Entah Ratu harus senang atau sedih, ketika ibunya pulang ke Indonesia setelah bertahun-tahun menjadi TKW di Hongkong.
Seharusnya Ratu harus senang, karena ibunya sudah kembali, minimal dia akan punya teman ketika sendirian di rumah.
Tapi yang buat Ratu enggak suka adalah ibunya ternyata sudah menikah lagi. Pria yang dipilih oleh sang ibu, bukan pria yang baik di mata Ratu. Entahlah dari sorot matanya memancarkan hal yang tidak enak. Entah apa, Ratu tidak tahu.
Semenjak kakaknya yang bernama Dewa sudah mendekam di penjara, dulu Dewa yang menjadi tempatnya berkeluh kesah, namun sang kakak telah berada di balik jeruji besi akibat kesalahan yang ia buat.
Saat Ratu rebahan di kasurnya, dia mendengar ada seseorang yang mengetuk pintunya secara bertubi-tubi.
"Siapa?" Tidak ada jawaban, namun saat pintu itu terbuka terlihat sesosok pria yang tubuhnya jauh lebih tinggi dari Ratu. "Mau apa?"
Pria itu mendorong Ratu hingga tersungkur, dan tangannya segera mengunci pintu.
"Kamu cantik, saya suka."
Ratu berusaha bangun, namun tubuhnya langsung didekap oleh laki-laki itu. "Tubuhmu wangi."
"Tolong, Om, jangan lakuin hal b***t kepada saya!" Jujur Ratu takut, dia berteriak sekencang-kencangnya, namun tidak ada yang menolong.
Tubuh pria itu begitu kekar dan tinggi, sementara Ratu hanya anak SMP yang memiliki tubuh kecil, dia menangis, memohon kepada pria itu agar melepaskannya.
Namun, pria yang menjadi ayah tiri Ratu itu tidak cukup baik untuk melepaskannya. Tangannya menelusuk ke dalam baju Ratu, memegang yang tidak seharusnya.
"Kecil ya, sini biar Om bantu besarkan." Pria itu melempar badan Ratu di atas kasur, dan sekarang dirinya telah berada di atas.
Ratu hanya menangis sejadi-jadinya, berharap ada pertolongan dari Sang Pencipta.
"Tolong, Om, jangan." Tangisan Ratu sama sekali tak diindahkan oleh laki-laki itu.
Saat bibir pria itu hendak menciumnya, tiba-tiba ratu meludahi wajahnya.
Saat pria itu tengah membersihkan saliva di wajahnya, Ratu langsung bangkit, dia meraih vas bunga yang tidak terlalu besar di sudut kamarnya, kemudian dia lempar kepada ke arah pria itu, dan tepat sasaran.
Ratu tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung keluar dari kamarnya, ingin berlari sejauh mungkin, tidak berani untuk pulang ke rumah itu. Dia tidak sanggup kalau harus bertemu dengan pria itu.
Saat sampai di pintu ruang tamu, dia berpapasan dengan sang ibu yang baru datang.
"Mau ke mana kamu, Ratu?"
"Pergi, Ma. Suami Mama mau perkosa Ratu," ujar Ratu di sela isak tangisnya.
"Enggak usah drama dan ngarang cerita, mana mungkin dia kayak gitu!" Sang ibu langsung menarik Ratu untuk kembali ke dalam. "Udah Mama lapar, masak sana."
"Ma, percaya sama Ratu."
"Bilang aja kamu mau main. Udah sana masak."
Ratu hanya bisa menuruti ucapan Laras tanpa bisa memberontak, entahlah nyali Ratu terlalu kecil saat melihat raut amarah dari orang dewasa.
Dia ditakdirkan memiliki keluarga yang sangat berantakan, dan itu membuat Ratu trauma, sering melihat hal-hal kasar yang dilakukan oleh ayahnya dulu, sering melihat ibunya membawa pulang selingkuhan ke rumah.
Dulu dia punya Dewa, tapi sekarang Ratu benar-benar sendiri.
Setelah selesai memasak, Ratu langsung menata makanan di meja makan. Dia memasak cah kangkung, dan ayam bakar kecap, sesuai bahan masakan yang ada di kulkas.
"Apaan ini, asin banget. Kamu itu perempuan harus bisa masak yang enak." Laras memuntahkan cang kangkung yang masuk ke mulutnya. "Masak lagi, biar enak."
Selain patuh, tidak ada yang bisa Ratu lakukan sekarang.
***
Sore ini Ratu baru selesai kelasnya, seperti biasa Raka akan menawarkan untuk mengantarmya pulang, tapi selalu ditolak, dengan alasan Ara enggak mau jadi benalu.
Padahal menurut Raka, itulah pertemanan saling menolong ketika teman membutuhkan.
"Gue ada interview, Rak. Mau ke kantornya langsung."
"Ya udah gue antar, ya, Ra. Lumayan irit ongkos." Tidak melihat ada pergerakan dari Ara, Raka langsung menarik temannya ke parkiran.
Tiga tahun menyimpan rasa dan bersembumyi di balik kata teman membuat Raka terbiasa. Ya setidaknya mereka masih bersama, walau hanya sebatas teman. Jujur Raka menginginkan lebih, tapi setiap kali Raka menyatakan cinta, Ara selalu menertawakannya, seakan ucapan Raka hanya hanya lelucon untuk Ara. Lagipula, gadis itu tidak memiliki perasaan yang sama kepada Raka.
Entahlah, tipe seperti apa yang Ara suka, Raka pun tidak tahu. Pasalnya, selama mereka berteman, Ara tidak pernah dekat dengan laki-laki mana pun, jika didekati dia tidak akan menanggapi.
Tapi Raka percaya suatu saat nanti Ara akan jatuh cinta kepada Raka, dan suatu saat nanti mereka menjalin cinta sampai akhir hayat.
Semoga saja.
Suatu saat nanti kita duduk berdua di pelaminan, sekarang di motor dulu.
Saat asik mengendarai matic-nya sambil berkhayal, tiba-tiba Raka oleng, dia menabrak pengendara lain yang ada di depannya. Entahlah Raka sama sekali tidak sadar bahwa ada pengendara di depannya.
Kedua motor itu pun terjatuh, dan Ara terpental jauh di trotoar.
"Astaga, bisa bawa motor enggak sih?" omel ibu-ibu yang menjadi korban.
Mereka langsung ditolongin oleh warga yang ada sekitar itu.
"Pokoknya ganti rugi biaya lecet!"
Raka tidak memperhatikan ucapan wanita itu, yang ada di pikirannya sekarang Ara yang menahan perih. Ia langsung menghampiri Ara.
"Ra, obatin dulu, ya. Lo lecet banget."
Ara tidak sendiri, Raka pun terluka karena dia terbentur di aspal.
"Enggak apa-apa, Rak. Lo urus aja ibu itu yang minta ganti rugi, sekalian obatin luka lo. Gue ke kantor naik taksi aja."
Saat ada taksi yang lewat, Ara langsung menyetop.
Raka jadi merasa bersalah, harusnya tadi dia tidak melamun pasti akan fokus.
Sekarang Ara terluka karenanya.
***
Seharusnya lima belas menit yang lalu interview dengan salah satu calon pegawai magang, tapi sampai sekarang belum menunjukkan batang hidungnya.
Baru kali ini ada atasan yang harus menunggu calon pengawai untuk wawancara.
"Belum datang, Wul?" tanya Devan kepada sekretarisnya itu.
Wulan menggeleng. "Belum, Pak. Udah coba saya hubungi tapi tidak aktif."
Devan beranjak dari tempatnya. "Oke, Wul. Mungkin dia emang enggak minat."
Wulan mengangguk. "Ya udah, Pak, saya kembali kerja lagi."
Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu, dan Devan langsung menyuruh masuk. Saat gadis itu menampakkan diri. Terlihat wajah yang tak asing.
"Kamu?" ujar Ara dan Devan secara bersamaan.
"Kamu yang mau wawancara?" tanya Devan.
Ara berjalan dengan pincang ke arah Devan, sambil memegang sikunya yang terluka.
Devan yang melihat hal itu langsung menyuruh Ara untuk duduk di sofa, dan dia mengambil kotak P3K yang tersedia di laci mejanya.
"Saya bisa sendiri," ujar Ara.
Devan menatap Ara sekilas. "Diam, gadis ceroboh." Devan membersihkan luka di siku Ara dengan alkohol swab, yang membuat Ara berteriak karena saking perihnya.
"Perih, enggak usah."
"Diam." Kemudian Devan menetesi obat merah ke luka tersebut dan terakhir menempelnya dengan plaster. "Biar enggak infeksi."
Selanjutnya, Devan melakukan hal yang sama ke bagian kaki Ara yang terluka.
"Thanks," ujar Ara setelah Devan selesai mengobati lukanya.
Devan tersenyum miring. "Ternyata kamu tahu berterima kasih juga ya, saya pikir kamu gadis sombong yang enggak tahu balas budi."
Ara menghela napas. "Saya juga manusia."
"Oh manusia, saya kira kamu alien."
Rasanya Ara ingin menjambak rambut Devan kalau saja dia bukan bos di perusahaan ini.
"Jadi gimana, Pak? Saya masih bisa wawancara, kan?"
Devan menggeleng. "Kamu udah telat, jadi kita atur ulang lagi jadwalnya. Saya enggak suka manusia yang ngaret."
"Tapi, Pak?"
"Kamu boleh keluar sekarang!"
"Pak—"
"Saya masih ada kerjaan. Silakan keluar."
Ara beranjak dari sofa. "Dasar manusia nyebelin," gumam Ara.
"Saya masih bisa dengar."
"Enggak, tadi saya bilang Bapak itu ganteng banget." Ara langsung keluar dari ruangan itu dengan perasaan amarah. Sudah bela-belain datang dengan keadaan kayak gini, malah disuruh re-schedule. Apes banget.
Iya ganteng ganteng serigala.
***