Bab 7

1024 Words
Devan membelikan iphone 11 untuk Ratu, awalnya Ratu menolak keras, tetapi Devan bersikukuh untuk membelikannya, lagipula Devan tidak akan jatuh miskin karena membelikan ponsel berlogo apel digigit itu. Juga, Devan membelikan beberapa pakaian, tas, dan sepatu untuk Ratu, karena yang Devan perhatikan milik Ratu sudah tidak layak dipakai. "Mau skin care enggak?" tanya Devan saat mereka keluar dari toko brand terkenal itu. Ratu menggeleng. "Ini aja Ratu enggak enak sama Kak Dev." "Oke, lagian kamu juga belum cukup umur, takut merusak kulit. Atau mau beli bedak bayi, minyak telon, atau perlengkapan anak kecil?" Ratu mengernyit. "Buat siapa, Kak?" "Kamu, memangnya siapa lagi?" "Ish, aku kan bukan anak kecil, Kak Dev." Devan terkekeh geli. "Masa sih? Tapi ada yang kecil itu, kayak kelereng mungkin isinya." Ratu mengikuti arah pandangnya Devan. "Ih, Kak Dev mesum." Devan langsung menarik Ratu. "Cari makan, aku lapar." "Kan tadi udah makan, Kak." "Daripada aku makan kamu, hayo!" Kebahagiaan malam ini adalah kebahagiaan yang tidak pernah Ratu rasakan semenjak perceraian orangtuanya. Setelah itu, mereka mencari tempat makan seafood di area mal itu. Sembari menunggu pesanan mereka datang, Ratu bertanya sesuatu, "Kenapa Kak Dev baik banget sama aku?" "Karena aku punya adik, dan aku anggap kamu adik aku." "Oh iya, ajarin aku pakai hape ini nanti ya, aku kan sebelumnya pake android." Devan mengangguk. Kenapa orang lain yang sama sekali enggak ada hubungan darah sama aku, bisa begitu baik, sementara keluargaku sendiri seakan tidak peduli. "Oh iya dua hari lagi, kamu ada pemeriksaan di kantor polisi, aku lapor ibu sama bapak tiri kamu." Ratu yang mendengar hal itu, langsung kaget tak percaya, dia sama sekali tidak ingin ibunya sampai masuk penjara, cukup Dewa. "Kak, please, jangan masukin mama ke penjara. Aku mohon." "Ratu, dia bersalah karena udah peralat kamu untuk meras aku." Seharusnya Ratu dari awal tidak melibatkan Devan dalam permasalahannya, kalau tahu begini lebih baik tidak usah. "Kak Devan enggak tahu rasanya tumbuh jadi anak broken home." Ratu menghela napas, berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh. "Mama dan papa aku sering bertengkar, papa yang sibuk kerja, dan mama yang selingkuh, sampai akhirnya papa marah dan sering mukul mama. Aku yang masih kecil saat itu hanya bisa menangis mendengar pertengkaran mereka, sementara Bang Dewa justru menjadi anak yang nakal." Devan terdiam mendengar cerita Ratu, tidak ada air mata yang menggenang, tetapi Devan tahu ada luka yang tercipta di balik senyuman itu. "Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk pisah, papa pindah ke luar pulau dan menikah lagi, sementara mama kerja di Hongkong. Dan Bang Dewa juga jarang ada di rumah, aku kadang merasa sebenarnya aku hidup itu untuk apa? Bahkan enggak ada alasan aku untuk bertahan, kadang terlintas aku pengin mengakhiri semuanya, tapi aku tahu itu bukan cara menyelesaikan masalah, yang ada Tuhan Murka dan aku ditempatkan di neraka." Devan mengusap pundak Ratu. "Kadang kita perlu menangis, untuk meringankan beban kita. Kalau kamu mau nangis, nangis aja, Ratu." Ratu menggeleng. "Enggak, Kak. Tolong cabut tuntutan itu ya, aku enggak mau mama kenapa-kenaoa. Aku mohon." Devan menganguk. Tak lama kemudian makanannya datang. Padahal sebelum ke sini mereka sudah makan, tetapi lapar lagi. Mereka menghabiskan makanan dalam diam, hanya dentingan sendok yang terdengar. ***  Pagi ini Ara ke kantor dengan pakaian yang lebih tertutup daripada kemarin, ia mengenakan tanktop coklat yang tidak terlalu ketat, dilapisi oleh blazer putih pucat senada dengan celana kainnya. Pagi-pagi dia sudah kesal, karena salah satu seniornya di divisi finance menyuruh Ara untuk membawakan laporan kepada Devan, pri yang paling malas ia temui akhir-akhir ini, tetapi apa boleh buat anak magang hanya bisa nurut. Setelah dipersilakan masuk, Ara pun langsung membuka pintu tersebut, dan terlihat wanita paruhbaya yang sedang duduk di sofa. "Ini, Pak, berkasnya." Setelah meletakkan berkas itu di atas meja, ia pun hendak keluar ruangan. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar ucapan wanita itu. "Nama kamu siapa?" Ara menoleh, kemudian tersenyum ramah. "Chloe Xiomara, panggilannya Ara." "Sudah punya pacar?" Ara menggeleng. "Bagus, siapa tahu kamu cocok sama Devan, anak saya. Saya pusing umur hampir 28, tapi masih jomlo, sementara adiknya aja udah nikah." Devan dan Ara yang mendengar itu langsung saling melempar pandang. Bisa gila Ara kalau dihadapkan dengan manusia menyebalkan macam Devan, laki-laki yang mulutnya pedas seperti netizen +62. Ara bergidik, membayangi kalau dirinya jika berjodoh dengan Devan. Sama halnya dengan Devan, sama sekali tidak terpikir jika ia akan menghabiskan sisa hidupnya dengan perempuan yang tidak suka rambut panjang ini. "Ma, kenal Ara aja belum, main bilang gitu aja." Kinan mendelik. "Mama punya insting yang kuat, udah deh nurut aja." "Jangan pakai insting, nanti meleset, siapa tahu Ara lebih buruk daripada istrinya Deven." Walaupun Ara tidak tahu wujud istrinya Deven, tetapi dia kesal karena dibandingkan dengan orang lain, apalagi mengatakan dirinya buruk. Ara menatap sopan dengan senyuman lebar. "Lebih baik mulut anat Ibu dicuci dulu pakai detergen, biar jodohnya enggak seret. Saya permisi." Setelah itu Ara langsung keluar dari ruangan itu dengan perasaan kesal. Rasanya dia ingin cepat-cepat mengakhiri magang di kantor ini, lama-lama Ara bisa gila dihadapkan sama manusia menyebalkan yang ada di kantor ini. Setalah sampai di ruangan, Ara langsung menempati kubikelnya. "Gue rasa emang Devan itu gay, dari gosip-gosip yang beredar dia belum pernah pacaran. Mustahil sih cowok enggak pernah pacaran, kecuali ustad bisa dimaklumi, lha dia bukan ustad," ujar salah seorang di divis keuangan yang diketahui bernama Intan itu. Ara malas mendengar obrolan gibah tipu, tapi ia juga penasaran, tidak didengar penasaran, kalau dengar bikin kuping panas. "Apalagi dia punya fisik yang oke, punya takhta yang diidamkan para wanita," ujar lawan bicaranya, Vani. Devan gay? Devan enggak pernah pacaran? Rasanya Ara ingin membuktikan sendiri apa yang menjadi perbincangan orang-orang. Tiba-tiba Rinda menghampiri dua orang yang lagi julid itu. "Udah, enggak usah bahas calon suami gue. Dia buka gay, lihat aja nanti gue bisa dapatin dia." Intan tertawa. "Mimpi lo ketinggian, Rin. Mana mungkin Pak Dev lirik orang biasa kayak kita. Dia pasti pengin dapatin istri yang sejajar sama dia." "Enggak ada yang enggak mungkin di dunia, Intan," balas Rinda tak mau kalah. Fani menimpali. "Udah ah, balik kerja, jangan rumpi aja, ketahuan bos yang ada kena masalah nanti." Mereka pun langsung baluk ke kubikel masing-masing. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD