Episode 7
#Hujan, Ajaran Aku Lupa
Malam panjang
Nadine duduk di tepi ranjang dengan gelisah. Sejak tadi, Devan belum kunjung keluar dari kamar mandi. Gadis itu mengalihkan kegelisahannya dengan menghidupkan televisi. Baru saja merasa tenang, pintu kamar mandi terbuka.
Devan keluar hanya menggunakan handuk untuk menutup tubuh bagian bawahnya. Sontak Nadine berteriak karena kaget.
"Kenapa kau tidak pakai baju?"
Devan memilih duduk di ranjang sebelum menjawab pertanyaan Nadine. "Cih, perawan memang menyusahkan." gumam Devan.
Merasa tidak aman, Nadine menjauh dari jangkauan Devan. Melihat tingkah Nadine, Devan tertawa mengejek.
"Kalau kau terus menjauh, kapan kita akan memulai malam panjang ini?"
Nadine menghela napas berat. Devan ada benarnya, jika dia terus menjauh, bisa jadi Devan kehilangan kesabaran dan membatalkan perjanjian mereka. Tak mau itu terjadi, Nadine menghampiri Devan di tempat tidur.
"Kau boleh keluar jika kau tidak yakin." tawar Devan.
Tanpa pikir panjang, Nadine duduk di samping laki-laki itu. Devan menyeringai senang saat Nadine memilih untuk tetap melakukannya.
"Tapi, kau benar-benar bisa memberiku 1 triliun kan?" tanya Nadine ragu-ragu.
"Uang bukan masalah untukku, Nadine." jawab Devan mantap.
Devan meminta Nadine mendekat. Dengan ragu Nadine menurut. Setelah gadis itu berada dalam jangkauannya, perlahan Devan merangkul pundak Nadine hingga Nadine terguling di dadanya.
"Begini lebih baik. Kau harus terbiasa dengan sentuhan sebelum kita memulai sesi pertama kita. Untuk itu, kita harus lebih dekat supaya kau tidak gugup." ujar Devan sambil memindahkan tangan Nadine hingga merangkul pinggangnya.
Lagi-lagi Nadine hanya menurut. Nadine pernah terbangun dalam pelukan Jordy dengan posisi seperti ini. Hanya saja, bersama Jordy, Nadine tidak merasa takut. Perlahan, Nadine melemaskan tubuhnya dan membayangkan kalau laki-laki yang dia peluk adalah Jordy.
"Apa aku boleh tau alasan kau menjual diri?" tanya Devan membuka obrolan.
Ini kali pertama Devan mengajak ngobrol seorang gadis sebelum menidurinya. Biasanya laki-laki itu terkesan kasar dan buru-buru dalam bermain. Lagipula, ini juga kali pertama bagi Devan menghadapi gadis yang sangat-sangat amatir. Dia pernah menikmati puluhan perawan. Meski masih perawan, gadis-gadis yang pernah Devan sentuh, terkesan agresif dan memuakkan.
Tapi Nadine berbeda. Sejak tadi, gadis itu cuma diam dan menunggu apa yang akan Devan lakukan. Devan sendiri jadi bingung, apakah Nadine hanya pura-pura? Atau gadis itu memang tidak tau apa-apa?
"Bukankah hari itu kau sudah mendengarnya?" ujar Nadine lemah.
"Usaha keluargamu bangkrut, kau juga diselingkuhi, jika uang yang kuberikan mampu membuat kondisi perekonomian kalian membaik, apa kau masih akan bertahan dengan pertunangan kalian?" tanya Devan ingin tau.
Sesekali Devan mengelus rambut Nadine dan menghirup aromanya. Tanpa sadar, Nadine menikmati perlakuan Devan.
"Aku sudah memikirkannya dengan baik, Devan. Eh bolehkan aku memanggilmu seperti itu?" tanya Nadine sambil menengadahkan wajahnya.
Devan mengangguk sambil melayangkan kecupan singkat di kening Nadine. Buru-buru Nadine kembali menunduk dengan wajah memerah.
"Aku akan menendang laki-laki itu dari hotel papa setelah semuanya membaik. Ngomong-ngomong, dari pada disebut menjual diri, aku akan lebih merasa terhormat jika kau mengambil apa yang ku punya sebagai hadiah. Anggap saja kau sedang membantuku dengan memberiku uang, dan aku memberimu hadiah untuk bantuan yang kau beri. Bukankah begitu lebih bermartabat?" pinta Nadine pelan.
Diam-diam Devan tersenyum. Harga diri ternyata sangat penting bagi Nadine. Devan bisa memakluminya mengingat Nadine adalah wanita yang keras dan tidak mudah ditindas.
"Baiklah, aku tidak akan mengungkit masalah jual diri. Aku memberimu bantuan dan kau memberiku hadiah. Take and give, i see." ujar Devan
"Jika kita bertemu lagi, berjanjilah kau tidak akan pernah mengungkit tentang malam ini." pinta Nadine.
"Ok, tapi kau juga harus mengetahui satu hal. Aku tidak pernah menggunakan pengaman saat bermain dengan perawan. Pun terhadap wanita lainnya. Tapi tenang saja, setiap wanita yang pernah ku sentuh, aku sudah menjamin mereka bersih dari penyakit kelamin. Jadi kau tidak perlu mengkhawatirkan tentang itu."
"Bagaimana jika aku hamil?" tanya Nadine polos.
Devan tertawa. "Kalau kau hamil, itu keberuntungan untuk kita. Sejak 10 tahun yang lalu, aku divonis akan sulit memiliki keturunan. Bahkan aku sudah membuktikan ucapan dokter setelah meniduri ratusan wanita. Tidak seorangpun pernah terbukti mengandung anakku. Ada sih beberapa yang datang untuk menipu dan meminta pertanggungjawaban, tentu saja aku merasa senang dan menerima mereka. Tapi setelah dilakukan tes DNA, aku harus kecewa."
Nadine kembali menengadah. Ditatapnya Devan yang masih asyik bercerita. Ternyata, laki-laki yang nyaris sempurna seperti Devan, memiliki kekurangan seperti itu.
"Jadi kau tidak perlu takut. Jika kau benar-benar hamil anakku, maka kau adalah wanita paling beruntung di dunia."
Laki-laki itu berbisik di telinga Nadine dan menghirup aroma rambutnya. Nadine memejamkan mata dan mencoba menikmati apapun yang dilakukan Devan. Saat Devan bergerak menindih tubuhnya, Nadine menahan bahu laki-laki itu.
"Sepertinya aku butuh ke kamar mandi." bohong Nadine.
Devan terkekeh. "Kau akan membutuhkannya setelah kita melakukan ronde pertama."
"Ro-ronde pertama? Bukankah kita hanya akan melakukannya sekali?" tanya Nadine bingung.
Devan kembali terkekeh. "Apa menurutmu uang 1 triliun itu sedikit?"
Nadine menggeleng. "Lakukan apa yang kau mau, tapi ku mohon lakukan itu dengan hati-hati. Ini pengalaman pertama untukku." ujarnya lemah.
Devan mengangguk sekilas sebelum akhirnya mendaratkan kecupan di kening Nadine. Devan benar-benar menuruti keinginan gadis itu. Dengan lembut, Devan menempelkan bibir mereka. Dingin, itulah sensasi yang pertama dirasakannya.
Nadine tidak bergerak. Wanita itu seperti membatu. Ini kali kedua bibir mereka bertemu. Devan melumat bibir Nadine bergantian. Secara perlahan, tangan Devan meraih tangan Nadine yang sejak tadi jadi batasan.
"Argh." Nadine meringis saat Devan mulai mencium bibirnya dengan tidak sabar.
Seketika Devan berhenti. "Sorry aku tidak ingat kalau bibirmu terluka. Bibirmu sangat manis, aku jadi lepas kendali."
Suara Devan serak karena menahan birahi. Dan malam panjang itupun terjadi. Kedua insan yang sebelumnya sering dipertemukan karena ketidaksengajaan, kini bermandi peluh menikmati sentuhan-sentuhan yang membangkitkan gairah. Devan menuntun Nadine dengan keahliannya. Gadis yang semula merasa takut dan gelisah, kini takluk dalam erangan erotis yang membuat Devan menginginkan Nadine lagi dan lagi.
Devan baru berhenti setelah Nadine mengeluh lelah dan ingin tidur. Entah sudah yang keberapa kali Devan menyatukan tubuh mereka. Devan benar-benar tidak bisa berhenti kalau saja tidak melihat wajah lelah Nadine. Laki-laki itu merasa kasihan dan menyelimuti tubuh mereka sebelum akhirnya ikut tidur sambil memeluk Nadine.
***
Devan terbangun karena suara ponsel yang terus-menerus berbunyi. Laki-laki itu mengumpat pelan sebelum meraih benda pipih yang tergeletak di atas meja rias. Devan mengerutkan kening saat melihat Pengingat di ponselnya mengatakan kalau hari ini adalah ulang tahun Evelyn. Entah kapan dan siapa yang sudah membuat pengingat itu.
Sesaat mata Devan menatap ke arah ranjang yang kosong. Devan tersenyum sinis mengenang percintaannya dan Nadine tadi malam.
"Sial! Sejak kapan dia pergi?" umpat Devan setelah menyadari barang-barang Nadine sudah tidak ada.
Ini kali pertama Devan ditinggalkan oleh gadis yang dia bayar. Biasanya, gadis-gadis itu akan merengek agar Devan tidak pergi setelah mereka bersetubuh. Tapi tadi malam Devan terlalu lelah untuk segera pergi. Tidak disangka, pagi harinya Devan malah ditinggalkan.
Sementara itu, Nadine menangis sambil mengguyur tubuh di apartemennya yang dingin. Bayangan sentuhan Devan dan selembar cek yang sudah dia terima, membuat Nadine merasa kalau dia tidak lebih dari seorang w************n.
Puas menangis dan menyesali diri, Nadine menyambar handuk dan kembali membulatkan tekad.
"Ini bukan saat yang tepat untuk menyesal. Menyesal pun tidak akan mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Baiklah, aku harus kuat. Bukankah setelah ini kami tidak akan bertemu lagi?"
Nadine menghapus air matanya dan keluar dari kamar mandi. Masih banyak pekerjaan yang menunggu. Nadine juga harus melakukan yang terbaik untuk hotel ayahnya. Diam-diam gadis itu sudah menyusun rencana.
Setelah berdandan seadanya, Nadine keluar dari apartemen untuk bekerja seperti biasa. Saat itulah matanya terbelalak. Devan, laki-laki yang sengaja dia hindari, malah berdiri angkuh tepat di depan gedung apartemennya.
"Sial! Kenapa dia ada disini?" gumam Nadine.
Lebih sialnya lagi, Devan langsung menyadari keberadaan Nadine begitu gadis itu keluar. Merasa Devan datang bukan untuk menemuinya, Nadine melenggang melewati laki-laki itu.
"Cek senilai 1 triliun, menurutmu apa yang akan orang bank tanyakan ketika kau mencairkannya?"
Nadine berhenti dan berbalik ke arah Devan saat merasa Devan tengah mengajaknya bicara. Devan tersenyum mengejek sambil membukakan pintu mobil untuk Nadine.
To be continue...