bab 5

1330 Words
"Papa kok baru pulang?" tanya Abraar, bocah berusia lima tahun itu baru saja melompat ke gendongan sang ayah yang di sambutnya dengan berlari kecil dari dalam rumah. Seperti biasa sang ibu menatap hal itu dengan penuh kebahagiaan dari teras karena sang suami pasti akan menggendong sang putra mendekatinya. "Iya, jagoan, Papa banyak kerjaan hari ini makanya Papa lembur. Jagoan Papa sudah makan?" tanya Samuel sambil melangkah menuju pintu masuk rumah di mana Meisya menunggu sambil melipat tangan di depan d**a, wanita itu tersenyum melihat sang suami berjalan mendekat dengan begitu gagah perkasa Samuel menggendong sang putra dengan satu tangannya. "Belum, kan aku sama Mama lagi nungguin Papa, aku mau makan bareng sama Papa," jawab Abraar dengan celotehan cerianya. "Oke, ayo kita makan bareng. Tapi papa mau cium Mama dulu," jawab Samuel yang lalu mencium kening Meisya yang menyambut sang suami dengan pelukan, wanita itu tersenyum lebar lalu merangkul pinggang sang suami begitu pula yang lelaki itu lakukan mereka berjalan memasuki rumah. "Papa cium Mama terus," protes Abraar membuat ayah dan ibunya itu tertawa kecil tetapi juga merasa malu karena tidak menyangka akan mendengar kata itu dari putra mereka. "Kan itu karena Papa sayang sama Mama, kita adalah keluarga maka pelukan dan ciuman itu tanda sayang. Kalau peluk dan cium orang lain yang tidak dekat dengan kita, itu baru enggak boleh, enggak sopan," kata Samuel memberi pengertian pada sang putra sekaligus mengajarinya cara menjaga diri dari hal yang tidak boleh dilakukan orang lain padanya. "Kalau begitu aku juga mau cium Mama, aku kan sayang Mama," kata Abraar sambil merentangkan tangannya meminta sang ibu mendekat. "Iya, Sayang, Mama juga sayang sama kamu," jawab Meisya membiarkan sang putra mencium pipinya, Meisya lalu membalas mencium pipi sang putra dengan gemas. "Mama sayang Papa?" tanya Abraar setelah puas menciumi pipi gembil sang putra. "Sayang, dong," jawab Meisya cepat. "Kok enggak cium Papa?" tanya Abraar dengan polosnya spontan Samuel menatap sang istri dengan ekor alis yang ia naik turunkan, Meisya menahan tawa lalu menciumi pipi sang suami sambil berjalan. "Udah, yuk, makan dulu terus Mama temenin kamu belajar," kata Meisya saat mereka sudah sampai di ruang makan, Samuel menurunkan sang putra di depan kursi yang biasa ia duduki. "Mama masak apa?" tanya Samuel sembari menarik kursi lalu duduk di tempatnya. "Rawon," Jawab Meisya sambil mengisi piring sang suami dengan nasi. "Pake resep restorannya Naka?" tanya Samuel dengan wajah berbinar-binar. "Iya, dong, itu kan resep andalan aku buat bikin rawon," jawab Meisya sambil tertawa. "Kalo gitu nasinya tambahin, masakan kamu pasti enak. Bahkan lebih enak dari yang ada di restorannya Naka," kata Samuel penuh semangat lelaki itu seolah tidak sabar untuk menikmati makan malamnya, "kayaknya ide bagus kalau kita buka restoran rawon juga pasti bakal lebih laris dari restoran Naka." kata Samuel dengan candanya, lelaki itu menerima piring yang sudah Meisya isi dengan lebih banyak nasi itu. "Kalau mas Naka dengar apa yang Kak Sam bilang ini, Pasti dia akan ngomel sambil malang kedek gini nih!" kata Meisya sambil menirukan gaya Naka saat marah sambil bertolak pinggang, Abraar tertawa melihatnya begitu juga dengan Samuel. "Udah, udah ah. Malah ketawa-ketawa mau makan," kata Meisya yang lalu mengambilkan nasi untuk putranya baru untuk dirinya sendiri. "Mama yang mulai, iya, kan, Nak?" tanya Samuel pada Abraar mencari pembelaan. "Iya, Mama yang ikut-ikutan gayanya Pakde Naka," jawab Abraar sambil tertawa. "Iya, ya udah jangan di omongin terus nanti orangnya bisa keselek kalau lagi makan," kata Meisya mencoba menghentikan tawa mereka. "Kalau Pakde Naka-nya lagi jalan?" tanya Abraar sambil menatap sang ibu yang sudah duduk tenang di kursinya. "Ya paling kesandung," jawab Samuel cepat, lelaki itu dan sang putra kembali tertawa membuat Meisya tidak tahan untuk tidak tersenyum geli. "Udah, ayo mulai makan, Papa pimpin doanya," titah Meisya membuat kedua lelaki tersayangnya itu berusaha berhenti tertawa, Samuel dengan khidmat membaca doa sebelum makan lalu mereka bertiga menghabiskan makan malam mereka dengan tenang. Makan malam kali ini telah usai, Samuel tersenyum melihat sang putra makan dengan lahap sebenarnya bukan hanya sekedar menikmati momen menatap sang putra dengan lekat yang membuat Samuel diam tetapi juga karena perutnya merasa kekenyangan hingga rasa kantuk menggelayuti matanya. "Pa, Papa jangan langsung tidur loh, mandi dulu! Mama mau nemenin Abraar belajar," kata Meisya yang mengetahui kalau sang suami sudah mulai mengantuk. "Iya, kalau Papa abis makan terus langsung tidur nanti perut Papa buncit kayak Pak Sugino loh," kata Abraar sambil tertawa kecil, bayangan sang Papa yang berperut buncit seperti tetangga mereka melintas di benak bocah itu hingga membuatnya tertawa. "Enak aja, Papa enggak mungkin lah gendut kayak Pak Sugino, Papa kan rajin olah raga, nanti juga Papa mau olah raga karena Papa abis makan banyak," jawab Samuel sambil melirik sang, tetapi wanita itu malah mendelik padanya. "Sayang, ayo kita kerjain tugas yang ibu guru kasih. Biar Papa mandi dulu," ajak Meisya pada sang putra wanita itu menunggu Abraar bangun dari duduknya lalu bersama-sama menuju kamar bocah itu di lantai dua. "Iya, sana mandi, Pa. Papa bau," kata Abraar sambil tertawa, Samuel juga ikut tertawa lelaki itu menatap bagaimana bocah itu dan sang ibu berkejaran dengan ceria. Itu lah yang membuat Samuel mengusahakan selalu makan malam di rumah, karena di saat berkumpul bersama dengan keluarga adalah kebahagiaan yang sesungguhnya bagi dirinya hingga ia selalu berusaha menyempatkan untuk berkumpul dengan anak dan istrinya sebanyak waktu mungkin. *** Meisya menatap ke arah pintu kamar Abraar yang perlahan terbuka lali tersenyum melihat sang suami yang sudah selesai mandi dan mengenakan setelan piyama berwarna biru memasuki kamar itu. "Papa, bacain aku buku cerita," pinta Abraar yang sudah berada di bawah selimutnya dengan sang ibu yang bersandar di sebelahnya dengan memegang sebuah buku cerita bergambar. "Iya, Sayang. Sini Papa yang bacain ceritanya," jawab Samuel yang lalu mengambil alih buku itu dari tangan sang istri. Samuel duduk di tepi ranjang sambil memegang buku, tatapan penuh cinta ia berikan pada Abraar dan Meisya yang sudah berbaring sambil memeluk tubuh mungil sang putra. Wanita itu menatap lekat wajah sang suami yang begitu di cintanya, saat ini dan Meisya jamin selamanya Samuel adalah dunianya di mana semua kebahagiaan berada di setiap hembusan nafasnya. "Pada jaman dahulu, ada seorang pangeran yang begitu mencintai permaisurinya seperti Papa mencintai Mama," kata Samuel mulai membacakan buku cerita untuk sang putra, tentu saja dengan kalimat yang ia tambah sendiri sesuai isi hatinya yang memang begitu mencintai sang istri. Bahkan hati dan pikirannya sendiri juga tidak pernah mengira bahwa dia bisa mencintai Meisya sedalam dan sebesar itu. Meisya mengulum senyum mendengar apa yang Samuel katakan, setiap bait kata yang tertoreh dalam buku cerita itu selalu ia sisipi ungkapan betapa lelaki itu mencintainya. Bukan hanya Abraar yang terbuai dengan kisah yang Samuel baca tetapi juga Meisya tetapi bedanya Abraar sudah terlelap dalam tidurnya sementara Meisya masih terpukau menatapnya, bahkan kini kedua tangan mereka saling bertautan erat di atas tubuh sang putra yang sudah terbuai dalam mimpi indahnya. "Sayang, i love you," kata Samuel setengah berbisik karena tidak ingin suaranya membangunkan sang putra. "I love you too," jawab Meisya juga dengan berbisik, lelaki itu mencondongkan tubuhnya lalu mengecup tangan sang istri dengan lembut. Samuel menarik tangan Meisya usai mengecupnya lalu bangun dari duduknya mengajak wanita itu keluar kamar sang putra. "Sayang, aku udah bilang belum sih sama kamu?" tanya Samuel sambil memeluk sang istri dari belakang, wanita yang sedang menutup pintu kamar Abraar dari luar itu mengerutkan keningnya memikirkan apa yang suaminya itu maksud. "Bilang apa?" tanya Meisya sambil menolehkan kepala agar bisa menatap sang suami. "Bilang kalau aku cinta sama kamu," jawab Samuel datar, Meisya tersenyum lebar mendengarkannya. "Em ... mungkin belum untuk keseratus kali hari ini," jawab Meisya, sang suami semakin erat memeluk. "Itu enggak akan cukup, bahkan seribu kali sehari juga enggak akan cukup," kata Samuel sebelum mencium leher jenjang sang istri, lelaki itu lalu melepaskan pelukannya dan membopong tubuh Meisya dengan sekali angkat, spontan wanita itu melingkarkan tangannya di leher sang suami karena takut terjatuh. "Kak Sam, aku bisa jalan sendiri," kata Meisya saat sang suami sudah mulai berjalan menuju kamar mereka. "Kan udah aku bilang aku harus olahraga, olahraga sampe pagi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD