Episode 4

1290 Words
Episode 4 #Hujan, Ajarkan Aku Lupa Jalan yang salah Devan menghirup aroma Nadine dan menikmati sensasi aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Laki-laki itu sudah bersiap menggendong Nadine, saat dengan sigap seseorang mendahuluinya. "Sorry dia temanku." ucap Jordy sopan. Dengan berat, Devan melepaskan Nadine pada Jordy. Setelah Nadine berada dalam gendongannya, Jordy tersenyum ramah ke arah Devan dan mengucapkan terimakasih. "Siapa mereka?" tanya Devan pada Roger setelah Nadine dan Jordy menjauh. "Yang perempuan bernama Nadine, Bos. Kalau yang laki-laki namanya Jordy. Sejauh yang saya ketahui, mereka tidak punya hubungan apapun selain berteman." jelas Roger. "Jordy? Mereka pelanggan tetap? Sepertinya aku cukup sering melihat mereka disini." ujar Devan. Roger mengangguk. "Kalau tidak salah ingat, Nadine sudah jadi pelanggan kita sejak 2 tahun yang lalu Bos. Kalau Jordy, sepertinya dia hanya datang untuk menemani Nadine. Setiap kali Nadine mabuk, Jordy pasti datang dan membantu wanita itu. Setau saya, Jordy tidak pernah datang ke sini seorang diri." Devan manggut-manggut. Roger mendekat ke arah Devan saat dia mengingat percakapannya dan Nadine beberapa waktu lalu. "Kalau pak Bos tertarik, Nadine berencana menjual keperawanannya." bisik Roger. Mendengar ucapan Roger, Devan tersenyum senang. Laki-laki itu menulis pesan di selembar kertas dan memberikannya pada Roger. "Jika wanita itu benar-benar ingin menjual diri, berikan kertas itu padanya." ujar Devan. Roger mengangguk dan menyimpan kertas dari Devan dengan hati-hati. Roger yakin, Nadine pasti datang lagi. Saat gadis itu datang, Roger akan memberikan kabar baik itu padanya. Jika Devan menginginkan Nadine, maka uang sebanyak apapun pasti akan Devan berikan. *** Nadine masih sangat mengantuk saat mendengar bel apartemen berbunyi berkali-kali. Wanita itu sedikit terkejut ketika melihat Jordy tidur di ranjang yang sama dengannya. Ini memang bukan kali pertama mereka tidur berdua setelah mabuk. Tapi seingat Nadine, Jordy tidak datang tadi malam. Tak mau mengganggu tidur Jordy, Nadine bergegas ke ruang tamu. Sebelum membuka pintu, gadis itu merapikan sedikit penampilannya. "Dimana Jordy?" Begitu pintu terbuka, Laura, ibunya Jordy, langsung menanyakan keberadaan anaknya. Wajah Nadine memucat. Sebelum sempat mengatakan sesuatu, Laura menerobos masuk diikuti dua orang anak buahnya. "Jordy tidak disini Tan." ujar Nadine berbohong. Laura tidak menggubris ucapan Nadine. Wanita itu memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah apartemen Nadine. Wajah Nadine semakin pucat. Apalagi, tanpa bisa dicegah, Laura sudah membuka kamar gadis itu. "Jordy!?" teriak Laura. Jordy yang masih mengantuk, langsung berdiri begitu mengenali suara ibunya. "Ma-mami?" Jordy terbata. Laura naik darah. Seketika wanita paruh baya itu berbalik dan menampar wajah Nadine. "Kau!? Beraninya kau berbohong! Kau sengaja kan? Kau ingin menjerat anakku dengan tubuhmu kan? Dasar anak p*****r! Beraninya kau menggoda putraku!" Laura memukul Nadine tanpa henti. Jordy berusaha melindungi Nadine dari amukan ibunya sambil menjelaskan apa yang terjadi. Tapi Laura seperti tuli, wanita itu terus memukul Nadine dan meneriakkan kata-kata kasar. "Seharusnya sejak awal aku tidak membiarkan kau mendekati putraku. Anak p*****r sepertimu tentu saja akan mengikuti jejak ibunya. Dasar jalang! Kau tidak pantas dan tidak akan pernah pantas bersanding dengan Jordy, brengsek." Nadine diam saja. Gadis itu tidak melawan meski rambutnya sudah semrawut, sudut bibirnya berdarah, dan kakinya ngilu karena berkali-kali di tendang. Ibu mana yang tidak akan salah paham jika melihat keadaan mereka saat ini. Nadine mengenakan baju seksi yang semalam dipakainya ke night club dan Jordy cuma memakai boxer. Terlebih, Laura memergoki Jordy masih tidur di satu-satunya ranjang di apartemen Nadine. "Hentikan, Mi! Ini tidak seperti yang mami pikirkan. Kami mabuk, cuma itu." teriak Jordy. Laura berhenti. Wanita itu menatap tajam ke arah Jordy. "Kau berani membentak ibumu untuk membela perempuan sampah ini?" Jordy mendesah frustasi. "Please, Mi. Nadine bukan perempuan jalang atau perempuan sampah seperti yang Mami tuduhkan. Dia wanita baik-baik." Laura mendengus. "Wanita baik-baik? Jadi menurutmu wanita yang mengajak laki-laki menginap di apartemennya dengan pakaian seksi begini adalah wanita baik-baik?" "Hentikan, Mi! Cukup!" bentak Jordy. Laura menganga. Dia tak menyangka anak kesayangannya berani membentak seperti itu. "Ma-maaf Tante, aku yang salah. Aku berjanji pada Tante, ini adalah terakhir kalinya kami bertemu." Nadine menengahi pertengkaran ibu dan anak tersebut. Bagaimanapun dia juga salah. "Kau sudah sering mengucapkan itu, Nadine. Kali ini, dari pada berjanji, aku ingin kau melakukan satu hal." Jordy menatap ibunya curiga. Nadine yang sudah tidak punya pilihan, mengangguk dan menyanggupi apa yang diinginkan Laura. "Pergilah dari kota ini sejauh yang kau bisa, dengan begitu aku baru percaya kalau kalian tidak akan bertemu lagi. Jika kau tidak segera mengikuti keinginanku, siap-siap saja hotel keluarga kalian akan tinggal nama." ancam Laura. "Mami apa-apa sih? Aku yang menemui Nadine, aku yang datang padanya. Dia tidak menggodaku, aku yang menyukainya. Kalau mami memang suka menghukum, hukum saja aku." Jordy mencoba membela Nadine. Berbeda dengan Jordy, Nadine masih berusaha bersikap tenang. "Beri aku waktu Tante, jika hotel papa sudah dalam kondisi stabil, aku janji, aku akan segera pergi." ucap Nadine. Laura mendengus. "Kali ini akan ku lihat sampai dimana kesungguhan mu." Laura memaksa Jordy memakai pakaiannya. Wanita itu bahkan memerintahkan anak buahnya untuk menyeret Jordy meninggalkan apartemen Nadine. Sepeninggal mereka, Nadine menangis. Sejak tadi dia menahan diri untuk tidak terlihat lemah di mata siapapun. *** "Apa selain jadi anak jalang, kau juga jadi anak berandalan?" sindir Fatma saat melihat Nadine pulang dengan wajah lebam. Bukannya khawatir, Fatma malah senang melihat kondisi gadis itu. Gloria dan Gio yang kebetulan belum pergi, menatap miris melihat kondisi Nadine. "Kakak terlibat kecelakaan lalulintas?" tanya Gloria. Nadine mengabaikan sindiran-sindiran dari keluarganya. Gadis itu bergegas ke lantai atas dan masuk ke kamar. Bagi Nadine, kamar adalah tempat paling aman untuk menyembunyikan diri. Sesaat Nadine memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Sangat mengenaskan. Sudut bibir bengkak dan ujung pipi yang membiru. Tak mau pusing, Nadine menuju kamar mandi guna membersihkan diri. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Lagi-lagi dalam guyuran air, Nadine menangis. Menangisi nasib malang karena kesalahan kedua orang tuanya. Baru saja selesai mandi, pintu kamar Nadine di ketuk. Dengan hanya menggunakan handuk, Nadine membuka pintu. Nadine pikir pembantu mereka yang datang. Diluar dugaan, yang berdiri di ambang pintu kamarnya adalah Gionino, orang yang selalu mencari gara-gara dengan gadis itu. Sesaat pandangan mereka bertemu. Tapi kemudian Nadine membuang muka dan membiarkan pintu tetap terbuka. Tanpa diminta, Gio masuk ke kamar Nadine. "Aku sedang tidak punya tenaga untuk bertengkar, Gio." ucap Nadine malas. Dengan pelan, Nadine mengoleskan anti lebam ke tulang kakinya. Gio memperhatikan kegiatan Nadine dengan tangan terlipat di d**a. Laki-laki itu mengerutkan kening saat menyadari banyak lebam di tubuh Nadine. Terutama di bagian tangan dan kaki. Karena Nadine cuma menggunakan handuk, Gio bahkan bisa melihat lebam di bahu gadis itu. "Kau berkelahi?" tanyanya ingin tau. "Kenapa? Kau khawatir? Cih, tertawa saja jika kau ingin tertawa. Itu lebih masuk akal." sindir Nadine. Gio merebut obat di tangan Nadine dan duduk di ranjang gadis itu. Dengan gerakan cepat, Gio menarik kursi Nadine hingga menghadap ke arahnya. Dengan lembut, Gio mengoleskan obat ke bahu Nadine. "Aku tidak suka menertawakan lawan yang jatuh karena orang lain, Nadine. Aku akan tertawa jika kau jatuh dan terluka karena ulahku." balas Gio. Nadine mendengus tapi tetap membiarkan Gio membantunya. "Apa kau cari mati? Jika mama melihatmu bersikap baik padaku, dia pasti akan mengamuk." ujar Nadine. "Bukankah kau tau kalau dia tidak pernah masuk ke kamar ini?" ucap Gio tenang. Nadine menunduk sedih. Benar kata Gio, sejak 11 tahun Nadine tinggal di rumah ayahnya, tak sekalipun Fatma menginjakkan kaki di kamar Nadine. Seolah-olah kamar Nadine adalah tempat terlarang yang tidak boleh dia masuki. Berbeda dengan Gio, walaupun mulutnya pedas, diam-diam Gio membantu Nadine jika gadis itu sedang dalam kondisi paling terpuruk seperti saat ini. Nadine tersadar dari lamunan saat tangan Gio beralih menyentuh sudut bibirnya. Saat Nadine meringis dan memegang tangan Gio, laki-laki itu refleks meniup sudut bibir Nadine. Jarak mereka seketika sangat dekat. Pandangan mereka bertemu. Saat sadar masih memegang tangan Gio, Nadine melepaskannya dan berpaling menatap ke arah lain. "Kau mau tau kenapa aku babak belur seperti ini?" tanya Nadine pelan. Gio tak menanggapi, laki-laki itu dengan hati-hati kembali mengoleskan obat ke sudut bibir Nadine. "Karena anak wanita jalang ini disalahpahami tengah menggoda putra seorang anak konglomerat." lanjut Nadine pelan. "Jadi ku mohon, sebelum mama salah paham dan menimbulkan luka lain di tubuhku, sebaiknya kau keluar Gio." usir Nadine halus. Semula Gio mengabaikan ucapan Nadine, tapi setelah melihat wanita itu menangis, Gio mengalah dan meninggalkan Nadine sendiri. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD