After Marriage 18

1923 Words
Kamu menyelamatkan orang lain, tapi menyesatkan orang-orang disekitarmu, A. -Freya Binar Abigail === Caca berdiri didepan wastafel di kamar mandi miliknya. Ia menunggu dengan cemas. Matanya terpejam, antara takut dan cemas menjadi satu. Sudah seminggu ini ia merasakan pusing+mual yang berlebihan setiap pagi. Kejadian ini benar-benar mengingatkan nya akan kejadian ketika ia mengalami morning sickness saat mengandung Dita. 3 menit terlewat. Dengan mata terpejam, Caca menarik testpack dari gelas kaca berisi urinenya. Matanya melebar, tangannya membekap mulutnya sendiri. Caca menangis terisak. Ia positif hamil. Garis dua berwarna merah itu akan menghancurkan nya sekali lagi. *** Daffa menggeret kopernya keluar dari bandara dan menuju parkiran untuk mengambil mobilnya yang ia tinggalkan seminggu lalu. Daffa memasukan kopernya ke dalam bagasi belakang lalu masuk ke dalam kursi pengemudi. Tangannya menarik tuas gas, lalu menjalankan mobilnya keluar dari parkiran bandara. Daffa melirik jam tangannya, sudah sore. Ia berencana akan menemui Raka nanti malam. Seharusnya memang dari seminggu yang lalu ia menemui Raka, hanya saja, lelaki itu keburu terbang duluan. Ponselnya berdering, Daffa mengambil ponsel di saku celana bahan hitamnya. Ia pikir itu dari Reya. Ternyata bukan. Ia membaca caller id yang tertera di layarnya. Caca "Mau ngapain dia telfon?" Tanya nya kepada diri sendiri. Tanpa ba-bi-bu, Daffa menjawab panggilan Caca. Daffa terkejut kala suara tangis yang pertama kali ia dengar. "Ca kamu kenapa?" "Daffa.." Caca masih menangis diseberang sana. Daffa meminggirkan mobilnya didepan halte. "Daffa bisa kita ketemu?" Daffa terlihat menimbang-nimbang. Ia melirik jam G-Shock hitam ditangan kirinya, sudah mau Maghrib. Istrinya pasti mencarinya. "Daffa?" Daffa ingin menolak ajakan Caca, tapi nyatanya yang keluar dari mulut lelaki itu malah sebaliknya. "Iya ayo. Ketemu di tempat biasa ya," Daffa mematikan ponsel nya. Sejenak ia memperhatikan foto Reya dengan perut besar yang ia ambil beberapa waktu lalu. Ia mengecup nya perlahan. "Maaf sayang." Lirihnya pelan. *** Freya membuat tulisan 'happy anniversary' diatas blueberry cake yang tadi ia buat sendirian. Calon mama muda itu tersenyum puas kala ia melihat cake hasil buatannya sendiri. Berbekal resep dari Google, Reya membuat cake ini. Perempuan itu melirik jam yang tergantung indah di atas kulkas. Jam 18.20 Maghrib. Daffa pasti terjebak macet. Hari ini adalah hari anniversary ke 1 tahun pernikahan nya dengan Daffa. Freya senang. Ia sudah berusaha melupakan kejadian seminggu yang lalu. Freya mengambil cake itu dan memasukannya ke dalam kulkas. Wanita itu menyambit permen ChaCha yang sengaja ia taruh di kulkas kemarin malam dan duduk di sofa berwarna merah di apartemennya. Tangannya mengusap perutnya dengan bibir yang tidak pernah luntur akan sebuah senyuman. *** Caca meremas jari-jarinya dibawah meja. Didepannya sudah ada Daffa yang masih rapih dengan setelan seragam pilot kebanggaannya. Saat ini mereka tengah duduk di sebuah cafe indoor di daerah Jakarta Selatan. "Ca? You ookay?" Tanya Daffa Caca menggeleng. Ia menunduk. Lalu tak lama suara tangisan kembali terdengar. Daffa menarik napas. Sakit rasanya ketika melihat perempuan masalalunya ini menangis. "Ca jangan nangis," Daffa mengusap punggung tangan Caca yang ada di meja bundar ini. "Dafff.." "Iya apa ca?" Lagi. Caca menangis. Daffa tidak tega. Lelaki itu ingin menghampiri Caca lalu memberi dadanya untuk Caca sandarkan. Tapi ia urungkan mengingat ini adalah tempat umum. Caca meremas jari-jarinya semakin kuat. Ia mendongak, menatap wajah Daffa yang semakin hari semakin tampan. "Aku hamil, Daffa." Daffa melepaskan telapak tangan yang sebelumnya ia gunakan untuk mengusap punggung tangan Caca. Laki-laki itu terkejut. Bagaimana bisa? Caca tidak mempunyai suami, bagaimana bisa perempuan itu mengandung? "Bercanda kamu ngga lucu, Ca." "Aku nggak bercanda!" Sentak Caca. Daffa terlihat menunduk. Lelaki itu lemas kala mengetahui bahwa Caca mengandung. Entah kenapa, Daffa merasa tidak rela. "Siapa ca? Siapa ayah bayi itu?" Caca diam. Daffa memegang bahu Caca, mengguncang nya pelan. "Ca jawab aku!" "Galen," lirih Caca. Daffa terkejut. Bagaimana bisa? Caca masih menangis di depannya. Sedangkan dirinya masih terkejut. Masih berusaha untuk mencerna kondisi yang sebenarnya. Lagi. Untuk kedua kalinya, Daffa tersakiti dengan fakta mengejutkan tentang wanita didepannya. "Gimana bisa?" Tanya Daffa "Aku-aku ngga tau," terbata-bata Caca menjawab. Perempuan itu menangis semakin kencang. "Daffa bantu aku Daff," "Bantu apa ca?" "Aku ngga mau anak ini ngga punya ayah. Aku ngga tau harus bilang ke siapa." "Maksud kamu apa?" "Aku ngga mau bilang ke Galen kalo anak ini milik dia. Aku nggak mau. Dia itu kasar, Daffa." Lagi, Caca menangis. Daffa memperhatikan Caca. Lelaki itu menatap wajah cantik Caca yang berderai air mata. "Daffa tolong bantu aku," "Bantu apa?" "Nikahin aku Daff," Detik itu juga, Daffa merasa langit roboh dan menimpa dirinya dengan sangat kuat. *** Freya menguap, ditangannya tergenggam sebuah smartphone berlogo apel kegigit. Freya memperhatikan layarnya. Sedari tadi ia sudah mencoba menelpon Daffa. Tapi nihil, lelaki itu tidak menjawabnya. Malah nomor Daffa sedang berada diluar jangkauan. Wanita itu melirik jam di atas kulkas. Jam 21.48 malam. Ini sudah lewat dari jam yang dijanjikan Daffa. Daffa berjanji akan pulang cepat malam ini. Karna selain Reya yang rindu dengan Daffa, mereka juga akan bermain nanti malam. "Aa kamu kemana?" Tanya Reya cemas kepada dirinya sendiri. Televisi di depan matanya pun sudah tidak di perhatikan sejak pukul setengah sembilan malam. Sekali lagi, Freya mencoba menghubungi Daffa. Tapi jawaban dari operator membuat Freya mengeluarkan air matanya. "Aa kamu kemana?" Tanyanya lirih. *** Daffa mengusap rambut Caca yang sedang tertidur di pelukannya. Mereka masih di dalam mobil Daffa. Tadi Daffa nekat membawa Caca pergi mengitari Jakarta agar perempuan itu berhenti menangis. Usahanya sedikit berhasil, meskipun Caca masih banyak diam ketimbang berbicara. Daffa mengusap punggung Caca, membuat Caca membuka matanya dan menjauhkan wajahnya dari d**a Daffa. "Maaf," kata Daffa. Caca mengangguk. Perempuan itu melirik jam di tangannya. Sudah malam. "Kamu mau langsung pulang?" Daffa mengangguk. "Iya." "Yaudah gih hati-hati ya." Kata Caca. Perempuan itu melepas seat bealt. Sebelum membuka pintu, Caca menoleh ke arah Daffa yang sedang memperhatikannya. "Aku tunggu jawaban kamu soal tadi. Aku butuh bantuan, Daffa." Dan setelah itu Caca turun. Menyisakan Daffa dan keterdiamannya. Tuhan, Daffa harus bagaimana? Disisi lain Daffa tidak ingin menyakiti Reya, ia tidak ingin menjadi ayah Farhan. Tapi disisi lain, hatinya memberontak. Di sudut hatinya yang paling kecil, Daffa masih mencintai perempuan itu. *** Daffa memarkirkan mobilnya di basement apartemen. Daffa mengunci mobilnya lalu berjalan menuju lift. Sepanjang jalan Daffa menunduk. Ia memikirkan banyak hal. "Ck bikin pusing aja," katanya. Daffa masuk ke lift dan langsung menekan tombol 15 pada sisi kanan. Ia semakin menunduk kala lift berjalan menuju atas. Ting! Pintu lift terbuka, membuat Daffa buru-buru keluar dari sana. Daffa berjalan menuju ke apartemen miliknya. Laki-laki itu memencet sederet pin yang sudah sangat ia hapal. Daffa membuka sepatu dan menaruh nya di rak belakang pintu. Laki-laki itu berjalan pelan menuju ruang tamu. Freya yang mendengar derap langkah kaki seseorang pun langsung bangun dari duduknya. Wanita itu langsung tersenyum kepada Daffa. Daffa memandangnya sekilas. Freya menelan kekecewaannya kala Daffa bersikap seperti itu kepada dirinya. "Aa kenapa?" Tanya Freya Daffa menggeleng. Laki-laki itu masuk ke kamar mereka, membuat Reya juga mengikuti Daffa dengan pelan-pelan karna perutnya yang semakin besar. "Aa kalo ada masalah sini cerita sama re," tawar Reya. Daffa memandang Reya. Istrinya begitu tulus. Istrinya sangat polos sehingga Daffa tidak ingin memberitahukan ini. Karna takut menyakiti hatinya. "Re," panggil Daffa. Reya mengerjap-ngerjapkan matanya lucu. Perempuan itu duduk di pinggiran ranjang. Daffa mengambil posisi berjongkok didepan istrinya. "Aku mau cerita tapi kamu jangan marah," suara pelan Daffa sedikit membuat nyali Reya ciut. Reya takut ada hal yang akan menyakiti hatinya kali ini. Pun meski begitu Reya tetap mengangguk dan menggenggam tangan Daffa. "Aku tadi ketemu Caca. Dia bilang dia hamil." Deg. Freya mengerjapkan matanya. Kepalanya seperti pening kala Daffa memberitahukan hal itu. Freya takut, apa maksudnya Aa berkata seperti ini? "Kamu ngga usah mikir macem-macem. Anak itu bukan anak aku. Anak itu milik Galen. Tapi-" "Tapi apa A?" "Caca minta aku nikahin dia," Freya langsung menyentak tangan Daffa agak kasar. Mata wanita itu memerah. Freya berdiri dari duduknya. "Terus kamu mau?!" Daffa menunduk. "Aku ngga tau," kata Daffa pelan. Freya menangis. Ia terisak sambil menutup mulutnya guna menahan isakannya agar tidak terlalu keras. "Aku nggak mau! Sampai kapanpun, aku ngga akan ngasihin kamu ke orang lain! Nggak." Daffa bangun. Ia menghampiri Reya. "Kamu dengerin aku dulu sayang. Caca minta aku nikahin dia karna dia ngga mau anaknya ngga punya ayah." "Bullshit! Anak itu milik Galen! Harusnya dia bisa minta Galen buat tanggung jawab ke dia!" Freya menghapus kasar air matanya. Demi Tuhan ini benar-benar menyakiti nya. Bahkan pukulan yang pernah diberi Papa dipunggung dan pipinya pun masih tidak sebanding dengan ini. "Galen kasar re, aku ngga bisa mastiin dia-" "Ngga ada alasan A! Aku nggak mau kamu nikahin dia! Lagipula Galen nggak akan asal coblos gitu aja kalo dia ngga mau tanggung jawab!" Freya berdiri membelakangi kaca. Ditatapnya Daffa dengan air mata yang semakin menjadi-jadi. Daffa memandang Freya dengan tatapan tidak percaya. "Kamu egois re!" Sentak Daffa kasar. "Apa kamu bilang A?" "Kamu egois! Kamu mentingin diri kamu sendiri! Padahal Caca minta kayak gitu karna dia ngga pengen anaknya gapunya ayah-" "AKU NGGA PEDULI A! AKU NGGA PEDULI ANAK DIA BAKALAN GA PUNYA AYAH!" Teriak Freya. Reya sudah bodoamat akan seperti apa. Yang terpenting, Reya ngga mau berbagi. "Re tolong ngerti kali ini-" "Ngga bisa A! Aku ngga mau berbagi. Kamu milik aku. Nggak, kamu ngga boleh." "Re aku pernah hidup tanpa ayah, aku ngga mau-" "AKU BILANG NGGAK A! Kamu bullshit! Kamu masih sayang dia kan?" Daffa memandang Freya tajam. Amarah sudah menguasai nya. Laki-laki itu mengepalkan tangannya. "IYA! KAMU BENER. Aku masih sayang sama dia! Aku emang belum sepenuhnya cinta sama kamu! Puas kamu hah?!" Sentak Daffa dengan nada suara yang tinggi. Seketika, Freya melemas. Daffa masih mencintai Caca. Daffa masih menginginkan masalalunya. Tuhan, salah Reya apa? Dulu Mama dan Papa yang ngga ingin Reya, lalu Ayah, sekarang Daffa. Tuhan, bisa ambil Reya aja? "Aku masih sayang sama dia. Puas kamu hah?!" Daffa menatap tajam mata Freya. Laki-laki itu seperti tidak peduli pada air mata Reya yang mengalir deras. "Kamu egois Re. Kamu nggak akan ngerti rasanya ngga punya ayah selama bertahun-tahun. Kamu nggak ngerti karna kamu nggak ngerasain itu!" Freya menggeleng. "Nggak, aku ngga egois," suaranya bergetar. Terlihat lemah dari yang sebelumnya. Tapi Daffa tidak peduli. "Kamu egois! Karna kamu punya segalanya sejak kecil, kamu ngga bisa berbagi. Kamu nggak tau rasanya jadi anak yang ngga punya ayah re! Kamu nggak tau!" Enggak. Freya bisa berbagi. Buktinya, dulu Reya sering memberi teman-temannya permen. Ayah dulu selalu bilang, jadi manusia itu ngga boleh pelit. Tapi ini beda cerita, Reya mungkin bisa berbagi permen dan ice cream chocolate miliknya. Tapi Reya ngga bisa berbagi suami. "Harusnya kamu sadar gara-gara Mama, aku sama Diffa kehilangan ayah. Gara gara Mama, kamu, dan Papa aku ga dapet perhatian ayah. Kamu harusnya sadar re!" Daffa kembali meneriaki Reya. Wanita itu bergeming. Ini bukan salah Reya, Reya ngga tau apa-apa tentang masalalu Mama, Papa, Ayah, dan bunda Nara. Demi Tuhan, kalo bisa memilih Reya ngga akan mau jadi kayak gini. "Aa," lirih Reya. "Apa?! Mau ngomong apa kamu?! Gapeduli aku sama kamu!" "A cukup.." pinta Reya dengan suara lirih. Daffa tersenyum sinis. "Kenapa?! Kamu malu karena udah berlaku egois, iya?!" Freya menggeleng. "A cukup, sakiit.." Daffa menatap Freya. Laki-laki itu kelepasan berbicara seperti itu. Semburat penyesalan hadir dibenak Daffa. Namun hilang begitu saja karena setelahnya Daffa balik badan dan meninggalkan Reya sendirian dikamar. Freya menangis kencang. Dipegangnya perutnya yang membesar. Anaknya menendang-nendang perutnya dengan kencang. Freya mengambil kursi di meja rias, perempuan itu duduk sambil menenangkan bayinya. Perkataan Daffa sangat menyakiti hatinya. Kenyataan bahwa Daffa masih mencintai Caca benar-benar membuatnya terluka. Mama, Papa, Ayah, Daffa seperti meninggalkannya sekarang. Tuhan, Reya hanya punya anak ini. Tolong bantu Reya buat kuat demi anak ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD