Biarlah hati ku masih dimilikinya, asal jangan tubuhku. Karna itu akan lebih menyakiti hati kamu. -Daffa Malik
===
Rayyan menatap Reya yang sedang menundukkan kepalanya. Reya menghapus air matanya, lalu memegang lengan Rayyan. "Ry ngadep sana kakak malu,"
Rayyan mengerutkan dahinya. "Kenapa kak?"
"Aku nangis, aku malu."
Rayyan terkekeh. Tapi cowok berkumis tipis itu tetap menuruti apa yang diinginkan Reya. Reya mengangkat wajahnya. Lalu membersihkan sisa air matanya. Wanita itu, tadi menangis cukup lama. Hingga Rayyan merasa sakit sendiri karna mendengar tangis pilu Reya.
"Udah kak?"
"Udah kok."
Rayyan membalikkan badannya. Lalu menatap Reya. Ia tersenyum, sambil memegang bahu Reya. "Udah jangan nangis ya kakak ipar! Nanti Aa biar Ry yang urus."
"Kamu mau ngapain? Jangan gelut sama Aa Ry."
Rayyan hanya tersenyum, membuat reya menatapnya cemas. "Jangan berantem sama Aa Ry. Kakak nggak mau liat kamu berantem sama Aa!"
"Kakak nggak usah khawatir, aku sama Aa udah biasa kok kayak gitu. Jadi kakak santai aja oke?"
Reya mengangguk. Rayyan tersenyum, lantas mengusap rambut Reya. Menikmati halus dari rambut kakak iparnya yang tergerai di punggungnya.
***
Daffa menatap punggung Reya dari belakang. Istrinya lebih banyak diam hari ini. Daffa tidak tau ia melakukan kesalahan apa lagi sehingga membuat Reya mendiamkan nya seperti ini. Daffa menyalimi tangan Nara lalu Raka, ditatapnya kedua orang tuanya tersebut. Raka menatap Daffa, pria itu sedikit menarik tangan Daffa pelan.
"Temuin ayah besok malem di wedang's A," kata Raka. Daffa menatap ayahnya. Ada aura berbeda kali ini. Pun meski begitu Daffa tetap mengangguk.
Bunda Nara menatap Daffa, lalu memeluk tubuh jangkung putranya. Nara menepuk punggungnya. "Jaga istri kamu. Jangan sampe kenapa-kenapa ya."
Lagi, Daffa mengangguk. Reya sudah masuk ke dalam mobil duluan. Nara dan Raka membiarkan nya karna mereka maklum atas kejadian tadi. Apalagi Reya sedang hamil. Pasti sensitif.
Daffa masuk ke dalam mobil. Ia menghidupkan mesin, lalu menjalankan mobilnya untuk keluar dari pekarangan rumah. Daffa menatap istrinya lagi. Reya memilih membuang wajah ke jalanan disamping kirinya dibanding melihat Daffa.
Tangan Daffa terulur untuk menyentuh perut istrinya. Beruntung, Reya membiarkannya. Daffa mengusapnya, membuat satu tendangan itu terasa di telapak tangannya. Daffa bahagia, laki-laki itu begitu senang sampai sampai memberhentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Sayang dedek nendang!" Seru Daffa.
"Iyaaa," jawab Reya. Perempuan itu menahan tangisnya. Ini adalah kali pertama janinnya menendang perutnya seperti itu. Reya tidak tau arti dari kejadian ini, apalagi bayinya menendang ketika Daffa telah menyakiti dirinya.
Kamu merasakan yang ibu rasakan sayang?
***
Daffa menatap ponselnya lamat-lamat, lalu menatap Freya yang tidur memunggunginya. Di dalam ponselnya tertera chat dirinya bersama Caca. Entah bagaimana caranya lelaki itu bisa meng-unblock Caca dikontaknya.
Daffa bimbang. Ini sudah malam, tapi kenapa Caca kembali mengajak dirinya untuk bertemu. Apa tadi siang tidak cukup?
Daffa menatap Freya lagi. Diusapnya punggung polos istrinya. Ah, Daffa merindukannya. Daffa menaruh ponselnya diatas nakas, lalu memeluk Reya dari belakang. Daffa mencium punggung Freya. Harum. Selalu seperti itu.
"Aku pergi dulu, ya. Aku ngga lama kok, aku sayang kamu re." Lirihnya.
Daffa beranjak dari ranjang. Ia ke lemari untuk mengganti pakaiannya. Tanpa disadari Daffa, bahwa Reya belum tertidur sama sekali. Istrinya melihat Daffa yang mengganti baju, lalu berjalan keluar.
Freya membalikan badannya ke arah pintu, lalu menangis. "Aa..." Lirihnya. Bayangan Caca dan Daffa bersama tadi siang saja masih memenuhi otaknya. Sekarang apa lagi, Tuhan?
***
Daffa bersandar di kap mobil dengan secangkir bajigur hangat. Jam sudah menunjukan pukul 00.10 dini hari. Tapi Daffa dan Caca tetap berada diluar. Daerah Bogor sangat dingin saat ini. Iya, Daffa dan Caca memutuskan untuk pergi ke Bogor tadi. Dulunya tempat ini adalah tempatnya mereka berdua biasa menghabiskan waktu bersama.
Satu hal yang memilukan, bahwa Daffa tidak pernah membawa Freya pergi kesana. Bahkan tadi, si Abang penjual bajigur yang menjadi langganan Daffa mengira bahwa mereka berdua sudah menikah. Ditambah cincin nikah yang melekat di jari Daffa.
"Kita disangka udah nikah," kata Caca. Perempuan itu tertawa. Daffa memperhatikan Caca yang tertawa. Ah, janda bekas mantan pacarnya ini terlalu cantik. Apalagi jika sedang tertawa.
"Huum. Padahal putus udah lama."
"Iya ya," Caca menatap Daffa. "Kamu nyesel iyain keputusan aku?"
Daffa bergeming. "Ngga juga. Kenapa?"
Caca menunduk. Ia menyeruput bajigurnya, lalu menatap kota Bogor dari atas kap mobil yang ia duduki sedari tadi.
"Aku nyesel. Tbh, aku masih sayang kamu."
***
Rayyan melempar kartu poker nya ke atas lantai. Teman-temannya menggerutu karena kembali dikalahkan oleh Rayyan. Rayyan tertawa, ia bangkit lantas membenarkan celananya. Tangannya merogoh ponsel. Beberapa panggilan terdapat dari Freya.
"Anjing!" Rayyan mengumpat. Ia menghubungi Reya, tidak ada jawaban. Gavin, Ericko, Farel, Rio, dan Obi menatapnya dengan tatapan keheranan.
"Ngapa lu Chan?"
Gavin memperhatikan Rayyan yang sedang mondar-mandir. Rayyan sedang menghubungi Reya, namun nihil perempuan itu tidak menjawabnya.
Akhirnya, karna Rayyan terlalu peduli dengan kakak iparnya itu, ia menyambit kunci motor Ducati Panigale miliknya dan segera pergi untuk menghampiri Reya di apartemen nya.
***
"Aku ngga mau Reya jadi kayak aku, mas." Nara berujar lirih. Ia tidak bisa tertidur karena masih memikirkan Reya. Sejahat apapun ibunya di masalalu, tetap saja, Reya adalah menantunya. Anak itu berhak bahagia.
Reya mungkin pernah mengambil posisi Diffa dan Daffa dihati Farhan. Tapi sebenarnya tidak. Nara percaya kenapa Tuhan mentakdirkan nya untuk seperti ini. Freya menempati posisi tertinggi di hati Farhan karna Tuhan tau, bahwa Reya tidak akan pernah bisa mendapat posisi seperti itu dihati Papa nya. Dan benar saja.
Raka memeluk Nara. Pria itu berusaha mengusap punggung istrinya. "Ssstt sayang, percaya sama Daffa oke? Dia ngga akan mungkin kayak gitu."
"Aku takut," Nara meremas kaus Raka. Matanya sudah berkaca-kaca. Nara benar-benar takut Reya mengalami apa yang dia alami. Nara tidak ingin karma Nur jatuh ke Reya. Nara ngga sanggup. Nara pernah dikhianati, ia tau bagaimana rasanya melihat suami lebih pro ke orang lain daripada dirinya sendiri.
"Sayangg percaya sama aku oke, aku bakalan usaha buat bicara dari hati ke hati sebagai lelaki besok malam. Udah ya, sekarang kamu tidur, ini udah malem."
Nara mengangguk. Perempuan itu melepas cepolan rambutnya lalu memeluk Raka dengan erat.
***
Rayyan memencet sederet pin apartemen Reya dan Daffa yang sudah ia hapal diluar kepala. Ia masuk ke dalam dengan terburu-buru. Panik menguasainya ketika tadi Reya menelponnya dan tidak ia jawab sama sekali.
Rayyan bingung. Satu sisi ia tidak ingin masuk begitu saja ke dalam kamar Reya, tapi-
Ah bodoamat. Yang terpenting sekarang adalah memastikan bahwa Reya baik-baik saja.
Rayyan membuka pintu kamar Reya. Cowok itu membuang napas lega kala melihat Reya sedang tertidur sambil memegang ponselnya. Rayyan mendekati Reya, ditatapnya wajah imut wanita itu. Ada bekas jejak air mata di sudut matanya. Rayyan mengepalkan tangannya. Aa ketelaluan.
Ditatapnya Reya sekali lagi. Rayyan mengusap poni Reya, lalu mencium kening kakak iparnya itu. "Ry beneran sayang sama kakak sebagai kakaknya ry kak. Bahagia ya, jangan nangis lagi. Ry bakalan usaha bikin kakak balik lagi sekarang." Bisiknya. Meski Rayyan tau bahwa Reya tidak akan mendengar karna wanita itu tertidur, tapi Rayyan merasa bodoamat yang terpenting ia sudah mengutarakannya ke Reya.
***
Daffa menatap Caca intens. Kalimat wanita itu, ia sudah mendengarnya dua kali. Pertama ketika mereka bertemu di McD beberapa bulan lalu. Lalu malam ini Caca kembali mengutarakan perasaannya. Daffa menyeruput wedangnya guna menetralkan detak jantungnya yang berdebar-debar.
Caca menatap Daffa, lalu menggenggam jari-jari lelaki itu. "Dulu kamu suka kayak gini kan setiap kita kesini," Caca mengajak Daffa untuk bernostalgia. Daffa menatap Caca lagi, tapi bangsatnya ia tidak melepas penyatuan jari mereka. Atau memang Daffa tidak pernah melepas penyatuan hati mereka juga?
"Iyaa. Kamu juga suka kayak gini," Daffa menarik kepala Caca dan menyenderkannya di bahu nya sendiri. Caca tertawa. Ia mendekatkan wajahnya pada ketiak Daffa.
"Kamu masih aja wangi,"
Caca mengendus ketiak Daffa. Daffa sedikit tersentak. Ia ingat Reya tidak bisa tertidur jika tidak bersandar di ketiaknya. Daffa menjauhkan kepala Caca dari ketiaknya. Membuat Caca menatapnya heran.
"Lho kenapa?"
Daffa menggeleng. Ingatannya tentang Reya yang tertidur sedikit menenangkan Daffa. "Nggak kok ngga papa."
Caca mengangguk. Ia semakin mendekatkan dirinya kepada Daffa. Membuat Daffa agak was-was. Caca menatap Daffa lagi, Daffa jadi gugup. Karna bola mata coklat serta bibir penuh dan besar itu seperti memikatnya.
"Ca," lirih Daffa kala Caca mengusap dadanya keatas dan kebawah. Caca menutup mulut Daffa. "Ssts disini banyak mas-mas. Jangan berisik daf,"
Daffa tidak menghentikan Caca yang tangannya semakin nakal bermain di dadanya. Daffa memejamkan matanya. Ini sudah seminggu atau dua minggu ia tidak mendapatkannya dari Reya. Daffa tidak berbohong bahwa sentuhan Caca sangat memabukkan sekarang. Padahal perempuan itu hanya mengusap-usap dadanya.
Ketika Caca ingin menjalankan tangannya ke arah keintiman Daffa yang sudah terasa sesak di celana jeans-nya. Bayangan Reya yang duduk diatasnya dan bergoyang selayaknya seorang yang lihai memenuhi otak Daffa. Lelaki itu segera membuka matanya, menjauhkan tangan Caca dari benda yang nyaris dipegang oleh wanita itu. Daffa bersumpah, tubuhnya hanya milik Reya. Hanya dengan Reya ia boleh coblos mencoblos.
"Kita pulang." Ucap Daffa dingin.
Daffa merasa bersalah kenapa tadi dirinya membiarkan Caca menyentuh dadanya. Sial. b******k kau Daffa!
Caca merasa malu. Ia menatap Daffa yang turun dari kap mobil dengan secangkir bajigur hangat yang hanya tersisa sepertiga nya saja. Caca menunduk. Ia berkaca-kaca.
Ia sudah menjatuhkan harga dirinya demi merayu Daffa. Tapi?
Brengsek. Caca malu.
Pasti karna Reya. Sialan kamu re.
***