Ara memotong rambutnya lebih pendek, karena ia tidak suka dengan rambut panjang, terlalu risih menurutnya, apalagi rambut pendek menurut dirinya terlihat lebih segar, dan keliatan lebih dewasa, serta elegan.
Hari ini adalah hari pertama ia magang di PT. Green Water, tetapi sudah ditegur oleh Devan karena cara berpakaiannya tidak disukai oleh atasannya itu, menurutnya terlalu terbuka.
Ara kesal, padahal menurutnya penampilan dia sudah lumayan terututup, hanya saja lengannya yang pendek, tetapi tidak ketat atau memperlihatkan bentuk tubuh yang berlebihan.

"Besok-besok kalau saya lihat kamu pakai pakaian seperti itu, lebih baik tidak usah datang." Devan menghela napas. "Kamu datang kerja, bukan buat gaet om-om."
Laki-laki bermulut pedas itulah Devan. Ara hanya bisa menghela napas pasrah, lalu mengangguk, padahal dalam hati ia sudah menggerutu, berbagai macam sumpah serapah sudah tertuju kepada Devan. Sejak pertemuan pertama sepertinya Devan selalu cari gara-gara, atau mungkin perasaan Ara saja.
"Dan satu lagi, saya enggak suka model rambut pendek seperti itu, kamu cari cara biar cepat panjang, saya kasih waktu seminggu, kalau dalam waktu seminggu belum panjang, enggak usah datang ke kantor."
Ara bingung sebenarnya pekerjaan Devan itu apa? Bos di kantor ini atau fashion stylist?
"Tapi, Pak. Ini gaya rambut saya, saya enggak suka rambut panjang."
"Saya juga enggak suka cewek berambut pendek." Devan tersenyum miring. "Itu terserah kamu, kalau enggak mau magang lagi di sini ya udah."
"Urusannya sama Bapak apa?"
"Saya atasan, jadi saya berhak mengatur karyawan saya."
Kalau saja mencari tempat magang semudah membalikkan telapak tangan, sudah pasti Ara keluar dari sini dan mencari tempat lain, sayangnya takdir memaksa Ara untuk terjebak dengan makhluk menyebalkan yang bernama Devan.
"Oke Bapak menang, saya akan cari cara biar rambut saya cepat panjang."
Devan tersenyum penuh kemenangan. "Bagus, nanti kalau rambut kamu udah panjang jangan diikat apalagi dikuncir, lebih baik tetap tergerai."
Bahkan sampai model rambut Ara pun diatur oleh Devan, benar-benar Ara semakin kesal, kalau bukan atasannya sudha pasti Ara lembar mulut Devan dengan high heels 7 cm yang ia kenakan sekarang.
"Iya, saya paham."
"Bagus. Oh iya, tolong buatakan saya kopi, saya haus."
"Kenapa saya? Kan Bapak punya sekretaris."
"Enggak usah bantah, sana."
Dengan perasaan geram, Ara langsung ke pantry untuk meracik segelas kopi untuk Devan. Namun, terlintas ide cerdik di pikiran Ara, bukan gula yang ia taburi ke dalam kopi itu, melaikan garam dengan takaran yang banyak. Ia mengaduk dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.
Setelah selesai, ia langsung kembali ke ruangan Devan, dan meletakkan secangkir kopi asin tersebut di hadapan Devan.
"Udah kan ya, Pak? Kalau gitu saya balik kerja dulu."
Namun, belum sempat Ara melangkah menjauh, suara Devan kembali terdengar. "Kata siapa? Duduk, kamu temani saya minum kopi."
Mampus.
"Maaf, Pak, saya harus kembali kerja, lagian saya juga kebelet kentut sekarang. Emang Bapak mau kalau saya kentuti?"
"Eh enggak sopan, ya udah sana!"
Ara pun langsung keluar dari ruangan Devan dengan perasaan bahagia, setidaknya kopi itu sedikit membalaskan rasa kesalnya untuk Devan yang sok berkuasa.
Setelah Ara keluar dari ruangan, Devan mengalihkan pandangannya dari laptop ke kopi yang tersaji di atas meja.
Seteleh memastikan kopi itu tidak terlalu panas, Devan pu meneguknya, tetapi setelah itu ia semburkan keluar karena rasa asin yang menyerang lidahnya, ia segera mengambil tisu yang ada di sebelah untuk melap mulutnya.
"Chloe Xiomara, kamu membuat saya kesal!"
***
Saat sampai di divisi finance, Ara langsung dihadapkan dengan setumpukan berkas yang harus ia rangkum ke komputer yang ada di hadapannya. Nasib pegawai magang memang seperti ini, mau protes juga enggak bisa, karena para senior lebih berkuasa.
Rinda yang merupakan penanggung jawab magangnya, langsung menghampiri Ara di kubikel.
"Abis dari mana? Bukannya kerja malah jalan-jalan."
"Maaf, Mbak, tapi tadi dipanggil samw Pak Devan."
Mara Rinda hampir keluar, karena seumur-umur Rinda belum pernah dipanggil oleh Devan. "Jadi kamu mau tebar pesona ya? Cih, anak kecil bisa apa gaet hati bos?"
Ara memutar bola matanya malas, karena ia tidak bisa berkonsentrasi. "Mbak digaji buat kerja bukan buat ngerumpi, kan?"
Rinda mengangguk.
"Mending sekarang Mbak balik kerja, saya mau selesaiin pekerjaan saya."
"Eh berani ya kamu nyuruh-nyuruh saya, ingat kamu cuma anak magang."
Ara menatap Rinda. "Oke, nanti saya aduin Pak Devan kalau Mbak bukannya kerja malah ngerumpi."
Rinda menghentakkan kakinya dengan kesal, kemudian kembali ke kubikelnya. Ia kira Ara akan menjadi anak magang yang patuh pada senior, ternyata ia cukup punya nyalinuntuk membalas ucapan senior.
***
Salah satu hal yang Ara suka bekerja di tempat ini, masuk jam 8 pagi, pulang jam 5 sore, jadi ia tidak perlu pulang malam, tidak tahu kalau besok, mungkin ada lemburnya.
Saat Ara sampai di depan kantor terlihat Raka yang sudah menunggunya, padahal Ara tidak pernah minta untuk dijemput.
Ara menghampiri Raka. "Rak, lo enggak usah jemput gue, tempat magang kita kan jauh dan beda arah."
"Enggak apa-apa, mumpung motor gue udah sembuh, gue janji bakal lebih hati-hati bonceng lo." Raka memberikan helmnya kepada Ara. "Ayo naik."
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sebelah motornya Raka, seseorang di dalam mobil itu menurunkan kaca. "Kalau pacaran jangan halangin jalan," ujar pria yang ternyata Devan.
Belum sempat Ara membalas ucapannya, mobil Devan sudah lebih dulu menjauh.
"Perasaan kita di pinggir, di mana letak halangin jalannya?"
Ara mengendikkan bahunya, lalu naik ke motor tersebut. "Stres orangnya, Rak."
"Iyakah? Kok di sini? Bukannya di RSJ?"
"Enggak usah bawel, cepat jalan."
Motor Raka pun melesat meninggal kantor itu.
***
Saat sampai di apartemen, Devan langsung disuguhkan oleh makanan di atas meja, dan hasil olahan tangan Ratu.
Devan cukup takjub, di saat ABG lain tinggal makan, tapi Ratu pintar membuat masakan enak.
"Kak Dev, mending mandi dulu, habis itu makan," ujar Ratu yang tengah menuangkan air putih ke gelas.
Devan langsung ke kamarnya untuk mandi dan bersih-bersih.
Setelah selesai ia langsung kembali ke Ratu dan menikmati makan berdua.
"Mama mana?" tanya Devan karena tidak melihat ibunya.
"Ke rumah Kak Kejora."
Devan hanya mengangguk. "Kamu udah tahu masuk SMA mana, Ratu?"
"Belum tahu, Kak, mau browsing dulu di internet, tapi enggak punya hape."
Devan meneguk air putih di hadapannya. "Siap-siap, habis ini kita jalan."
"Ke mana?"
"Nanti juga kamu tahu."
"Tapi nanti aku mau kerja, Kak."
Devan menggeleng, lalu beranjak dari tempatnya. "Cepat, aku enggak terima penolakan."
***