Bab 4

1124 Words
Ratu tidak bisa tinggal di rumah ini terus. Bisa saja ayah tirinya itu mengulangi perbuatannya kemarin, atau mungkin bahkan lebih parah. Ratu segera mengemasi barang-barangnya ke dalam tas ransel yang tidak terlalu besar. Ia membawa beberapa lembara pakaian, dan beberapa buku pelajarannya. Setidaknya Ratu masih punya sedikit uang simpanan dari hasil kerja part time, dan uang kiriman dari ayahnya masih tersisa walau tak seberapa. Walau setelah ini Ratu harus cari cara agar bisa bertahan hidup. Ratu melihat jam yang menggantung di dinding, jaru pendeknya sudah berada di angka 11. Akhirnya dengan langkap pelan, Ratu menutup pintu kamarnya agar tidak menimbulkan suara. Ia yakin orangtuanya pasti sudah tidur. Saat sampai di pintu ruang tamu, ia lega setidaknya acara kaburnya malam ini berjalan lancar, namun tak sampai di situ, Ratu harus memutar otaknya agar membuka gerbang rumahnya tidak menimbulkan suara. Sementara kalau ditarik suara gerbang yang terbuat dari besi itu akan terdengar nyaring. Ia takut orangtuanya terbangun. Sambil memanjat doa, Ratu membuka gerbang itu dengan pelan, agar bunyinya tidak terlalu besar. Setelah keluar rumah pekarangan ia merasa lega. Namun, Ratu tidak tahu harus ke mana, mencari kost? Bahkan, Ratu tidak tahu di mana tempat kost. Tidak mungkin Ratu naik taksi yang ada uangnya habis untuk ongkos taksi. Memesan ojek online pun tidak bisa karena ponselnya sudah dijual oleh Laras. Entahlah dengan bermodal nekat, Ratu terus berjalan menyusuri kota yang sudah gelap, hanya diterangi lampu jalan, dan gemerlapnya bintang di atas sana. Dan berharap agar dia tidak bertemu dengan preman yang berada di malam hari. Jujur Ratu takut tapi dia melawan rasa takutnya. "Eh adek manis, mau ke mana malam-malam gini?" tanya seorang laki-laki yang bertubuh tegap dengan banyak tato di tangannya. Satu satu dari mereka hendak meraih tangan Ratu, tapi ia langsung berlari kencang. Kedua preman itu tidak membiarkan Ratu kabur, mereka mengejar. Jalanan cukup sepi, ini bukan tempat lalu lalang banyak kendaraan, apalagi ini sudah larut malam. Napas Ratu tersengal-sengal, kakinya semakin lemas, dan punggungnya sudah terada berat akibat membawa ransel yang berisi pakaian, tapi Ratu tidak ingin berhenti, dia terus berlari seraya merapalkan doa agar pertolongan segera datang kepadanya. Ide gila pun terlintas di pikiran Ratu, daripada ia ditangkap oleh dua preman itu, lebih baik dia menabrakkan dirinya ke mobil yang lewat. Kebetulan sebuah mobil tengah melintas, dan Ratu langsung berlari ke arah mobil di tengah jalanan, hingga dirinya terpental jauh. Kedua preman yang melihat aksi tabrakan itu langsung kabur, karena mereka tidak mau terlibat apalagi sampai berurusan dengan polisi. *** Ratu terbangun di sebuah kamar yang cukup luas, kamar yang rapi dan wangi, tapi ini tempat asing untuk dirinya. Seingat Ratu, tadi dia dibarak mobil setelah itu tidak sadarkan diri. Ia meringis, melihat kepala, kaki, tangannya diperban, dan rasa itu masih terasa sekali. "Kak Dev?" ujar Ratu setelah melihat seseorang masuk ke kamarnya. Ya, pria itu adalah Devan. Pria yang dia cium pipinya ketika pertama kali bertemu. Devan menatap datar ke arah Ratu. "Kamu tadi sengaja nabrakin diri?" tanya Devan seraya melipat kedua tangannya di d**a. Ratu mengangguk. "Iya, soalnya tadi aku dikejar sama preman, akhirnya aku langsung nabrakin diri ke mobil yang lewat." "Kamu enggak mikir, hal yang kamu lakuin tadi sama aja bunuh diri." Ratu mengangguk. "Aku enggak mau diperkosa." Devan menghela napas. "Tadi aku langsung bawa kamu ke sini, dan panggil dokter. Malas kalau harus ke rumah sakit lagian luka kamu enggak separah itu." "Makasih, ya." "Mau aku antar pulang enggak?" Mendengar kata pulang membuat Ratu menegang, demi Tuhan Ratu takut kembali ke rumah itu. "Bantu aku cariin kost aja." "Kost?" "Iya, aku lagi kabur, karena di rumah ada ayah tiri, aku takut." Devan cukup kasihan kepada Ratu, di usia dia yang seharusnya bersenang-senang, tapi beban yang dipikul cukup berat. Tidak mudah untuk anak 15 tahun menghadapi kenyataan hidup sepahit ini. Namun, Ratu masih bisa tegar. Walau Devan paham, dari raut wajahnya dia menyimpan sejuta kesedihan. "Oke, sekarang kamy istirahat di sini dulu, besok biar saya bantu cari." Devan langsung kembali ke kamarnya, merebahkan badannya yang lelah akibat bekerja seharian. Ia menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan Ratu, gadis malang yang berjuang melawan kerasnya kehidupan. *** Setelah selesai bersiap-siap, Devan langsung keluar dari kamarnya, dan di atas meja makan sudah tertata banyak menu sarapan. Gadis yang masih memiliki luka di tubuhnya itu kini sudah rapi dengan seragam putih birunya, dan bisa melakukan ini semua tanpa diperintah. Ada nasi goreng yang wangi kini menarik perhatian Devan, ia pun menarik kursinya lalu mencicipi makanan itu, dan rasanya sangat enak sekali, bahkan lebih enak dari nasi goreng buatannya. Ratu membawa dua gelas air putih, lalu duduk di depan Devan. "Ini sebagai ucapan terima kasih karena Kak Dev udah baik." Tanpa berkata apa-apa, Devan menyelesaikan makananya begitu pun dengan Ratu. "Kamu mau sekolah?" Pertanyaan bodoh sebenarnya karen saat ini Ratu sudah rapi dengan seragamnya, kalau bukan sekolah memang apa tujuannya. "Iya, soalnya sebentar lagi ujian nasional." Devan beranjak dari tempatnya. "Cepat selesaikan sarapannya, biar saya yang antar ke sekolah." Ratu senang mendengar hal itu, setidaknya dia tidak perlu mengeluarkan ongkos untuk berangkat ke sekolah. Dengan cepat dia menghabiskan sarapannya lalu menyimpan peralatan bekas makan ke wastafel. Ini adalah pertama kalinya semobil dengan Devan. Pria kaku yang mengobrol hanya sedikit saja, tapi setidaknya dia baik. Di sepanjang perjalanan Ratu hanya menatap keluar jendela, begitupun Devan terfokus pada jalanan yang padat. Setelah hening beberapa saat, akhirnya Ratu mengeluarkan pertanyaan. "Bisa enggak nanti temani cari kost?" "Lihat nanti," ujar Devan seperlunya. Setelah sampai di sekolah, Ratu langsung turun dan tidak lupa berpamitan dengan Devan, lalu ia pun segera berangkat ke kantornya. Hari ini dia akan meng-interview ulang si Ara. Omong-omong tentang Ara, perempuan ceroboh yang selalu Devan tolongin. Entahlah, mungkin Devan memang ditakdirkan untuk menjadi pelindung Ara dan Ratu? Setelah sampai di kantor, ternyata Ara sedang mengobrol dengan Wulan, sekretarisnya. Devan menginstrusikan agar Ara segera mengikutinya untuk masuk ke ruangan. Ara duduk di depan Devan dengan perasaan canggung, dan menegang karena dia akan diinterview langsung oleh pemilik kantor ini. Devan membaca curriculum vitae milik Ara dengan saksama, semua sudah jelas, tidak ada hal yang ingin ia tanyakan. Devan meletakkan lembaran riwayat hidup itu, lalu menatap Ara dengan tatapan tajam. "Saya malas basa-basi. CV kamu udah cukup, jadi saya malas nanya." "Itu artinya saya0 keterima?" tanya Ara dengan wajah berbinar. "Tergantung." Ara mengernyit. "Maksudnya?" "Sekarang kamu ke pantry dan buatkan saya kopi. Kalau semisal kopi buatan kamu lebih enak dari buatan mama saya, maka kamu keterima." Ara heran, baru kali ini ada orang interview tapi ujiannya suruh buat kopi, bukan psikotest atau tes tulis lainnya. Rasa kesal Ara kepads Devan semakin menjadi-jadi, kalau bukan karena Ara butuh pekerjaan ini, sudah pasti dia menyiram wajah Devan dengan kopi buatannya. "Jangan menggerutu, sana buat!" Mau tidak mau Ara langsung berdiri dari tempatnya dan menuju pantry. Kayaknya campur sianida enak nih. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD