After Marriage 15

1112 Words
-Terkadang meminta maaf duluan lebih baik meskipun dirimu tidak berbuat salah. Dari pada tidak meminta maaf sama sekali, padahal jelas-jelas dirimu salah.- === Freya terbangun tengah malam. Ia meringis pelan kala perutnya terasa kram. Matanya melihat Daffa yang sedang tertidur pulas disampingnya. Freya ingin sekali membangunkan Daffa agar laki-laki itu menolongnya. Tapi Reya gengsi! Beberapa menit Reya dalam posisi seperti itu. Perempuan itu menggigit bibirnya sendiri. Tangannya menyentuh perut Daffa. "A.." panggil Reya. Daffa membuka matanya. Ia langsung buru-buru bangun. "Kenapa sayang?" Reya meringis, "sakiit," Daffa langsung mengambil posisi di belakang Reya. Laki-laki itu memeluk Reya dari belakang. Lalu mengusap-usap perut Reya sambil terus menyanyikan lagu buatannya untuk sang anak. Beberapa menit dalam posisi itu, kram diperut Reya berhenti. Daffa mencium pelipis Reya. Perempuan itu masih bersandar di d**a Daffa. Ibu hamil satu itu seperti lupa pada amarahnya sendiri. "Masih sakit bunda?" Freya menggeleng. Ia menangis. Membuat Daffa langsung mengecup bahunya. "Hei sayaang kenapa nangis hhm?" Freya menggeleng lagi. Perempuan itu meremas jari Daffa. "Aku minta maaf A. Maaf karna ke-egoisan aku dedek jadi rindu sama kamu. Maafin aku A," Daffa mengusap lengan Reya lalu mengecup lehernya. Ah. Laki-laki ini bersyukur karena kejadian ini membuat hubungan dirinya dan Freya membaik. "Kamu ngga salah bunda. Aku yang salah. Aku yang terlalu labil." "Nggak, udah nggapapaa." Daffa mengambil tangan Reya, lantas mengecup punggung tangannya dengan penuh cinta. "I love u most, bunda Re." *** Nara dan Diffa pergi ke apartemen Daffa dan Reya siang ini. Dua perempuan berbeda generasi itu masing-masing membawa paperbag di kedua tangannya. Nara memencet bel, menunggu mereka keluar. "Mereka dirumah kan teh?" "Iya bun dirumah kok. Aku barusan liat instastory nya Aa!" Nara mengangguk. Ia membenarkan letak hijabnya. Tak lama pintu terbuka, menampilkan sosok Daffa yang keluar hanya menggunakan boxer berwarna hitam tanpa baju. Daffa mempersilahkan Nara dan Diffa masuk. Nara memberikan paperbag nya ke Daffa. "Mantu bunda mana A?" Tanya Nara. "Dikamar lagi pake baju." Daffa mencomot kue lapis legit yang dibawa Nara. Diffa melempar Daffa dengan sedotan yang ada di meja. "Najis! Istri lagi hamil juga diajakin mulu," sungut Diffa pelan yang sialnya masih bisa di dengar oleh Daffa. Daffa melotot. Ia menatap Diffa sambil memeletkan lidahnya. "Lah bodoamat. Dia istri gua ini!" Nara memperhatikan anak-anaknya. Ia menggeleng pelan. Lalu menepuk paha Daffa. "Jangan sering-sering A. Kasian mantu bunda kecapean nanti." Daffa mengangguk samar. Tak lama Freya keluar dari kamar lalu bergabung bersama Diffa, Nara, dan Daffa diruang tamu. Freya mengambil posisi duduk di samping Daffa. Lelaki itu langsung merangkul Reya dan mencium pipinya. "Najis banget najissss!" Celetuk Diffa. "Lah ngapa lu jomblo?! Pengen cium-cium juga?" Diffa menggeleng kuat-kuat. "Nggak nying! Jangan sembarangan dong ah!" Diffa mendekat ke Nara, berusaha meminta pertolongan bunda. "Bun Aa rese!" Nara mengusap lengan Diffa. Lalu memelototi Daffa. "Aa jangan gitu aaah!" "Iyaiyaaaa. Dasar manja. Gue juga bisa nih ngadu ke Bunda, ya kan bun?" Kata Daffa sembari menempelkan kepalanya pada d**a Reya. Reya mendekap kepala Daffa sambil tertawa. "Ngga ah aku ngga mau bantu kamu!" Daffa menjauhkan kepalanya dari d**a Reya. Lantas cemberut mendengar penuturan Reya yang tidak ingin membantunya. "Ah gatemen!" *** Caca menatap Rifki yang ada didepannya. Caca menangis. Perempuan itu cerita tentang semuanya kepada Rifki. Mulai dari hubungannya yang kandas dengan Daffa beberapa tahun lalu, hingga Daffa memblokir sosmednya. Rifki menarik napas. Tidak tau mesti menanggapi Caca seperti apa. "Bantu gue Ki. Plis, lo salah satu orang yang deket sama Daffa," Caca masih memohon didepan Rifki. Rifki menatap Caca iba. "Laki-laki banyak ca. Jangan Daffa. Dia udah punya Reya, mereka juga bakalan punya anak." "Gue sayang sama dia Ki!" "Sayang lo nggak akan ngaruh apa-apa buat Daffa ca! Daffa ngga mungkin ninggalin Reya yang jelas-jelas istrinya demi lo doang!" "Gue ngga peduli ki. Tolong ki, tolong bantu gue!" Caca menempelkan kedua tangan miliknya dan menaruhnya di d**a memberi gestur meminta kepada Rifki. Sebab wanita itu bingung akan minta tolong ke siapa lagi. Rifki menggeleng. Laki-laki itu menyambit uang seratus ribuan dan menaruhnya di meja. Sebelum ia beranjak, Rifki menepuk pundak Caca. "Cowok masih banyak ca. Lo cantik, banyak yang mau sama Lo. Sorry gue ngga bisa bantu, apalagi sampe ngancurin hidup sahabat gua sendiri. Lagian dulu kan lo yang ngga mau berjuang sama dia. Ya nikmatin aja ya!" *** Galen menghisap dalam-dalam rokok yang ada di bibirnya. Lelaki itu mengapit rokok di antara jari telunjuk dan jari tengah miliknya. Galen menghembuskan asapnya melalui hidung. Kilasan tentang kisah rumah tangganya bersama Caca menguar di otaknya. Galen mengerang kasar, "Argh!" Galen membuang sebungkus rokok lucky strike yang masih banyak dan menginjaknya menggunakan sepatu hitam licin miliknya. "Gue sayang sama lo ca, kenapa lo malah sayang sama dia? Gue harus apa supaya lo bisa balik dan cinta ke gue?!" *** Daffa memberi secangkir berisi kopi hangat kepada Rifki. Keduanya memutuskan untuk bertemu malam-malam seperti ini. Daffa tidak tau hal apa yang membuat Rifki bertamu ke apartemen nya malam-malam. "Lo tumbenan ngajak keluar ki. Ada apaan emang?" Rifki terlihat menarik napas. Lelaki itu sudah berpikir matang-matang tentang semuanya. Obrolannya dengan Caca kemarin cukup menganggu pikirannya. Ia juga sudah berunding dengan istrinya, dan istrinya memberi saran agar Rifki memberi tau Daffa. "Lo tau Caca kan?" Rifki bertanya hati-hati. Lelaki itu menunggu respon Daffa. Daffa menyeruput cangkir kopinya. "Tau, lah. Masa nggak." "Bukan itu maksud gua. Maksudnya tuh, lo tau kalo Caca ada disini?" "Iya tau. Kenapa?" Tanya Daffa. "Lo hati-hati sama dia ya Cong. Sumpah jangan sampe lo kemakan apapun sama dia," "Hah? Gimana-gimana?" Rifki menatap Daffa, "Lo pernah ketemu dia gak selama ini?" Daffa mengangguk. "Pernah, sampe bohong ke-" "Reya?!" Potong Rifki. Daffa mengangguk. "Gila. Sumpah. Jangan bilang waktu gue namu ke rumah lo waktu itu? Terus Reya bilang, lo pergi mau ketemu semprul?" Lagi, Daffa mengangguk. "Sumpah. Lo jangan lagi temuin dia Daff. Tu cewek jadi sarap setelah putus dari lo," "Kenapa emang?" "Kebanyakan nanya kenapa lo!" "Ya gua butuh alasan yang jelas kenapa gua gaboleh ketemu dia lagi." Daffa menyeruput kopinya, lantas menempelkan bibirnya pada pinggiran gelas. "Anjing!" Rifki mengumpat Daffa. "Kalo lo sayang Reya lo ngga butuh alasan 'kenapa'." "Gua sayang Reya. Tapi gua butuh alasan kenapa gua gabisa nemuin Caca lagi," Rifki tertawa. "Lo ngga sayang Reya man. Kalo sayang lo harusnya sadar kenapa gua ngelarang lo buat ga ketemu dia lagi." Daffa diam. Ia baru saja berbaikan dengan Reya kemarin. Tapi apa yang dibilang Rifki malam ini sudah cukup menghantamnya dengan keras. Pertama karna Caca, kedua, perihal Reya. Ah Daffa jadi pusing! "Nggak. Gua sayang sama dia." "Sama siapa?" "Reya." Rifki tertawa. Lelaki itu menarik cangkir kopinya lalu menatap Daffa. "Lo nggak sayang dia. Tapi sayang Caca. Coba tanya ke hati lo sendiri Daff, lo masih peduli sama Caca kan?" Dan pertanyaan Rifki tadi membuat Daffa bungkam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD