Bab 4
Sepulang dari apotek, aku tidak langsung menghampiri mereka di meja makan. Kulihat mejanya masih kosong, itu berarti pesanan belum datang. Tempat ini sedang ramai, jadi kami harus sabar mengantre giliran dapat pesanan.
Saat seorang pelayan sedang menuju ke mejaku, aku menghentikannya. “Mbak, tunggu.” Si pelayan menghentikan langkahnya.
“Ya, Mbak? Ada apa?”
“Ini pesanan yang akan diantar ke meja itu, ‘kan?” tanyaku sembari menunjuk meja di mana Mas Joko dengan tidak tahu malu masih bercanda dengan Yanti.
“Iya, Mbak. Ini buat sepasang suami istri itu.”
Apa? Lagi dan lagi Yanti yang selalu mendapat sebutan sebagai istri Mas Joko. Ya, wajar, sih. Dari penampilannya saja Yanti tidak mencerminkan seorang babysitter. Lebih terlihat seperti Nyonya Muda.
“Maaf, Mbak, tapi itu suami saya dan cewek yang bersamanya itu cuma babysitter anak saya,” kujelaskan dengan memasang senyum ramah. Tentu saja aku tidak marah sama pelayan, toh, memang kalau aku di posisinya saja akan merasa seperti itu.
“Oh, astaghfirullah. Maaf, Mbak. Saya nggak tahu, lagian dandannya nggak kayak babysitter,” kata si pelayan yang memakai celemek merah hati itu.
“Cantik, sih … tapi, kok, kayak kegatelan gitu, ya?” Mungkin dia baru sadar kalau aku masih ada di sini, mendengarkan nyinyirannya.
“Oh, yampun, Mbak. Maaf kalau saya lancang.” Dia buru-buru memasang ekspresi tidak enak hati.
“Tapi serius, deh, Mbak. Mbak ini harus hati-hati sama cewek kayak dia. Bukannya mau ngejelekin suami atau menghasut, tapi mencegah lebih baik daripada mengobati, Mbak. Mana suami Mbaknya juga ramah banget lagi!”
“Nggak apa-apa, Mbak.” Aku tetap melempar senyum. Mencegah? Aku rasa itu sudah terlambat. Kata orang-orang, pria yang sudah ketahuan selingkuh, akan seterusnya seperti itu. Ya … bukannya aku menghakimi masa depan orang yang memang berniat bertaubat, lagian itu juga kata orang lain. Aku harap Mas Joko bisa taubat suatu hari nanti.
“Ih, Mbaknya jangan bilang nggak apa-apa kayak gitu. Lebih baik waspada, Mbak.”
Aku mengangguk saja. karena tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini, aku langsung ke intinya saja. “Mbak, saya mau nambah pesanan, dong. Tolong tambahin es jeruk peras satu gelas, ya, Mbak.”
“Oh, boleh, Mbak. Saya antarkan dulu pesanan ini, ya.”
“Sini, biar saya aja, Mbak. Sekalian mumpung saya di sini. Mbak siapkan aja tambahan pesanan saya tadi.” Aku mengambil alih nampan yang berisi tiga mangkuk soto bathok.
“Serius, Mbak? Aduh, sayanya jadi nggak enak.”
“Nggak apa-apa, Mbak.” Akhirnya pelayan itu pergi. Sekarang, giliranku untuk melancarkan aksi. Aku menaruh sebotol minyak kayu putih berukuran sedang yang tadi aku beli di apotek ke dalam satu mangkuk yang nanti akan diserahkan ke Yanti. Biarkan dia mabuk minyak kayu putih, selagi bukan baygon atau jenis obat tikus, dia masih bisa hidup.
Usai mencampurkannya, aku tidak langsung menghampiri mereka. Aku tunggu pelayan tadi dan begitu dia datang, aku menyerahkan lagi nampan itu.
“Oh, ya, Mbak. Mangkuk ini—“ Kutunjuk mangkuk yang sudah kucampur dengan minyak kayu putih. “Kasih ini ke babysitter itu, ya, Mbak. Soalnya ini dua mangkuk lain adalah pesanan khusus dengan rasa yang berbeda.”
Aku asal saja memberi alasan, tetapi pelayan itu nurut-nurut saja. Wah, aku tidak sabar buat lihat muka Yanti yang mabuk minyak kayu putih.
Kubilang ingin pergi ke toilet dulu, padahal aku pergi ke pintu belakang dan putar jalan supaya masuk dari pintu depan.
Oh, iya. Aku sebenarnya beli dua botol minyak kayu putih dan botol yang sudah kosong itu aku buang jauh-jauh. Jadi, aku punya alibi yang kuat kalau mereka menuduhku.
Saat aku sampai di meja mereka, tampaknya Mas Joko sedang mencariku. “Kamu, kok, lama banget, Ma?”
“Ngantre, Pa. Apoteknya lagi rame.” Aku menjawab santai saja.
“Untung pas banget pesanannya datang.” Mas Joko menatap Yanti yang duduk di depannya. “Ayo, dimakan, Yan.”
Aku tidak peduli dengan sikap Mas Joko, setidaknya untuk saat ini. Aku menunggu reaksi Yanti dan ….
Uhukk uhukk ….
Yanti terbatuk hebat sampai matanya memerah. Aku berusaha untuk tidak tertawa, tapi sepertinya wajahku sekarang merah padam karena sekeras mungkin untuk menahan tawa.
“Yanti, kamu kenapa?!” Mas Joko terlihat khawatir, dia menyodorkan tisu dan menyuruh Yanti minum.
Aduh … manisnya babysitter suamiku ini.
Aku menarik satu sudut bibir, menatap sinis mereka berdua.
“Ini … kok rasanya aneh banget, Mas?”
Yanti mengibaskan tangan ke wajahnya.
“Aneh gimana?” tanya Mas Joko.
“Rasanya kayak minyak kayu putih?” Perempuan berambut pirang karena cat itu tampak ragu. “Pokoknya aneh bangetlah!”
“Mana mungkin ada soto rasa minyak kayu putih, Yan?” Aku bersuara. “Restoran ini udah jadi tempat langgananku dan Mas Joko dari dulu. Nggak pernah, tuh, ada yang rasa-rasa aneh. Iya, nggak, Mas?” Aku tersenyum ke arah Mas Joko.
“Iya, bener kata kamu, Ma. Mana mungkin rasanya aneh. Restoran ini juga terkenal dengan cita rasanya.” Tentu saja Mas Joko berkata begitu, restoran ini milik saudara dekat dia, yang pasti Mas Joko akan menjaga nama baik restoran soto bathok ini.
“Tapi, Mas.” Yanti melirik ke arahku dan kutatap dengan senyum tanpa dosa. “Kalau kalian nggak percaya, coba aja, nih!” serunya lantang. Dasar perempuan minim attitude! “Bu, Ibu aja yang cicipin kalau nggak percaya!”
“Buat apa aku nyobain makanan kamu, Yan? Aku juga punya sendiri, kok.” Dengan santai aku menyeruput kuah sotoku. “Enak banget, loh, ini!” Sengaja aku berbicara dengan sedikit bernada meledek.
“Ma, kamu tadi beli minyak kayu putih, ‘kan?” Mas Joko mulai menaruh curiga. “Kamu nggak apa-apain makanan Yanti, ‘kan, Ma?”
Tidak kusangka kalau Mas Joko yang pertama kali menuduhku alih-alih Yanti.
“Kamu keterlaluaan, Mas!” Segera aku keluarkan minyak kayu putih yang tadi aku beli. “Lihat, nih! Masih tersegel! Kalau aku yang ngelakuin apa yang kamu bilang tadi, ngapain aku masuk lewat pintu depan? Apoteknya ngantre, kalau nggak percaya, lihat aja sendiri sana!”
Aku melipat tangan di depan d**a. Sebenarnya aku tidak terlalu marah, justru aku sangat menikmati permainan ini.
“Oke, oke … aku minta maaf. Aku nggak bermaksud nuduh kamu, Ma.”
Tetap aku abaikan. Tiba-tiba Yanti berdiri, dari sorot matanya aku bisa lihat dia menatap jengkel padaku, dan tentu aku abaikan.
“Saya mau ke toilet dulu, Mas, Bu.”
Kami mempersilakannya setelah memesan soto lagi untuknya. Kali ini aku merasa puas melihat kekacauan Yanti. Ini belum apa-apa, Yan, semakin kamu dan Mas Joko berulah, aku akan membalas dengan cantik seperti tadi.
***
“Kamu ini kenapa, sih, Ma? Tumben banget jadi lebih pendiam hari ini. Kamu sakit?” Mas Joko bertanya, mungkin suamiku itu baru peka karena sejak keluar dari rumah makan, aku tidak mengajaknya ngomong.
Bahkan aku hanya menyahut omongannya dengan mengangguk atau menggeleng saja.
Masa bodoh! Aku benar-benar jengkel kali ini. Ternyata toiletnya itu ramai sekali, antreanku jadi lama. Saat aku balik lagi, mereka sudah selesai makan dan berada di mobil. Kata Mas Joko aku terlalu lama dan mereka berniat untuk meninggalkan aku kalau dalam 5 menit tidak kunjung datang.
Meskipun aku tahu kalau itu hanya candaan Mas Joko saja, aku masih saja kesal. Bagaimana tidak? Sudah mengantre lama, pas balik ke mobil ternyata di babysitter baru itu malah molor. Sudah begitu Ziva nangis di gendongan Mas Joko.
Waktu itu aku marah dan hendak melabarak Yanti yang enak-enakan tidur di kursi mobil, tetapi hal yang bikin aku semakin meradang adalah Mas Joko justru bilang, “Nggak usah dibangunin, Ma. Yanti tadi bilang kalau dia ngerasa pusing. Mungkin mabuk darat. Biarinlah, wajarin aja. Ini, ‘kan, masih menjadi hari pertamanya.”
Serasa ingin aku lindas itu bibir suamiku pake truk molen! Astaghfitrullah …. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan suamiku ini. Jika memang mereka punya hubungan khusus, tidak perlu mencari alasan yang tidak masuk akal seperti ini. jelas-jelas si Yanti baik-baik saja sejak tadi.
Oh, mungkin sebenarnya dia mabuk minyak kayu putih?
“Kamu marah?” tanya Mas Joko lagi, menyadarkanku dari lamunan tentang kejadian beberapa menit yang lalu.
“Buat apa aku marah, Mas?” Akhirnya aku buka suara juga, tapi jelas suaraku terdengar ketus dan sepedas habis makan cabe 20 biji.
Mas Joko menghela napas panjang, seharusnya aku yang merasa frustrasi, bukan dia. Laki-laki ini benar-benar pintar berakting. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya bisa jatuh juga. Aku tidak bodoh, Mas. Lihat saja nanti gimana akhirnya.
“Kamu kelihatan kesel banget, Ma.” Dari sudut mataku, Mas Joko melirik ke arah Yanti lewat kaca spion. “Kalau soal Yanti, maklumi sajalah, Ma. Dia mungkin capek karena perjalanan jauh.”
“Aku nggak ngomong apa-apa, loh! Kamu dari tadi ngebela Yanti seolah aku itu majikan yang jahat!” Aku mengelus punggung Ziva yang sedang tidur di pangkuanku, sepertinya dia sedikit terganggu karena suaraku yang mendadak meninggi.
Aduh, kalau teringat saat balik dari apotek, terus Ziva nangis dan babysitter-nya lagi tidur, emosiku makin melunjak. Aku yakin kalau Yanti malas-malasan kerjanya. Mabok kendaraan apanya? Jelas-jelas mukanya seger gitu!
“Nggak gitu, Ma—“
“Udahlah, Pa. Fokus aja nyetirnya! Aku ngantuk, mau tidur dulu. Babysitter-nya aja yang seharusnya jagain Ziva anteng tidurnya kayak bos!” Sengaja aku meninggikan suara agar Yanti terganggu, tapi dia hanya mengulet santai. Dasar! Perempuan tidak tahu diri!
Aku tidak bisa tidur, tetapi tetap memejamkan mata. Sampai ketika kami sudah sampai ke rumah, aku menunjukkan kamar yang nantinya akan ditempati Yanti.
“Yan, kamu tidur di sini, ya.” Aku menunjuk pintu kamar bercat putih. Kamar itu dekat dengan dapur, kemudian aku membukanya. Luas kamarnya sedang, tidak terlalu sempit.
“Hm … jadi aku tidur di sini, Bu?”
“Iya, kenapa? Kamu nggak suka?” Kulihat Yanti yang mengerutkan hidungnya.
“Ya, lumayanlah.” Dia melihat ke sekeliling rumah. “Kalau kamar Mbak dan Mas Joko di mana?”
Buat apa dia tanya kamar kami?!