Bab 5
Lancangnya Babysitter-Ku
“Hm … jadi aku tidur di sini, Bu?”
“Iya, kenapa? Kamu nggak suka?” Kulihat Yanti yang mengerutkan hidungnya.
“Ya, lumayanlah.” Dia melihat ke sekeliling rumah. “Kalau kamar Mbak dan Mas Joko di mana?”
Buat apa dia tanya kamar kami?
Kini dia pun mulai memanggilku dengan sebutan, Mbak. Ah tapi hal itu tak masalah sih bagiku.
Aku tidak ingin curiga untuk hal yang tidak berdasar dan cenderung berlebihan seperti ini. Namun, bukan berarti aku tidak akan waspada. “Di lantai dua berdampingan sama kamar Ziva.” Aku menjawab sekenanya saja, toh, nanti juga dia bakalan tahu setiap sudut rumah ini.
“Oh … pasti kamarnya lebih besar dari kamar saya, ya, Bu?” Yanti cengengesan, tetapi entah mengapa aku melihat kilat sinis di mata dan nadanya. “Ya, wajar aja, sih. Saya, ‘kan, pembantu.”
Dia mengibaskan rambut pirangnya seolah yang barusan dia katakan adalah hal yang patut dibanggakan.
“Kamu bisa tanya sama saya kalau ada yang bingung.” Sebelum aku angkat kaki dari hadapan Yanti, aku berkata, “Perlu kamu ingat kalau kamu ini masih dalam tahap percobaan, jadi tolong jaga sikap kamu, Yanti.” Harus ada penegasan agar dia tahu posisinya di rumah ini.
Tanpa menunggu respons dari perempuan itu, aku melangkah pergi menuju kamarku. Rasanya lelah sekali, lebih kepada rasa lelah di hatiku yang harus menghadapi babysitter yang mungkin akan menjadi ancaman bagi kehidupan rumah tanggaku.
Sesampainya aku di kamar, Mas Joko sedang santai tiduran dengan satu tangan memainkan ponsel dan tangan lainnya menyangga kepala. Di sampingnya ada Ziva yang juga masih tertidur. Sepertinya anak itu juga kelelahan akibat perjalanan tadi.
“Mas,” panggilku. “Boleh bicara sebentar?” Aku duduk di ujung ranjang hingga sisi yang di tempati Mas Joko melesak.
“Ada apa?” Dia menjawab tak acuh, hanya melirik sebentar sebelum akhirnya kembali sibuk pada hapenya.
“Soal Yanti. Aku masih harus mengawasinya, menilai apakah dia pantas jadi babysitter di rumah ini. rasanya aku kurang sreg sama sifat dan tingkahnya.” Aku harus jujur dari awal. Aku memang tidak masalah jika harus melawan Yanti, tetapi lebih baik jangan menerima pertarungan begitu saja. Ada Ziva jangan sampai dia merasa tersakiti akibat orangtuanya.
Mas Joko mengembuskan napas kasar. Dia beranjak duduk dana hapenya dia taruh sembarangan. Sebelum ini aku mengira kalau dia sedang asyik chattingan dengan ceweknya di sosmed atau justru dengan Yanti.
“Kamu itu—jangan dibikin ribet, deh, Ma. Kita udah jauh-jauh ngejemput Yanti, tapi kamu malah seenaknya komentar nggak nyamanlah, nggak sukalah. Duh, Ma … aku jamin Yanti itu orangnya baik, kok.” Dia berkata dengan sangat yakin. Entah apa yang membuatnya sebegitu semangat saat mengatakan perempauan itu adalah orang baik.
“Mas nggak lihat penampilannya?” Aku melirik Ziva, takut-takut perbincangan kami jadi mengganggu tidurnya.
“Kamu beneran nggak masalah sama dia? Asal kamu tahu aja, Mas. Dia aja udah bersikap seenaknya sama aku, sering nggak dengerin waktu aku ngomong.” Berusaha aku tekan suara agar tidak terlalu keras.
“Jadi kamu menilai orang dari penampilannya doang? Jangan gitu, lah, Ma! Kita nggak bisa menilai orang dengan seenaknya hanya karena dia berpenampilan nggak sesuai sama selera kita. Lagian Yanti bukannya nggak dengerin kamu, tapi mungkin karena dia masih malu karena hari pertamanya.”
Benar-benar! Sungguh keterlaluan, dia. Padahal aku jelas lihat gimana Yanti yang nurut-nurut aja sama Mas Joko, sedangkan kalau aku yang ngomong, dia seolah tidak menganggapku ada. “Yanti bisa akrab sama kamu, tapi nggak bisa sama aku.” Aku mengendus sinis, kemudian beranjak bangun. “Aku akan tetap ngawasin dia. Kalau ada yang dia perbuat salah dan mencurigakan di rumah ini, aku nggak akan segan-segan buat memulangkan Yanti!”
Aku tahu setelah ini suamiku akan marah, tetapi aku juga bisa marah. Kuabaikan perasaan sesalku dan melangkah menuju kamar mandi.
Malamnya, tepat di pukul 9 aku melihat Yanti yang baru saja keluar dari kamar Ziva. Sepertinya dia baru selesai menidurkan anak itu.
“Ziva udah tidur, Yan?” tanyaku seraya menghampiri.
"iya Bu."
"Baguslah kalau begitu. Aku minta kamu juga siap siaga kalau tengah malam mungkin Ziva bisa nangis. Meskipun kamu ada di lantai bawah, bukan berarti kamu bisa malas-malasan buat menghampiri Ziva kalau dia nangis tengah malam."
"Jadi saya harus lari-lari pas tengah malam buat nenangin Ziva yang nangis? Bukannya itu terlalu buang waktu? Saya ya ada di kamar sebelah kamarnya zifa, mungkin akan lebih cepat--"
"Kamu lancang sekali ya?" potongku.
"Kamu harus tahu posisi kamu dan seharusnya kalau aku bilang begini ya kamu harus nurut. Kamu pikir disini siapa majikan kamu?"
Sebenarnya aku bukan tipe majikan yang akan berlaku semena-mena terhadap pembantu di rumah ini, tetapi melihat perempuan itu yang sama sekali tidak memiliki etika dan itikad baik dalam bersikap, rasanya gemas sekali. Hitung-hitung untuk membuat dia sadar dan belajar tentang bagaimana harus bersikap.
Yanti justru terkekeh. "Bercanda, Bu. Kenapa, sih, sulit banget buat saya ajak bercanda? Jangan terlalu tegang dan keras sama saya, saya ini hatinya lembut, loh, Bu. Kalau sakit hati bisa-bisa saya nangis semalaman penuh."
Dia seolah menganggap ucapanku hanya bahan bercandaan saja. Menghela napas panjang, Aku berusaha untuk menenangkan diri agar tidak marah-marah di depan kamar anakku.
"Ya udahlah. Intinya kamu harus peka sama Ziva. Saya mau ke dapur dulu, pastikan dia tidur dalam keadaan aman."
Setelah mengatakan itu, aku bergegas turun ke bawah untuk mengambil teko air putih, persediaan di kamar jika haus tengah malam.
Sebenarnya aku bisa menyuruh Yanti untuk mengambilnya, tetapi aku juga harus mengambil obat tidur yang berada di kotak obat di lemari dapur. Belakangan ini aku terserang insomnia berat, sepenuhnya bukan karena menulis, itu karena beban pikiran yang sering bertambah dan membuat aku tidur dalam keadaan tidak tenang.
Aku tidak pernah membicarakan ini kepada suamiku atau keluarga yang lain. Aku rasa semuanya akan baik-baik saja jika bisa kontrol emosi dan sesekali minum obat tidur jika kondisiku kurang memungkinkan.
Tidak lama aku kembali dari dapur dan menuju ke kamar. Begitu sampai di sana, tidak kusangka pemandangan tidak mengenakkan justru lebih dulu menyapa.
Pintu kamarku terbuka sedikit padahal tadi Aku pastikan sudah tertutup sempurna.
Di sana ada Mas Joko yang sudah terlelap. Karena rasa penasaran, bergegas aku membuka pintu kamar dan kudapati Yanti beraddua di sana.
"Kamu ngapain di sini, Yanti?"
Aku sempat menangkap raut ekspresi terkejut dari Mas Joko, tetapi itu tidak berlangsung lama karena Yanti lebih dulu berujar, "Mas Joko tadi memanggil saya, Bu."