Episode 5

1323 Words
Episode 5 #Hujan, Ajarkan Aku Lupa Pilihan sulit "Kau sedang menyamar atau sedang menghindari seseorang?" selidik Billy pada Nadine yang baru sampai. Nadine sengaja menggunakan masker dan topi untuk menutupi luka dan memar di sudut bibirnya. "Gara-gara mabuk, semalam aku jatuh dari tangga." bohong Nadine. Billy menganga saat Nadine melepas topi dan masker yang sejak tadi dia pakai. "Wajahmu mengenaskan, Nad. Cih, bau alkohol bahkan masih tercium dari aroma mulutmu." ujar Billy. Nadine tersenyum kecut. Gadis itu mulai menghitung stok pakaian wanita dan laki-laki yang masih tersisa di etalase. Mereka mulai kehabisan stok pakaian dari desainer-desainer ternama. Nadine berencana untuk menghubungi desainer-desainer tersebut agar mengirim stok yang baru. Sekilas, Nadine menatap ke etalase tempat dimana dia memajang pakaian hasil karyanya sendiri. Tempat itu selalu kosong, artinya Nadine sukses membuat baju yang diminati oleh banyak kalangan. Gadis itu tersenyum lebar sembari memeriksa sekali lagi apa saja yang dibutuhkan oleh butiknya. Sedang asyik memeriksa, seseorang menyentuh pundak Nadine. Nadine menoleh sambil tersenyum ramah. "Apa baju itu di jual?" tanya Evelyn pada Nadine. Evelyn adalah penyanyi ternama yang lagunya sedang digandrungi banyak kalangan. Bahkan, Nadine salah satunya. Suatu kehormatan bagi Nadine butiknya di kunjungi artis seperti Evelyn. Nadine menoleh ke arah baju yang di tunjuk Evelyn. Baju yang Evelyn maksud adalah baju pertama yang Nadine buat. Nadine sengaja memajangnya di depan tokoh, sebagai ikon dan penyemangat. "Sebenarnya baju itu tidak di jual. Tapi karena artis besar seperti anda yang meminta, bagaimana saya bisa menolak?" ujar Nadine ramah. Evelyn tersenyum senang dan bergegas menghampiri baju tersebut. "Sayang, aku mau baju itu." rengek Evelyn pada laki-laki yang baru saja masuk. Nadine melongo saat mengenali siapa laki-laki itu. Dia Devan, laki-laki yang secara kebetulan bertemu Nadine di hotel Grand Mahesa. Tapi tentu saja Nadine tidak mengenal Devan. Mereka hanya bertemu, tapi mereka tidak pernah berkenalan secara langsung. Sebelum Devan melihat Nadine, gadis itu sudah lebih dulu sembunyi di balik pakaian yang berjejer. Billy mengerutkan kening saat melihat tingkah Nadine. Melalui ponsel, Nadine meminta Billy melayani pembeli mereka. Dengan mengendap-endap, Nadine berjalan ke arah belakang. Sayangnya, saat ingin melangkah, kaki gadis itu tersandung gantungan pakaian. Otomatis setumpuk pakaian roboh dan memperlihatkan keadaan Nadine yang cukup memalukan. Nadine tersenyum kaku ke arah pelanggan yang menatapnya bingung. Dengan sigap, Billy membantu Nadine berdiri. "Ah maaf sudah membuat kalian semua kaget. Aku kurang hati-hati. Silahkan melihat-lihat lagi." ujar Nadine. Sebagian orang kembali melihat-lihat tanpa mempedulikan keributan yang dibuat oleh Nadine. Berbeda dengan Devan, laki-laki itu menangkap sesuatu yang tidak beres dari wajah perawan yang menawarkan diri dengan harga 1 triliun padanya. "Hari ini aku tidak bisa mengantarmu ke lokasi syuting, Eve. Ada pekerjaan yang sudah menungguku di kantor." ujar Devan. Devan mengantar Evelyn sampai ke mobilnya setelah mereka membeli baju. Evelyn tampak cemberut tapi tetap melayangkan ciuman singkat ke bibir Devan. "Sepertinya pekerjaan jauh lebih penting dari pada hubungan kita." omel Evelyn. "Kau berlebihan Eve, bukankah hubungan kita cuma batu loncatan agar kau bisa semakin terkenal? Please, jangan terlalu menghayati peranmu. Kau sudah mendapatkan segalanya dengan berdiri di sampingku. Jadi jangan terlalu serakah untuk mengikatku dalam hubungan yang sebenarnya." ujar Devan dingin. Evelyn mendengus dan menutup pintu secara kasar. Devan tak ambil pusing, toh dia dan Evelyn hanya partner yang saling menguntungkan. Sepeninggal Evelyn, Devan kembali ke butik Nadine. Sebenarnya Devan sengaja mengajak Evelyn ke sana setelah tidak sengaja melihat kartu nama yang ditinggalkan oleh Nadine. Kartu nama itu jatuh saat Devan membuka dompetnya. "Apa ada yang tertinggal?" tanya Billy pada Devan. "Aku ingin menemui gadis tadi." ujar Devan. Billy mengerutkan kening. "Maksud bapak, Nadine?" Devan mengangguk. "Katakan saja dia harus mengganti sarapan yang sudah dia rebut." Billy semakin bingung. Alih-alih memanggil Nadine, laki-laki itu malah membawa Devan ke ruang kerja Nadine. Devan tersenyum senang karena Billy meninggalkan mereka berdua. Nadine masih asyik mengukur kain saat dengan pelan Devan menghampirinya. "Siapa yang memukulmu?" tanya Devan penasaran. Nadine terperangah saat melihat Devan berdiri tepat di belakangnya. Saking kagetnya, gadis itu hampir jatuh ketika berpegang pada pinggiran meja. Dengan sigap, Devan meraih tubuh Nadine agar tidak terjatuh. "Terima kasih. Tidak ada yang memukulku, aku jatuh dari tangga." ucap Nadine sambil melepaskan tangan Devan dari pinggangnya. "Tapi kenapa kau ada disini?" lanjut Nadine. "Itu karena aku ingin menagih sarapanku yang sudah kau rampas." jawab Devan santai. Nadine tersenyum kikuk. "Berapa?" Tanyanya polos sambil merogoh uang di saku celananya. Devan melipat tangan di d**a. "Aku tidak ingin uang, Nona. Bagaimana kalau kau menggantinya dengan makan malam bersama?" Nadine melongo. "Makan malam?" "Iya, makan malam. Apa kau keberatan?" tanya Devan. "Tidak juga sih, tapi makan malam dan sarapan bukankah tidak sebanding? Aku cuma makan sandwich dan meminum kopi yang sudah kau minum, bagaimana mungkin aku harus menggantinya dengan makan malam?" cecar Nadine. Alih-alih meladeni Devan bicara, Nadine kembali sibuk mengukur kain. Devan jadi garing sendiri karena diabaikan. Nadine gadis pertama yang membuat Devan mati gaya. "Jadi menurutmu, apa yang sebanding dengan sandwich dan kopi?" tanya Devan. Dengan malas, Nadine berbalik. "Astaga, kau menyebalkan sekali Tuan. Aku sedang kerja, jika kau terus-menerus mengajakku bicara, aku bisa salah ukur." geram Nadine. Gadis itu merogoh saku celananya dan menyerahkan selembar uang seratus ribu pada Devan. Devan kembali melongo. Seumur-umur ini kali pertama Devan diperlakukan seperti itu. "Apa kau tau kau sedang bicara dengan siapa Nona?" tanya Devan. Masih sambil mengukur kain, Nadine menggeleng. Ketika sedang bekerja, apapun itu sama sekali tidak menarik bagi Nadine. Karena kesal, Devan menarik tangan Nadine hingga gadis itu kembali menghadap ke arahnya. "Apa lagi sih? Aku bisa teriak jika tuan terus mengganggu pekerjaanku." ancam Nadine. "Astaga, apa berteriak adalah satu-satunya senjata mu? Dengar baik-baik Nona, aku tidak butuh uang. Temui aku di Hotel Grand Mahesa pukul 16.00, tepat di kursi yang kau duduki kemarin. Jika kau tidak datang, aku akan mengusik kenyamanan mu di gedung kecil ini." ucap Devan balas mengancam. Nadine melongo saat Devan menyerahkan uangnya kembali dan berlalu dari hadapan Nadine. Wanita itu garuk-garuk kepala karena tidak mengerti situasi yang tengah dihadapinya. "Bukankah aku cuma makan sandwich dan minum kopi? Kenapa dia memperlakukanku seolah aku ini sudah mencuri ratusan juta darinya? Lagipula siapa dia? Apa hubungannya dengan gedung ini? Tapi kalau dipikir-pikir, laki-laki itu pasti orang kaya. Pakaian mewah, jam tangan mewah, sepatu mewah. Ah sudahlah, aku cukup menemui dia jam 16.00 kan?" Nadine berbicara sendiri sebelum kembali mengerjakan pekerjaannya yang tertunda. *** "Biarkan saja hotel itu di sita. Bukankah hotel itu yang membuat papa memiliki Nadine!" teriak Fatma. Nadine baru saja sampai di rumah saat mendengar orang tuanya kembali bertengkar. Awalnya Nadine pulang untuk ganti baju. Siapa sangka dia malah mendengar perdebatan mereka. Dengan mengendap-endap Nadine berjalan ke lantai atas. "Berhenti mengungkit kesalahan papa, Ma. Papa sudah mencoba menjadi kepala keluarga yang adil, tapi mama dan Gionino tidak pernah memberi papa kesempatan kedua. Selain Nadine, apa papa sudah membuat kesalahan lain hingga mama dan Gio tega menghakimi papa seperti itu. Coba mama pikir, jika hotel di sita, lalu kita makan pakai apa? Bagaimana mama dan Gloria mencukupi kebutuhan kalian yang mewah? Coba sekali-kali mama gunakan otak untuk memecahkan masalah jangan cuma bisa membuat masalah." teriak Heru. Mendengar ucapan suaminya, Fatma naik darah. "Adil? Apa papa pikir papa sudah berbuat adil dengan membelikan apartemen buat Nadine? Lalu apa yang sudah papa beli untuk Gio dan Gloria? Apa anak papa cuma Nadine?" Heru meradang. "Jika kalian tidak berbuat kasar dan memojokkannya, papa juga tidak akan membeli apartemen itu untuk Nadine. Mama mau tau kenapa papa membelinya, itu karena papa kasihan Nadine selalu dimaki dan disudutkan karena kesalahan papa dan ibunya." Air mata Nadine jatuh mendengar ucapan ayahnya. Betapa ayahnya selalu disalahkan karena kehadiran Nadine. Tak mau ibu dan ayahnya terus bertengkar, Nadine masuk ke kamar dan mengambil surat kepemilikan apartemen yang diberikan ayahnya beberapa waktu lalu. Dengan pasti, Nadine menghampiri kamar Gio. Gio cukup kaget saat melihat Nadine berdiri di depan pintu kamarnya. Wajah gadis itu masih lebam. Sebelum Gio bicara, Nadine menyerahkan map yang dia bawa pada Gio. "Jika apartemen itu bisa membantu keuangan kita, maka jual saja. Aku akan mencari uang untuk menutupi sisa hutang papa." Tanpa menunggu jawaban Gio, Nadine kembali ke kamarnya. Apapun yang terjadi, dia akan mengembalikan hotel milik sang ayah. Hotel itu menyimpan kenangan antara ayah dan ibunya. Ibu Nadine adalah pegawai di hotel ayah Gio, dari sanalah kisah cinta mereka di mulai. Nadine bertekad, dia akan mempertahankan hotel itu apapun yang terjadi. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD