06.42
Dean terbangun karena suara dengungan yang terus berputar-putar di dekat telinganya. Kulitnya terasa lengket saat seekor lalat hinggap di atas wajahnya. Secara naluriah, lengannya langsung terangkat untuk mengusir serangga kecil itu. Ia bertanya-tanya dari mana datangnya serangga itu? Kemudian saat kesadarannya mulai terkumpul, Dean langsung menegakkan tubuh di atas kursi dan menatap ke sekeliling mobil. Hari sudah cerah. Ia ketiduran.
Bree menghilang dari kursi penumpang. Wanita itu membiarkan selimut biru kecil dengan gambar kartun milik Sam dan juga topinya tergeletak disana. Gelas kopi yang di belinya kemarin tergeletak kosong di atas dasbor. Pintu mobil sedikit terbuka, tapi wanita itu pergi entah kemana.
Dean menyambar ponselnya di atas dasbor kemudian melirik jam. Pukul 06.42, belum terlalu siang untuk melanjutkan perjalanan. Insting alaminya meminta ia untuk segera mengecek riwayat panggilan. Namun tidak ada panggilan yang masuk. Sementara itu pesan terakhir yang dikirimnya untuk Kate masih juga belum mendapat balasan.
Aneh. Tidak biasanya Kate mengabaikan pesan Dean. Tapi Kate mungkin sedang sibuk. Omong-omong soal Kate, Dean teringat wanita itu pernah meninggalkan kotak kecil gps di dalam mobilnya. Kate bilang alat itu masih bisa berfungsi bahkan di kawasan yang susah sinyal karena pemancarnya mampu menangkap radius dalam jarak jauh. Dean langsung merogoh ke laci dasbor untuk menemukan alatnya. Kira-kira sebesar ibu jari, tanpa kabel dan hanya memiliki satu tombol untuk menghidupkan dan mematikan fungsinya. Hanya saja ia tidak menemukan alat itu tersimpan di dalam lacinya.
Dean mengadah, menjulurkan lengannya ke langit-langit mobil sampai ia menemukan benjolan kecil di atas mobilnya. Itu dia! Alat pelacak ajaib. Dean meneriksa tombolnya. Lampu merah kecil masih menyala. Artinya alat itu masih berfungsi. Dean lupa kalau ia Kate meletakkan alat itu disana untuk memantau keberadaannya. Seolah-olah Dean masih menjadi remaja yang suka kabur membawa mobil orangtua mereka dan pergi bersama teman-temannya untuk membuat kekacauan. Dulu, Dean memang seringkali kabur setelah diam-diam mencuri mobil orangtuanya. Kate akan menjadi orang pertama yang mengetahui hal itu, makanya kakaknya tidak pernah percaya padanya. Namun, meletakkan alat pelacak di dalam mobil pribadinya ketika ia sudah cukup berumur untuk melakukan hal-hal bodoh terkesan sangat konyol. Meskipun begitu, Kate tetap saja melakukannya.
“Aku melakukannya demi keamananmu, Dik..” ucap Kate suatu saat ketika wanita itu berkunjung ke rumahnya, minum segelas kopi tubruk yang diraciknya sendiri, kemudian memuntahkannya dengan cepat di bak pencuci piring. “.. sebagai pencegahan.”
“Pencegahan apa maksudmu?”
“Pencegahan kalau-kalau seseorang berniat mencuri mobilmu.”
Dean tidak tahu harus berterima kasih atau sebaliknya. Tidak ada yang tertarik pada ranger butut dari rongsokan - tidak kecuali ia dan Nikki. Pemikiran itu membuat Dean geli.
Dean menatap lampu merah itu sekali lagi, berharap alat pelacak itu bekerja kalau-kalau GPS benar-benar dibutuhkan. Setelah menutupi alat kecil itu menggunakan bantalan di atap mobil seperti sebelumnya, Dean bergerak turun untuk mencari Bree.
Ia menyusuri jalur setapak sembari menatap ke sekeliling. Pada pukul tujuh, kabut putih tebal dari turun ke jalanan dan memblokade pemandangan ke puncak gunung. Samar-samar, Dean melihat tebing batu mirip terowongan gelap yang dilihatnya semalam. Di pagi hari, tempat itu terlihat lebih jelas: hanya berjarak sekitar satu sampai dua kilo meter dari tempatnya berdiri, letaknya di apit oleh lereng yang curam, dan ada sebuah sungai kecil di dekat sana. Dean tidak melihat sungai itu sebelumnya, tapi cahaya yang disaksikannya semalam mungkin berasal dari sana.
Tanah di bawah kakinya terasa lembab akibat embun. Rumput-rumput dan sesemakan liar mengelilingi jalanan itu dan batang pohon pinus yang merajalela disana. Jalan setapak itu mengarahkannya ke area yang lebih tertutup dimana sejumlah dahan pohon yang tumbang mendominasi tempat, sulur-sulur tanaman menggantung di atas kepala, dan akar-akar pohon yang besar menutup akses bagi para pengendara untuk dapat berkendara melewati jalur itu.
“Breee!!”
Dean menatap ke sekeliling. Seruannya langsung disambut oleh suara gemerisik hewan yang melompat di atas daun-daun kering, dan juga dengungan lebah yang mengelilingi sarang besar persis di atas kepalanya. Ia bergerak menghindar, kemudian menyerukan nama yang sama untuk kali kedua. Kali ini, Dean mendengar suara gemerisik pelan dari balik batang pohon ek besar di sampingnya. Seseorang yang mengenakan hoodie merah dan jins biru gelap sedang berdiri memunggunginya. Rambut merahnya yang tergerai di belakang pundak seperti lidah api jika dilihat dari kejauhan. Wanita itu berdiri kaku disana untuk waktu yang lama, kepalanya menunduk, kedua tangannya terkulai di kedua sisi tubuhnya.
“Bree! Astaga.. apa yang kau lakukan?”
Bree masih berdiri mematung hingga Dean menyaksikan apa yang sedang dilihat wanita itu: sebuah bangkai rusa yang tergeletak di atas tanah. Tubuhnya sudah dikoyak hingga bagian dalam organnya berhamburan keluar. Segerombolan lalat dengan senang mengelilingi santapannya dan bau busuk yang tajam langsung menusuk hidungnya.
Dean mengamati bangkai itu dari dekat dan menemukan sejumlah keganjilan. Pertama, jika itu ulah pemburu liar, seharusnya ada lubang bekas tembakan. Namun rusa tidak di tembak, bagian tubuhnya disayat dan rasanya mustahil jika seekor anjing liar yang mengoyak tubuhnya. Pasalnya, sayatan itu rapi, seperti menggunakan pisau atau alat runcing serupa. Potongannya juga beraturan seolah membentuk sebuah simbol khusus berupa lingkaran dengan tiga garis lurus yang saling bertabrakan. Seperti gambar matahari dari lukisan abstrak Sam yang dipajang di dinding kamarnya. Tidak hanya itu, kepala rusa itu sudah terpisah dari tubuhnya dan menghilang entah kemana. Siapapun yang melakukan itu pasti telah membawa kepala rusa itu bersamanya dan meninggalkan bangkai itu untuk membusuk disana. Darah yang masih basah mengindikasikan kalau bangkai itu belum lama ada disana. Bercak-bercak darah bekas cipratan tersebar pada permukaan tanah di sekitarnya.
“Sial!”
Dean bergerak mundur saat bau tajam bangkai itu kian menusuk hidungnya. Sementara Bree yang berdiri kaku di sampingnya tampak tidak begitu terganggu. Alisnya sesekali mengerut, kedua mata gelapnya menyelidik ke arah bangkai itu seolah sedang menilai, tapi tidak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya, setidaknya sampai Dean menguncang bahu wanita itu dengan keras.
“Hei?”
Baru pada saat itulah Bree tersadar. Seolah-olah indranya baru saja berfungsi, ia sontak menjauhi bangkai dengan perasaan kalut. Kerutan di dahinya perlahan menghilang, satu tangannya mencengkram lengan Dean dengan kuat.
“Pasti ulah pemburu,” bisik Bree dengan pelan.
“Kenapa kau disini? Aku mencarimu.”
“Aku ingin..” Bree menatap ke sekitarnya dengan kebingungan, berusaha menemukan jawaban. “Aku ingin buang air kecil. Tapi kita bisa melanjutkan perjalanan sekarang.”
Wanita itu berbalik, tampak linglung, tapi tidak berbicara lagi ketika berjalan kembali ke dalam mobil. Dari belakang, Dean mengawasinya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan Bree. Dari gelagatnya saja sudah kelihatan jelas, tapi itu bukan waktu yang tepat untuk membahasnya. Apa yang dibutuhkannya hanyalah air hangat untuk membasuh tubuhnya yang lengket dan juga kasur empuk.
Dan sinyal.