Episode 6
#Hujan, Ajarkan Aku Lupa
Memantapkan hati
Nadine melupakan janji untuk bertemu Devan setelah mendengar perdebatan orang tuanya. Alih-alih menemui laki-laki itu, Nadine malah berakhir di klub malam langganannya. Kali ini Nadine tidak datang untuk minum. Dia datang untuk membahas apa yang pernah Roger tawarkan beberapa hari lalu.
Bukan rahasia umum kalau klub tersebut sering digunakan untuk menghabiskan one night stand bagi para pencinta s*x bebas. Nadine sering mendengarnya. Hanya saja gadis itu sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Menurut pengakuan Roger, bos mereka adalah maniak s*x yang sering gonta-ganti pasangan. Dia bahkan rela mengeluarkan uang banyak demi mendapatkan wanita yang dia mau.
Nadine ingin mencari tau tentang bos Roger demi mendapatkan uang untuk menutupi hutang ayahnya yang tidak sedikit. Jika laki-laki itu benar-benar bisa memberinya 1 triliun, Nadine bersedia melepas perawan yang selama ini dia jaga.
"Hei tumben belum minum." sapa Roger.
Nadine mendengus. "Tidak ada larangan untuk tidak minum kan?"
Roger terkekeh. "Tentu saja tidak ada. Oh iya, saat kau mabuk, bos kami menghampirimu. Sepertinya dia tertarik dengan penawaran yang kau lakukan."
"Penawaran? Memangnya aku menawarkan apa?" tanya Nadine bingung.
Roger kembali terkekeh. "Apalagi? Kau menawarkan dirimu dengan harga 1 triliun. Tunggu disini sebentar, ada yang ingin ku berikan padamu."
Roger berlalu meninggalkan Nadine yang menepuk keningnya sendiri. Gadis itu merasa bodoh telah mengatakan apa yang seharusnya tidak dia katakan. Ternyata saat mabuk, Nadine sudah mencuri start. Jika sudah seperti itu, apa lagi yang perlu Nadine cari tau?
"Alkohol selalu bisa membuat orang berkata jujur." gumam Nadine.
Tak lama Roger kembali dengan selembar kertas ditangannya.
"Hubungi dia jika kau memang membutuhkan uang 1 triliun itu. Bos kami memiliki segalanya. Jika dia memberimu kesempatan, itu artinya bos kami tertarik padamu. Dia bisa memberimu uang berapapun yang kau minta. Asalkan, ..."
Roger berhenti sejenak. Ditatapnya Nadine yang terus mendengarkan dengan antusias.
"Asalkan kau masih perawan seperti apa yang kau katakan malam itu." bisik Roger di telinga Nadine.
Nadine kembali menganga. "Memangnya apa saja yang sudah ku katakan saat aku mabuk?" selidik Nadine.
Roger tertawa. "Kau bahkan mengatakan kalau kau perawan yang belum pernah berciuman."
Nadine kembali menepuk keningnya karena malu. Buru-buru diambilnya kertas yang disodorkan Roger sebelum berlari meninggalkan laki-laki itu.
"Hei tunggu dulu." teriak Roger.
Nadine berbalik. "Apa lagi?" tanya Nadine jutek.
"Kau tidak ingin melihat foto bos kami?" tanya Roger sambil merogoh ponselnya di saku celana.
Nadine langsung menggeleng. "Tidak perlu. Lagipula aku belum memutuskan untuk menerima tawaran tersebut."
Nadine buru-buru pergi sebelum Roger kembali menertawakan kekonyolannya. Setelah berada di luar Klub, Nadine menghirup napas lega. Karena terburu-buru, Nadine berakhir menabrak seseorang yang hendak masuk.
Sesaat dia ingin mengomel, tapi saat melihat siapa orang yang sudah ditabraknya, Nadine mengurungkan niat.
"Kau lagi, apa kau menyelidiki kegiatanku dan mengikutinya?" tanya Nadine ketus.
Devan tersenyum sinis. "Kau yang selalu mendatangi tempat-tempat dimana aku sering berada Nona. Sepertinya kau yang memata-matai setiap kegiatanku."
Nadine melongo. "Memangnya siapa kau?"
"Aku? Cih, sekarang kau pura-pura jadi wanita polos yang tidak tau dan tidak mengerti apa-apa. Lucu sekali." sindir Devan.
Egonya mengatakan dia tidak boleh kalah dari Nadine.
Nadine tertawa mengejek. "Memangnya kau artis? Atau pejabat kenegaraan? Atau YouTubers terkenal? Kau tidak seterkenal itu untuk dimata-matai Tuan. Menyebalkan sekali."
Nadine menendang kaleng kosong di depannya dan berlalu dari hadapan Devan. Karena kesal, Devan menarik Nadine hingga gadis itu berakhir dalam pelukannya.
"Apa-apaan sih! Lepaskan b******k!?" teriak Nadine.
Nadine mulai gentar saat beberapa orang berpakaian serba hitam, mendekati mereka. Dengan isyarat mata, Devan meminta mereka untuk menjauh.
"Ka-kau kepala gangster?" tanya Nadine terbata.
"Kenapa? Kau takut? Kemana keberanian yang selalu kau tunjukkan di hadapanku, Nona?" tanya Devan sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Nadine.
Refleks Nadine memundurkan kepala. "Se-sepertinya anda salah paham, Tuan. Aku tidak pernah memata-matai kegiatan kalian. Kau boleh tanya bartender di dalam, aku pelanggan tetap di klub ini." jelas Nadine.
Devan merasa menang karena Nadine mulai takut padanya. Tapi laki-laki itu malah semakin tertantang untuk membuat Nadine tunduk.
"Kau bisa saja sekongkol dengan mereka, Nona. Lagipula, kau juga sengaja mengambil tempat duduk yang seharusnya di duduki oleh pacarku saat di hotel Grand Mahesa hari itu. Bukankah hal seperti itu terlalu tidak masuk akal untuk disebut sebuah kebetulan? Kau juga sengaja meninggalkan kartu nama agar aku mengingatmu atau menemuimu, cih cara yang sangat murahan." ejek Devan.
Nadine meradang. "Kau sungguh sangat narsis Tuan. Aku benar-benar tidak tau dan tidak ingin tau tentangmu."
Nadine menginjak kaki Devan sekuat mungkin hingga laki-laki itu melepaskan pelukannya. Begitu pelukan terlepas, Nadine langsung melarikan diri. Devan meringis menahan sakit. Orang-orang Devan sudah akan mengejar Nadine dan menangkap gadis itu. Tapi Devan mencegah mereka.
"Biarkan saja. Entah mengapa, aku punya firasat dia akan datang dengan sendirinya kepadaku."
Devan tersenyum miring dan memasuki klub seolah tidak ada yang terjadi. Begitu melihat Devan, Roger langsung melaporkan kalau dia sudah memberikan kertas titipan Devan pada Nadine. Devan tersenyum lebar saat mendengar kabar itu.
***
Sepulang dari klub, Nadine mondar-mandir di dalam apartemennya. Gadis itu berkali-kali membaca nama dan nomor ponsel yang tertulis di kertas yang Roger berikan. Devan Abraham Mahesa, nama yang tidak pernah Nadine dengar sebelumnya. Tapi Nadine yakin, laki-laki itu bukan orang sembarangan. Jika dia bersedia memberi Nadine 1 triliun untuk harga keperawanannya, artinya Devan adalah laki-laki kaya raya.
Setelah memantapkan hati, Nadine mengirim pesan teks melalui ponselnya. Tak banyak yang Nadine tulis. Dia cuma mengatakan kalau dia tertarik dengan penawaran yang Devan berikan. Di dalam kertas, Devan menulis akan memberikan berapapun yang Nadine minta asal Nadine bisa memuaskannya.
Disisi lain, Devan tersenyum senang saat membaca pesan teks dari Nadine. Meski hampir tengah malam, Devan masih terjaga dengan setumpuk pekerjaan yang belum diselesaikan. Saat itulah pesan dari Nadine masuk. Dengan cepat Devan membalasnya.
Temui aku di hotel Grand Mahesa kamar 5001 pukul 20.00. Jika kau terlambat, ku anggap kau tidak serius dengan keputusanmu.
Nadine melepaskan ponsel saat membaca balasan dari Devan. Gadis itu tidak menyangka kalau pesannya akan segera di balas.
Tak mau banyak berpikir, Nadine memilih segera tidur. Dia tidak boleh ragu. Besok adalah kesempatan yang tidak boleh Nadine lepaskan. Jika Nadine ragu-ragu, kesempatan seperti itu bisa jadi tidak akan datang lagi.
***
Pujul 7 malam, Nadine sengaja berdandan untuk menyamarkan lebam di sudut bibirnya. Gadis itu juga memakai pakaian yang sedikit mewah demi terlihat anggun di depan orang yang akan ditemuinya.
Setelah merasa cukup, Nadine tanpa ragu menuju hotel Grand Mahesa. Sejak tadi jantungnya berdegup kencang. Ini akan menjadi kali pertama bagi Nadine disentuh seseorang. Lebih parahnya, Nadine tidak mengenal orang itu. Sepanjang jalan, Nadine terus memantapkan hati.
"Aku tidak boleh ragu, tidak boleh." ucap Nadine saat sampai di Hotel Grand Mahesa.
Dengan langkah tegap, Nadine menuju resepsionis. Gadis itu sedikit malu saat menyampaikan maksud kedatangannya.
"Saya punya janji dengan pak Devan Abraham Mahesa di kamar 5001." ucap Nadine ragu-ragu.
Resepsionis yang sepertinya sudah menunggu Nadine, langsung memerintahkan pegawai lainnya untuk membawa gadis itu ke kamar yang di maksud. Sebelum Nadine pergi, resepsionis tersebut mengatakan kalau Devan akan datang terlambat. Jadi Nadine diminta menunggu dengan sabar. Nadine mengangguk kaku. Sesaat gadis itu merasa malu karena berpikir orang-orang yang membawanya pasti mengetahui maksud kedatangannya.
Sesampainya di kamar 5001, Nadine melongo melihat kemewahan yang disuguhkan di dalam kamar tersebut.
"Ini kamar atau istana?" gumam Nadine.
Gadis itu meneliti setiap sudut ruangan dan terkagum-kagum dengan interior mewah yang tidak pernah Nadine lihat sebelumnya.
"Wajar saja hotel kami kalah saingan. Hotel-hotel seperti ini tentu lebih menarik minat pengunjung. Mumpung laki-laki itu datang terlambat, aku akan bersenang-senang."
Nadine mengambil beberapa foto dan merebahkan diri di kasur empuk yang sejak tadi menggoda untuk ditiduri. Sesaat gadis itu lupa apa tujuannya datang ke hotel tersebut. Nadine baru tersadar dari eforia dan kegembiraannya saat telepon di kamarnya berdering. Dengan ragu Nadine mengangkatnya.
Tuan Devan akan segera datang, Nona. Beliau berpesan agar Nona mempersiapkan diri.
Nadine menutup telepon dengan gelisah. Seketika wajah gadis itu memucat. Tiba-tiba Nadine kehilangan keberanian yang sejak tadi dikumpulkannya.
"Bagaimana ini?" ujar Nadine sambil mondar-mandir.
Gadis itu semakin takut saat pintu dibuka dari luar. Betapa terkejutnya Nadine saat melihat siapa yang datang.
"Ka-kau?"
To be continue...