After Marriage 16

1441 Words
Seperti habis diterbangkan ke langit ke-7 lalu di jatuhkan begitu saja. Sakit rasanya -Freya Binar Abigail === Daffa menghisap dalam-dalam rokok yang ada di tangannya. Ini adalah kali pertama ia kembali menjamah rokok setelah hampir 6 tahun tidak menyentuh rokok. Daffa terlihat pusing. Obrolannya dengan Rifki beberapa hari lalu mengganggunya. Rifki bilang, dirinya tidak mencintai Reya. Tapi hei siapa Rifki? Yang tau cinta atau tidaknya hanyalah dirinya sendiri. Lagipula Reya orang yang imut untuk ukuran wanita berumur 24 tahun, jadi tidak ada salahnya juga Daffa mencintainya. Tapi kenapa Rifki berpikir bahwa Daffa tidak mencintai Reya? Daffa menatap ke sekeliling. Sudah sepi. Ia melirik jam G-Shock hitamnya ditangan kiri. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.24 dini hari. Pantas saja sepi. "Mas satenya udah?" Tanya seorang pedagang sate yang tempatnya disinggahi Daffa malam ini. Daffa tersenyum, lalu memberikan piring itu kepada si bapak sate. Si bapak sate kembali ke gerobak satenya. Lelaki tua itu terlihat mencuci piring dan gelas bekas Daffa. Setelahnya ia menghampiri Daffa kembali. "Ada apa pak?" Si bapak sate tersenyum. "Saya dulu punya anak laki-laki, umurnya diatas kamu kayanya." "Ooh bapak punya anak laki-laki?" Si bapak sate tersenyum ke arah Daffa. Memandang laki-laki itu dengan mata berbinar-binar. "Iyaa. Dulu sekali, sebelum anak bapak pulang dia juga sering kesini." "Pulang?" "Ke surga mas." Daffa menatap tidak enak kepada bapak sate dihadapannya. "Eh maaf pak, maaf saya ngga tau kalo anak bapak udah ngga ada," "Ngga papa mas. Lagi pula saya udah ngga papa kok!" Beberapa menit mereka saling diam. Si bapak sate itu memperhatikan Daffa yang sedang tertunduk. Sebenarnya tujuan bapak sate itu menghampiri lelaki tampan ini adalah ; untuk menanyakan perihal yang menggangu nya. Sebab, sejak Daffa masuk ke dalam tenda sate miliknya, lelaki itu seperti sedang memikul sesuatu. "Mas ada masalah?" Daffa mengangkat kepalanya lalu tersenyum menatap si bapak. "Nggak pak. Saya baik-baik aja kok." "Mata sama sikap mas menunjukan hal sebaliknya yang mas katakan ya," si bapak cengengesan.  Daffa tertegun. Seterlihat itukah? Jika bapak sate didepannya saja sudah mengenali jika ia memiliki masalah, bagaimana dengan istrinya? "Bapak-kenapa bisa nebak kayak gitu?" "Saya ngga nebak mas. Wong dari tadi masnya diem aja, saya jadi berinisiatif buat nyamperin sampean." Daffa menganggukan kepalanya. Jarinya saling meremas. "Bapak bener, saya emang lagi ada masalah." "Masnya mau cerita? Kalo iya, silahkan aja. Nanti saya pesenin kopi. Anggap aja ini tanda persahabatan mas sama saya, gimana?" Dan tawaran si bapak sate itu tidak bisa tidak di ambil oleh Daffa. Maka dari itu, Daffa menceritakan ringkas kejadian yang dialaminya. *** Nara terlihat sedang menuang agar-agar ke dalam cetakan. Hari ini Daffa dan Reya berencana akan kerumah. Maka dari itu, wanita yang masih tetap cantik diusia nya yang tidak lagi muda itu membuat agar-agar untuk mereka. Rayyan memeluk Nara dari belakang. Lelaki itu mencium pipi bundanya. "Pagi bundaaa!" "Pagi juga dek!" Rayyan melepas pelukannya. Lalu berjalan ke arah kulkas dan mengambil sebotol cola dingin. "Masih pagi dek, jangan cola terus!" Rayyan nyengir kuda mendengarnya. Lalu mengacungkan jarinya peace out. "Sekali doang bunda. Kata ayah gapapa kok," "Maksud ayah ngga kayak gitu dek. Boleh minum cola, tapi jangan pagi-pagi juga atuh!" "Iya-iya deeh," Rayyan mendekati Nara lagi. Cowok itu melihat apa yang sedang dibuat Nara pagi-pagi seperti ini. "Banyak amat bun. Mau ada acara apaan emang?" "Nanti Aa sama kak re mau kesini. Makanya bunda bikin ini. Kamu ga mandi?" Nara menatap anak bungsunya. Anak bungsunya ini terlalu malas. Malas mandi, malas belajar dan suka main. Nara jadi bingung, padahal dulu anaknya ini tidak pernah seperti itu. "Nggak ah nanti aja, emang si Aa jam berapa kesini?" Rayyan mengambil camilan di atas lemari makan. "Ngga tau bunda belum w******p lagi. Coba aja sama kamu dek!" *** Daffa memperhatikan Reya yang sedang menyisir rambutnya. Percakapannya dengan si bapak sate tadi malam, tiba tiba saja terlintas di benaknya. "Tentukan pilihan mu sekarang mas. Jangan lagi kayak gitu, istrimu pasti sakit hati melihatnya. Apalagi dia sedang hamil anak kalian. Saya pernah menemani istri saya melahirkan dan itu membuat saya sakit hati dan berfikir kenapa saya bisa menghamilinya jika membuatnya sakit saat persalinan." Daffa menarik napas. Ia mendekati Reya. Lalu memeluknya dari belakang. Daffa mencium bahu Reya. "Udah belum? Yukk nanti macet kalo siang-siang," kata Daffa. Reya membalikkan tubuhnya lalu mencium pipi Daffa. "Udah ayah!" Daffa tersenyum lalu menggandeng tangan Reya untuk keluar. *** Caca mematut dirinya di depan kaca di kamar Dita, anaknya. Dita terlihat cantik memakai bando ungu dengan aksen pita-pita kecil di bagiannya. Dita menarik dress Caca, membuat Caca menoleh menatap anak manis itu. "Apa sayaang?" "Dita udah cantik kan Ma?" Caca tersenyum lembut lalu mengusap poni Dita didepan bandonya. "Udah dongg! Anak Mama kan selalu cantik!" "Kayak Mama ya Ma?" "Iyaa dongg!" Dita memeluk leher Caca, "Dita sayang Mama." "Mama juga sayang Dita!" *** Nara membukakan pintu, wanita itu terlihat kaget karna melihat siapa yang datang. "Caca?!" Pekik Nara. Caca tersenyum lalu menyalimi tangan Nara. "Assalamualaikum bunda!" "Wa'alaikumsalam nak. Ayo sini masuk!" Ajak Nara. Caca mengajak Dita untuk masuk mengikuti Nara ke dalam. Nara mempersilahkan Caca dan anaknya untuk masuk ke dalam rumah. "Tumben kamu kesini. Udah lama ya ngga main. Kamu apa kabar?!" Kata Nara sembari duduk di sofa empuk di ruang tamu. "Hehehe iya bunda, ngga enak kalo dateng kan aku udah bukan siapa-siapanya Aa lagi. Baik kok Bun, bunda apa kabar?" "Alhamdulillah bunda baik," kata Nara. Wanita itu tidak menanggapi perkataan Caca yang menyinggung soal Daffa. Nara melihat ke arah Dita, anak itu sedang duduk manis di samping Caca. "Ini anak kamu, ya?" "Iya bunda," kata Caca. Caca mengusap rambut Dita. Dita tersenyum menatap Nara. "Salim sama bunda Nara sayang," suruh Caca. Nara agak terkejut. Bukan bermaksud apa-apa hanya saja Nara agak tidak nyaman dengan panggilan yang diberikan Caca untuk dirinya kepada Dita. Pun begitu Nara tetap tersenyum. Wanita itu mengusap kepala Dita. "Namanya siapaa?" "Aku Dita, bunda." Jawabnya. "Wah Dita, namanya bagusss banget!" Kata Nara. "Makasih bundaaaaa!" *** Daffa turun dari mobil bersama Reya. Lelaki itu mencium dahi Reya sebelum masuk ke dalam rumah. "Pelan-pelan sayang, agak licin ini." Kata Daffa. Reya tersenyum. Lalu memegang lengan Daffa. Daffa melepas tangan Reya dari lengannya, lalu menggenggam tangannya. Daffa tersenyum sekali lagi, lalu mencium punggung tangan Reya. "I love u," "Love u too!" Balas Reya. Mereka berjalan pelan dari garasi menuju pintu. Daffa langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. "Assalamualaikum!" Daffa menarik Reya menuju ruang tamu. Gerakannya terhenti ketika melihat Caca duduk dengan manis di sofa depan bundanya. Apalagi bersama dengan-Dita? Nara bangkit ia buru-buru menghampiri mereka. Ketika netra Daffa bersibobrok dengan netra coklat milik Caca, Daffa refleks melepaskan genggaman tangannya bersama Reya. Reya menunduk menatap ujung flatshoesnya. Lagi. Ia merasa asing. Tapi secepat kilat, Reya berusaha mengangkat wajahnya agar tidak terlihat menyedihkan di hadapan semuanya. Calon Mama muda itu langsung menyalami ibu mertuanya. Suasana menjadi agak canggung. Hingga Dita berdiri menghampiri Daffa untuk memeluk betis laki-laki itu. "Om Daffa!" Daffa tersenyum, ia mengangkat Dita kegendongannya. Lalu mendekati Caca. Itu semua tidak luput dari pandangan Nara dan Reya. Nara mengusap punggung Reya. Ia mengerti bagaimana perasaan menantunya. "Lho mantu ayah kapan dateng?" Raka turun dari atas dengan kaus santai dan celana pendek. Pria itu menyaksikan semuanya. Ia menggeleng pelan ketika tau bahwa Reya ada bersama Nara.  Raka menatap tidak suka ke arah Caca dan anaknya. Sebenarnya Raka masih biasa saja jika Daffa tidak berlaku seperti itu terhadap istrinya. Tapi lihatlah? Daffa bahkan bersikap seperti seorang pembrengsek dihadapannya. Reya mencium punggung tangan Raka, "barusan yah," "Kamu datang sendiri?" "Haah? Nggak kok aku sama Aa," "Oalah, tapi ayah liatnya kamu sendiri sih jadi dikirain sendirian." Sindir Raka. Daffa masih tidak sadar. Ia masih didepan Caca dengan Dita yang ada di gendongannya. Tiba-tiba Rayyan turun dari kamarnya dengan membawa 3 batang coklat. Cowok berkumis tipis itu menghampiri Reya dan memberikan kakak iparnya coklat. "Nih buat calon Mama muda!" Kata Rayyan sambil terkekeh. Cowok itu menatap Daffa dan Caca dengan pandangan 'menganjing-anjingkan' keduanya. Raka menarik napas. Ia masih tidak mengerti, kenapa mantunya masih begitu sabar ketika melihat suaminya lebih pro kepada wanita masalalunya? Raka menarik Nara untuk ke kamar mereka, tinggal lah Rayyan, Reya, Dita, Caca, dan Daffa disana. Masih dengan Daffa dan Caca yang saling berhadapan. Mereka terlihat tertawa sekarang. Rayyan mengepalkan tangannya. Rayyan mengaku ia memang b******n. Tapi Rayyan tidak suka melihat pemandangan ini. "Ry ngerti sekarang kenapa kakak ngga mau jawab telpon Aa waktu itu. Ry udah bilang Ry siap jadi tameng kakak kalo kakak butuh. Dan sekarang Ry bakalan jadi tameng kakak!" Rayyan berbisik di telinga Reya. Reya mengerjapkan matanya, air mata sudah mengalir dari mata nya. "Jangan nangis kak, ayo kita pergi." Rayyan menarik tangan Reya pelan. Membawanya pergi dari ruang tamu. Demi Tuhan, Rayyan akan memberi Aa jamuan nanti. Lihat saja. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD