11.25
Langitnya baru benar-benar gelap pada pukul sebelas malam. Setelah hampir seharian berkendara, Dean akhirnya memutuskan untuk menepikan mobilnya di pinggir jalan untuk mengambil waktu rehat barang satu atau dua jam ke depan.
Bree tertidur lebih awal, dan selagi wanita itu meringkuk di dalam mobil dengan nyaman, Dean mengambil kesempatan untuk keluar dan mencari sinyal. Angin dingin di luar memukul kulit wajahnya dengan ganas. Dean menatap ke sekelilingnya dan menyaksikan barisan pohon yang berdiri tak sejajar menandai jurang yang curam. Papan kilometer jalan memberitahunya kalau puncak gunung hanya berjarak kurang dari tiga belas kilometer jauhnya. Tanpa harus membaca tanda itu, Dean sudah menyadarinya karena tekanan udara di atas sana terasa berbeda. Langit gelap yang terbuka di atas kepalanya memperlihatkan malam yang tak berujung. Tempat pemberhentian pengunjung dan kawasan hutan terbuka tidak lagi terlihat dari atas sana. Yang ada hanya hamparan pepohonan dan lereng yang curam.
Samar-samar ia menyaksikan sebuah cahaya berkedip di kejauhan. Dean pikir sebuah truk sedang melintasi jalur yang sama, namun cahaya itu tampak lebih redup dan bergerak terlalu lambat di antara bariasan pohon-pohon tinggi yang mengelilinginya. Seperti lidah api yang kian memanjang. Letaknya tidak jauh dari tempat ia berdiri. Kemudian telinganya mendengar suara gema musik, derap langkah kaki, dan juga nyanyian yang dilantunkan dengan keras. Kegelapan sepenuhnya menyelimuti jalan, tapi Dean merasa bahwa ia sedang menyaksikan siluet hitam besar yang berjalan menuju terowongan, diiringi oleh suara musik dan nyanyian dalam bahasa yang terlalu asing. Namun, semua itu menghilang dalam hitungan detik. Tidak ada musik, tidak ada iringan orang, tidak ada cahaya yang terlihat. Semuanya menghilang ditelan tebing batu tinggi yang menghalangi jalan.
Kini Dean menatap layar ponselnya kemudian memeriksa pesan. Ia terkejut mendapati pesan terakhirnya telah dibaca oleh Kate. Hanya saja tidak ada balasan pesan yang masuk. Sinyal masih sulit ditemukan, sementara daya ponselnya masih tersisa tujuh puluh persen. Dean mulai berpikir kenapa juga ia membawa laptop ketika ponselnya saja kesulitan mendapatkan koneksi internet.
Namun, kondisi bisa saja lebih buruk begitu ia sampai di rumah Bree. Jadi, Dean memanfaatkan kesempatan itu dengan menunggu sinyal untuk menghubungi Sam.
Perbedaan waktunya mungkin hanya beberapa menit saja, jadi Sean memperkirakan Sam sudah kembali setelah berkunjung di rumah Lorrie. Mungkin gadis itu sedang tidur. Sam biasa tidur sekitar pukul sepuluh sampai sebelas malam. Sekarang sudah terlalu terlambat untuk menghubunginya, tapi, pikir Dean tidak ada salahnya mencoba. Ia menghubungi telepon rumah sekali, tapi tidak ada jawaban. Jadi, Dean langsung mengetikkan nomor ponsel Nikki yang sudah dihapalnya dengan baik.
Panggilannya masuk ke pesan suara. Dean hendak menekan tombol off, tapi berubah pikiran dengan cepat.
Hei, Nik, ini Dean. Bagaimana Sam? Aku ingin mengabarimu kalau perjalanan ini belum berakhir, tapi aku hampir sampai. Aku baru tahu kalau letaknya sangat jauh dari kawasan hutan terbuka. Masih puluhan kilometer jauhnya dari pemberhentian terakhir Douglas Hill, dan aku sudah melewati kilometer 39. Tidak ada nama untuk tempat ini, aku tidak tahu kenapa, tapi Bree bilang penduduk disini enggan menamai tempat tinggal mereka. Sinyalnya sangat susah disini, jadi mungkin aku tidak bisa menepati kata-kataku untuk terus menghubungi Sam, tapi aku akan berusaha. Aku mengambil waktu istirahat sebentar jadi mungkin kita bisa bicara. Kalau kau punya sesuatu yang ingin disampaikan, katakan saja.
Ada jeda yang panjang sebelum Dean mengakhiri pesan suara itu dengan berkata: Serius, Nik, aku menghawatirkanmu..
Kemudian ia mendekan tombol kirim dan berkat segaris sinyal yang muncul tiba-tiba, pesan suara itu berhasil terkirim dalam hitungan detik. Dean sudah bergerak mondar-mandir menunggu balasan pesan atau panggilan masuk setidaknya selama tiga puluh menit sebelum rasa kantuk menguasainya.
Lima belas menit kemudian ia berjalan kembali ke dalam mobil untuk meyesap kopi dingin yang masih tersisa. Bree masih tertidur lelap. Dean tergoda untuk membangunkannya, tapi mengurung niat itu dengan cepat. Ia meletakkan ponselnya di atas dasbor, berjaga-jaga kalau Nikki menghubunginya, kemudian perlahan-lahan mengizinkan kedua matanya terpejam.