Freya menatap sedih blueberry cake yang dia buat kemarin. Reya fikir cake ini akan menjadi cake pertama mereka setelah menikah. Tetapi tidak. Reya fikir di hari anniversarynya yang ke-1 tahun Daffa akan memberikan sesuatu yang sama seperti yang pernah Daffa berikan kepada Caca dulu. Tapi, lagi-lagi dugaan Reya salah.
Perempuan itu mengusap air matanya. Daffa belum kembali pulang setelah pertengkarannya semalam. Freya tidak tau kemana perginya lelaki itu. Freya sudah mencoba menghubungi ponsel Daffa, tapi tidak mendapat jawaban. Lagi, Reya menghapus air matanya. Tangannya mengambil cake itu, lalu membuangnya ditempat sampah.
"Happy anniversary A," lirih Freya.
***
Daffa menatap ponselnya. Tangannya meremas rambutnya sendiri. Dirinya merasakan pusing yang amat sangat. Pertengkarannya dengan sang istri sukses membuat Daffa urakan. Padahal bisa terhitung beberapa jam saja dari jarak ia dan Reya bertengkar, tapi Daffa sudah seberantakan itu.
Daffa merasa bersalah. Ia kelepasan bicara seperti itu kepada Reya semalam. Tapi ia benar-benar khilaf. Laki-laki itu benar-benar tidak menyangka akan bicara seperti itu.
"Aku nggak mau jadi ayah Farhan, tapi aku ngga mau membiarkan anak itu tanpa ayah. Galen kasar, dan aku ngga mungkin ngasih Caca ke Galen!" Lirihnya pelan.
Kepalanya tertunduk di stir mobil. Matanya terpejam. Kilasan bayangan pertengkarannya dengan Reya semalam terlintas begitu saja. Mata Daffa memanas ketika dirinya mengingat bagaimana wajah kesakitan Reya kemarin malam.
"b******k lo Daff!"
***
Galen menandatangani map hijau yang berada di tumpukan paling akhir di mejanya. Lelaki itu membuka kacamata tanpa framenya. Lalu memijit sedikit pangkal hidungnya yang runcing.
Galen sedikit pusing akhir-akhir ini. Ditambah pria itu suka menginginkan hal yang tidak-tidak. Galen menarik napas. Ia merindukan Caca. Perempuan itu nyaris tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Galen mengambil foto Caca dan Dita di meja kerjanya. Laki-laki itu mengusap wajah ayu Caca. Senyum kecil terbit di bibirnya yang penuh dan tebal.
"Kamu cantik. Aku sayang kamu, ca."
***
Daffa berjalan pelan-pelan menuju lift. Lelaki itu pulang ke apartmen nya bersama Reya setelah semalaman berkeliling tidak jelas di sekitaran Jakarta.
Daffa menekan beberapa pin apartmen miliknya. Setelah terbuka, Daffa langsung berjalan menuju ke kamar. Dirinya sangat mengantuk. Dibukanya pintu perlahan. Ekor mata Daffa melihat Reya yang sedang bersandar di kepala ranjang sembari mendengarkan anak mereka dengan musik klasik melalui headphone miliknya.
Daffa mengabaikan Reya. Laki-laki itu langsung masuk ke kamar mandi membuat Reya menatapnya sendu. Freya melepas headphone di perutnya, lalu berusaha untuk turun dari ranjang dan menyiapkan kaus santai untuk Daffa.
***
Raka meminum secangkir teh yang dibuatkan Nara siang ini. Pria itu menatap istrinya yang masih cantik diusianya yang tidak lagi muda dengan pandangan penuh cinta. Membuat sang istri menahan senyum malu, lalu menabok lengan Raka pelan.
"Dih kamu malu-malu gitu," kata Raka.
"Apasih!" Nara tertawa. Raka mencecap teh buatan istrinya dengan perlahan-lahan.
"Ayah," panggil Nara pelan. Raka menoleh menatap istrinya. "Kenapa bunda?"
"Kamu udah bicara sama Daffa?"
"Belum. Kata nya dia ngga sempet. Mungkin nanti, atau gimana ayah masih ngga ngerti sama dia," kata Raka. Nara menatap cemas wajah Raka.
Raka yang melihat istrinya cemas langsung saja mengusap punggung tangan istrinya perlahan. "Jangan khawatir bunda. Aku bakalan selesain ini cepet-cepet."
***
Daffa memakai kaus yang sudah disiapkan Reya diatas ranjang. Lelaki itu belum berbicara satu kata pun pada Reya. Reya menatap Daffa takut, tapi perempuan itu berusaha untuk mendekati suaminya.
Freya menyentuh lengan Daffa pelan. Daffa menatapnya dengan tatapan dingin. "Kamu semalem kemana?" Tanya Reya pelan-pelan karna takut menyinggung suaminya.
Daffa tidak menjawab. Ia justru menatap mata Reya dalam-dalam. Berusaha menyelami netra hitam itu. Daffa sedikit tersentak ketika melihat ada kekecewaan di netra itu.
"A?"
Lagi, Daffa tidak menjawab. "Kamu ngga ketemu cewek gatel itu, kan?"
Pertanyaan Reya berhasil memancing Daffa. Karna nyatanya lelaki itu sekarang menatap tajam matanya. "Jangan bilang kayak gitu ke Caca!"
"Lho? Kan aku nanya A. Kamu kemana? Nggak kamu jawab. Pas aku singgung soal janda gatel itu kamu malah marah." Freya tertawa sumbang. Daffa mengepalkan tangannya.
"Dia bukan janda gatel, Reya!" Sentak Daffa. Freya memejamkan matanya erat.
"Kalo dia ngga gatel dia ngga akan mungkin minta kamu buat nikah-"
"CUKUP RE!" bentakan Daffa terdengar sangat menakutkan ditelinga Reya. Reya memejamkan mata. Daffa mempersempit jaraknya dengan perempuan itu. "Kamu nggak berhak hakimin dia! Kamu juga ngga berhak singgung statusnya sebagai janda! Kamu ngga berhak!"
"Kamu nggak berhak hakimin dia re! Kamu ngga berhak!" Lagi, bentakan itu terdengar ditelinga Reya. Reya menatap balik mata Daffa yang sudah dikuasai oleh kabut amarah.
"Aku nggak berhak hakimin dia, oke. Tapi kamu juga nggak berhak hakimin aku atas apa yang udah terjadi di masalalu!"
Daffa tersenyum sinis. "Terserah!"
Daffa ingin meninggalkan Reya lagi. Tapi terhenti ketika Reya mengatakan sesuatu yang membuat dirinya berbalik menatap wanita itu. "Kenapa kamu nggak pernah hargain aku A?"
Kali ini, suara Reya terdengar lirih ditelinga Daffa. Daffa berbalik, menatap Freya dengan tatapan dingin miliknya. "Bukannya kamu yang nggak menghargai aku?"
"Sejak kapan? Aku selalu ada buat kamu. Bahkan ketika dulu kamu gapernah liat aku pun aku tetep selalu ada buat kamu!"
"Sejak kapan? Kamu tanya diri kamu sendiri! Kamu manja, egois, terlalu menuntut, kamu ngga bisa dewasa jadi cewek!"
"Kamu ngga bisa kayak Caca yang mandiri! Kamu ngga bisa jadi wanita dewasa! Kamu nggak-"
Plak!
"Tolong A, tolong jangan bandingin aku sama dia, karna aku sama dia jelas beda." Air mata Freya sudah jatuh membasahi pipinya yang mulus. Freya refleks menampar Daffa, sungguh Reya tidak bermaksud untuk kasar kepada suaminya sendiri.
Daffa tertawa sumbang. "Aku nggak bandingin kamu sama dia, tapi aku bilang kenyataan!" Daffa menatap tajam Reya. Mengabaikan air mata Reya yang mengalir semakin deras. Laki-laki itu mengusap sudut bibirnya yang terkena tamparan Reya.
"Sakit A, tolong jangan kayak gitu lagi." Pinta Reya. Wanita itu duduk dipinggiran ranjang. "Peduli aku apa re?"
Freya menatap Daffa sendu. Laki-laki ini, dulu pernah berjanji akan menyelamatkan nya dari apapun yang menyakiti hatinya. Tapi nyatanya, sekarang laki-laki itu adalah alasan remuknya hati Reya. Pernyataan rasa Daffa kepada Caca yang masih tertinggal saja membekas di otaknya. Ditambah lagi kejadian ini. Ya Tuhan, tolong, Reya nggak mau lagi kayak gini.
"Hati aku sakit A. Tolong Aa ngerti," pinta Reya.
"Gausah sama aku kalo kamu cuma mikirin hati kamu aja. Karna nyatanya ada banyak orang diluaran sana yang hatinya sakit tapi masih bisa berbagi kasih sama orang lain!"
"A,"
"Apa?"
"Jangan gini, A. Hati re sakiit!" Air mata Reya mengucur semakin deras. Dipegangnya perutnya dengan sebelah tangan. Reya kuat, demi bayi ini.
"Aku udah bilang, kalo kamu masih mikirin hati kamu doang, ngga usah sama aku!" Daffa berjalan ke arah lemari. Lelaki itu mengambil satu koper kecil dari dalam lemari lalu memasukan sebagian baju Reya dari sana. Freya panik, ia menghampiri Daffa dengan tertatih. Perutnya sedikit sakit.
"A kamu mau ngapain?"
Freya berusaha menghentikan Daffa yang sedang memasukan baju-bajunya ke dalam koper kecil. Daffa menutup resleting koper lalu memberinya ke Freya. "Aku anter kamu ke Mama dan Papa. Kita introspeksi diri sendiri dulu. Aku butuh waktu, dan kamu juga butuh waktu. Aku akan jemput kamu kalo keadaan udah mendingan."
Freya menangis. Demi Tuhan, Reya nggak mau balik ke rumah Mama dan Papa. Nggak. Reya nggak mau. Sudah cukup dulu saja Reya dipukuli Papa. Jangan lagi sekarang.
Perempuan itu menggeleng ketika Daffa memakaikan kardigan ketubuh kurusnya. Daffa mengecup perut Reya pelan. Berbisik maaf kepada buah hatinya yang langsung di respon tendangan oleh sang anak.
"A jangan, aku mohon," pinta Reya memelas. Daffa mengabaikan wajah memohon Reya. Laki-laki itu menggandeng tangan Reya sambil menggeret kopernya, meski lelaki itu sebenarnya tidak tega.
***
Caca menatap pantulan dirinya di cermin, ia mengusap perut datarnya. Di dalam perut ini ada anak lelaki b******k tidak tau diri itu. Caca jijik memanggil namanya. Demi Tuhan, Caca bahkan tidak ingin jika suatu hari nanti anak ini akan kembali kepada Galen seperti Dita.
"Kamu kenapa harus hadir sih?"
Caca menyesal. Caca merasa hina karna mau-mau saja diajak Galen untuk melakukan hubungan itu. "Harusnya ini anak Daffa, bukan ayah kamu yang b******k itu."
***
Rayyan mendengkur dengan keras di kasur lipat di kost-kostan miliknya. Iya, lelaki itu terlalu mandiri atau terlalu banyak uang sehingga menyewa satu kost-kostan untuk ia dan teman-temannya menginap ketika pulang larut.
Gavin menendang betis Rayyan kala handphone laki-laki itu berdering beberapa kali. "Ck ngapain si g****k!" Sentak Rayyan. Gavin mendengus, cowok jangkung itu melempar ponsel Rayyan yang tidak tertutup case ke arah wajah tampan nya.
"Itu handphone lo bunyi. Angkat ngapa, berisik!"
Rayyan langsung duduk kala melihat caller id si pemanggil. Rayyan mengumpulkan nyawanya terlebih dahulu. Ia baru saja pulang dari acara balap liar bersama Sergio di Sempur, dan baru saja sampai pukul setengah 5 tadi. Jadi wajar saja jika ia mengantuk.
Tubuh Rayyan menegang. Suara tangis wanita di sebrang sana membuat darah Rayyan mendidih. Tangannya terkepal. Ketika telfon dimatikan dari sana, Rayyan buru-buru menyambit jaket dan celana jeans-nya yang tadi sempat ia lemparkan kemana saja.
Ericko datang dari dapur sembari membawa semangkuk mie instan rebus, lelaki itu mendekati Rayyan dengan niat untuk menawari lelaki itu. Tapi yang terjadi selanjutnya adalah mangkuk itu jatuh ke lantai lengkap dengan mie yang berserakan kemana-mana karna Rayyan membantingnya.
"ANJING LU CHAN!" Teriak Ericko. Rayyan sudah pergi dengan Ducati panigale miliknya.
***
Freya menatap Daffa, lelaki itu tersenyum tipis setelah membawa koper Reya ke depan pintu dirumah Viko. Rumah Viko dan Nur terlihat sepi. Daffa mengusap kepala Reya perlahan. "Jaga diri baik-baik ya. Jaga dedek, aku bakalan jemput kamu kalo keadaan aku udah baik-baik aja."
Freya menahan tangan Daffa yang sedang berada di kepalanya. "Aa jangan, re mohon."
"Kita butuh waktu re. Aku mohon kamu ngertiin aku,"
Daffa menatap Reya yang terdiam. Perempuan itu menangis. Daffa menghapus air matanya lalu mengecup keningnya.
"I love u."
Dan dengan itu, Daffa pergi meninggalkan Reya yang menangis sendirian didepan pintu rumah Viko dan Nur yang terkunci dengan rapat.
"Aa jahat.." lirih Reya.
Ah perempuan itu, selalu malang sedari dulu.
***