kembali pada kesadarannya. Perlahan-lahan, semua pikiran itu akan memakannya sehingga ia mulai bertingkah aneh dengan membayangkan sesuatu yang tidak benar-benar ada atau terkadang ia akan mengalami histeria serangan panik yang muncul secara tiba-tiba. Penyakit itu sudah ada di dalam dirinya sejak ia masih kanak-kanak. Dulu, penyakit itu sangat sulit untuk dikendalikan. Bahkan kedua orangtuanya hampir menyerah untuk mengupayakan pengobatannya. Saudarinya, Kate, sudah paham betul tentang penyakit Dean. Boleh dibilang Kate-lah yang menjaganya selama ini. Di sekolah, Dean dikenal oleh teman-temannya sebagai bocah laki-laki yang suka berhalusinasi. Anggapan itu tidak sepenuhnya salah, faktanya Dean memang suka berhalusinasi – tapi mungkin halusinasi bukanlah pilihan kata yang tepat. Pasalnya, Dean tidak berusaha membayangkan dirinya berada dalam suatu kondisi yang tidak nyata. Bayangan itu muncul begitu saja di kepalanya, dan ketika waktunya tiba, Dean akan kesulitan untuk membedakan apa yang benar-benar nyata dan apa yang hanya merupakan delusi semata. Suatu ketika Dean terlibat pertikaian dengan teman satu kelasnya karena ia bersikeras mengatakan pada temannya tentang monser berkepala kuda yang merangkak di bawah meja belajar temannya itu. Temannya – kalau tidak salah namnya Brian – sampai menangis dan memukul Dean karena takut sekaligus kesal. Merasa disakiti, Dean langsung belas menyerangnya dengan lebih kasar. Pertikaian itu lantas menjadi insiden berdarah ketika tanpa sengaja pukulan Dean menyebabkan Brian terhuyung jatuh dengan wajah membentur kaki meja. Darah mengalir keluar dari lubang hidung Brian. Saat itu juga seorang guru masuk dan menarik Dean. Guru itu meminta Dean untuk menunggu di ruang konseling selagi ia berbicara dengan kedua orangtuanya. Itu adalah momen paling menakutkan dalam hidupnya. Dean tidak pernah merasa begitu takut selain mengetahui bagaimana kedua orangtuanya akan bereaksi atas apa yang terjadi. Keputusan komite sekolah untuk mengistirahatkan Dean selama satu pekan di rumah dan melarangnya masuk sudah ditentukan. Lantas orangtuannya membawa Dean ke seorang dokter. Satu hari berikutnya ketika hasil lab sudah keluar, mereka menyatakan bahwa Dean mengidap skizofrenia. Hanya saja belum terlalu parah dan masih ada peluang untuk mengendalikannya selama Dean mengonsumsi obat secara rutin. Sebagai anak berusia sepuluh tahun yang belum mengerti apa-apa tentang istilah untuk gangguan jiwa, Dean tidak tahu apa yang sedang dihadapinya. Sampai ia remaja, Kate akhirnya menjelaskan semua yang perlu ia ketahui tentang penyakit itu: gejala dan cara untuk mengendalikannya. Dean jadi memahami kondisinya lebih baik dan tiap kali ia mengalami episode delusi lainnya, Dean akan langsung pergi ke terapis atau menelan obatnya. Terkadang dia hanya perlu menghubungi Kate untuk mengendalikannya. Semua cara itu membantu sampai ia bertemu Nikki, menjadi dekat selama lebih dari dua tahun sebagai dokter dan pasien kemudian memutuskan untuk menikah. Hidup Dean sepenuhnya berubah. Rasanya lebih mudah bersama Nikki. Tinggal di bawah satu atap yang sama dengan terapis sekaligus istrinya sendiri entah bagaimana membuat Dean melupakan penyakitnya. Tapi kemudian ia mengacau dan dalam dua bulan terakhir rasanya seperti ia kembali ke awal. Neraka untuknya. Dean bertanya-tanya, bagaimana seandainya ia tidak bertemu dengan Bree? Mungkin ia akan mendapati dirinya dikelilingi oleh puluhan botol alkohol dan obat-obatan di tempat antah berantah. Tidak ada yang tahu apa saja yang dapat ia lakukan ketika ia membiarkan delusi itu menelannya mentah-mentah. Rasanya seperti terpisah dari tubuhnya sendiri dan ia sudah tidak lagi menjadi dirinya. “Tidak apa-apa, kau aman. Kapanpun kau merasa panik, kau harus ingat untuk melakukan hal ini, Dean: tarik nafas dan hitung sampai lima kemudian embuskan, kepalkan kedua tanganmu secara bergantian dan selagi kau menghitung, lakukan lebih cepat. Itu akan membantumu, aku janji,” ucap Nikki dalam satu sesi terapi mereka. Sial, aku tidak bisa menyingkirkan wanita itu barang sebentar saja. Apa yang salah denganmu, Dean? Kau akan menikahi wanita lain dan kau masih memikirkan Nikki? Mungkin Dean hanya butuh istirahat. Alih-alih pergi tidur, Dean berencana memanfaatkan waktunya untuk membuka laptop dan memeriksa surel yang masuk. Ketika berpakaian, ia menatap ke sekeliling kamar dan menyadari kalau tidak ada cermin disana. Jendelanya terbuat dari kayu, dinding kamarnyapun dilapisi oleh kayu setebal lima belas senti. Seluruh pajangan dinding dibuat dari kayu dan batu. Sementara itu, alat makan di dapur dan perlatan lainnya dibuat dengan melamin. Tidak ada satupun cermin di dalam pondok. Selain itu aliran listrik merupakan sesuatu yang sangat sulit ditemukan. Mereka hanya menggunakan generator pembangkit listrik untuk menyalakan sejumlah mesin seperti: mesin air atau alat pemotong rumput. Jadi tidak ada cermin, tidak ada listrik, dan sinyal. Dean sudah bisa menebak reaksi Kate saat mengetahuinya. Wanita itu pasti berpikir kalau Dean baru saja menceburkan dirinya ke dalam neraka. “Memangnya apa yang lebih buruk dari kota ini?” tanya Kate dengan nada suara yang dilebih-lebihkan. Dean terus menatap ke arah layar laptopnya sembari menanggapi dengan tidak acuh. “Pedesaan..?” Bingo! Selama belasan menit ia hanya berkeliling di sekitar pondok, berusaha menemukan sakelar untuk mengisi daya ponselnya. Namun upaya itu terkesan sia-sia. Dean menatap layar ponsel, baterainya masih tersisa enam puluh lima persen. Setidaknya masih ada harapan untuk menghubungi Sam. Mungkin..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD