bab 4

1017 Words
"Lari! lari!" segerombolan pemuda itu sontak berlari meninggalkan gadis yang tengah berdiri pojokan, rasa takut membuatnya gemetar dengan air mata yang terlihat membasahi pipinya. Para pemuda berandalan yang kerap nongkrong di lampu merah itu pergi begitu saja, tampaknya mereka memang tidak ingin mencari masalah dengan Samuel karena mereka tahu justru Samuel lah yang bisa membuat mereka berada dalam sebuah masalah. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Samuel sambil berjalan mendekati Jenar yang masih tetap berada di tempatnya seolah sedang berusaha mengumpulkan nyalinya yang sempat buyar. "Aku enggak apa, untung ada Bapak, aku enggak tau bagaimana jadinya kalau bapak enggak dateng," kata Jenar, gadis itu mengusap air mata yang tiba-tiba meluncur lagi saat membayangkan bisa saja para preman itu berbuat lebih buruk lagi pada dirinya jika saja Samuel tidak datang, "terima kasih, Pak. Terima kasih sudah menolong saya." Jenar berjalan mendekati Samuel, atau lebih tepatnya menjauhi lorong sepi di mana para pemuda itu memojokkannya tadi. "Kok kamu bisa di sini sama mereka? Apa yang mereka lakukan pada kamu?" tanya Samuel lelaki itu membimbing langkah Jenar untuk berjalan ke tempat parkir kantor di mana mobilnya berada. "Tadinya saya mau pulang. Buat ke daerah rumah saya, saya harus naik angkot dari lampu merah depan sana. Saya jalan kaki ke sana dan ketemu mereka. Mereka minta uang, tapi karena saya enggak punya uang lagi daripada saya enggak bisa bayar angkot akhirnya saya lawan mereka dan lari ke arah kantor lagi, tapi mereka berhasil ngejar dan bawa saya ke sana. Mereka marah dan mau berbuat macem-macem sama saya," terang Jenar dengan suara yang masih jelas terasa ketakutan, Samuel menghela napas berat, kesal pada perbuatan para pemuda itu juga karena merasa iba mendengar apa yang Jenar katakan. "Rumah kamu di mana?" tanya Samuel, lelaki itu hanya diam setelah mendengar Jenar menyebut sebuah tempat yang memang lumayan jauh dari tempat itu, tempat yang tidak begitu jauh dari lampu merah di mana Samuel melihat Jenar berjualan kerupuk. "Ya udah, kamu pulang naik taksi aja ya dari pada kamu di gangguin mereka lagi," kata Samuel spontan Jenar menatapnya kaget. "Yang saya cuma cukup buat bayar angkot Pak, enggak apa-apa kok mereka udah takut sama Bapak tadi. Mereka pasti enggak akan gangguin saya lagi," kata Jenar gadis itu berusaha tersenyum meski perasaannya masih tidak karuan. "Enggak apa, ini udah mau malam juga, kamu telat pulang kan karena di kantor banyak kerjaan tadi," kata Samuel sambil mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya, "ini uang itung-itung honor kamu lembur, kamu bisa naik taksi pake yang ini." "Tapi, Pak. Enggak usah, aku enggak bisa terima uang itu teman-teman saya lembur juga tapi enggak dapet uang nanti mereka ngiri sama saya," kata Jenar dengan lugunya, Samuel tersenyum mendengarnya. "Teman-teman kamu enggak perlu tau, sekarang saya tanya. Teman-teman kamu di mana sekarang?" tanya Samuel pada gadis yang berdiri dengan sedikit membungkukkan badan di depannya. "Mereka udah pada pulang, mereka di jemput orang tuanya," jawab Jenar lirih. "Nah kan, mereka lebih beruntung dari pada kamu, mereka enggak perlu ngerasain naik angkot, enggak perlu ketakutan di gangguin preman. Jadi mereka juga enggak perlu tau kamu dapet uang tip dari saya karena kamu udah lembur hari ini," kata Samuel sambil kembali mengulurkan yang itu pada Jenar, agak ragu tetapi akhirnya gadis itu mau juga menerimanya. "Terima kasih, Pak, ini adalah uang tip karena saya sudah kerja lembur. Saya janji besok saya akan datang lebih awal dan kerja lebih giat. Saya memang tidak seberuntung teman-teman saya, saya tidak memiliki orang tua seperti mereka tapi itu bukan alasan bagi saya untuk meminta di kasihani. saya akan bekerja lebih keras lagi," jawab Jenar dengan penuh keyakinan, Samuel hanya tersenyum lalu meninggalkan gadis itu memasuki mobilnya. Kata-kata terakhir Jenar sungguh membuat Samuel kagum, dia adalah gadis yang gigih dan kuat. Jenar menatap yang lembaran berwarna merah muda di tangannya lalu tersenyum tipis penuh makna juga penuh rasa syukur karena bertemu dengan orang baik seperti Samuel, gadis itu melangkah cepat setelah memasukkan uang itu ke dalam saku kemejanya. Ia mengumpulkan keberaniannya untuk kembali berjalan ke lampu merah dan menunggu angkot di sana berharap pemuda yang mengganggunya tadi tidak berada di sana atau paling tidak mereka merasa takut untuk menggangu Jenar lagi. *** "Mbok, lagi apa?" tanya Jenar pada perempuan tua yang sedang duduk memotongi tempe menjadi kotak-kotak kecil untuk dia masak menjadi tempe orek nanti. Wanita yang selalu Jenar sapa simbok itu berseri-seri melihat kedatangan sang cucu, bukan tanpa alasan Jenar memangil wanita itu simbok, panggilan yang umumnya di berikan pada seorang ibu. Itu semua karena sejak kecil hanya sang neneklah yang merawat Jenar. Hanya Simbok Martinah yang Jenar miliki. "Kamu kok baru pulang, Nduk?" tanya Wanita yang seluruhnya kulit tubuhnya sudah mengendur termakan usia itu karena memang Jenar begitu terlambat pulang. "Iya, Mbok, tadi Jenar harus lembur di kantor." Gadis itu lalu duduk di sebelah sang nenek yang duduk di atas tikar rumah sangat sederhana milik mereka, sebuah rumah yang terbuat dari bilik triplek tempat Jenar tumbuh dari bayi hingga remaja kini, "tapi, Jenar punya ini buat Simbok." Jenar mengeluarkan selembar uang seratus ribuan yang tadi Samuel berikan dari sakunya, wajah Mbok Nah terlihat gembira melihat uang itu. "Wah, banyak sekali, Nduk," kata Mbok Nah sambil mengelus bahu sang cucu. "Iya, ini honor tambahan karena aku udah kerja lembur. Ini buat Simbok," kata gadis cantik itu sembari memberikan uang itu pada sang Nenek. "Kamu simpan saja, ini kan uang kamu, bisa kamu pakai buat keperluan kamu, Nduk," tolak Mbok Nah dengan lembut. "Simbok pakai aja buat keperluan Simbok, nanti Jenar kerja lagi," kata Jenar meyakinkan, gadis itu tahu kalau sang nenek punya banyak keperluan, uang hasil berjualan nasi uduk setiap pagi hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari saja, di tambah lagi Jenar tahu sang nenek selalu menyisihkan uang untuk keperluan sekolahnya. "Ya sudah, kalau begitu kamu mandi, makan terus istirahat kamu pasti capek kan," kata Mbok Nah dengan lembut, Jenar tersenyum menatap wajah wanita yang begitu di sayangnya itu. "Jenar mau mandi, makan, terus ambil kerupuk buat di jual di lampu merah Mbok. Istirahat kan bisa nanti malam!" jawab Jenar dengan penuh semangat. Itulah dia, Manika Jenar Pratiwi seorang gadis yang hidup penuh kemalangan tetapi juga penuh semangat berjuang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD