PART. 3 FARID AL FARIZI

810 Words
Hari ke empat di rumah sakit. Ayah Steve dan Ine datang menjenguk. Steve harus mengakui ketampanannya berasal dari ayahnya. Ine ternyata tidak terlihat lebih muda dari ibu dan mamanya. "Bagaimana keadaanmu?" Farid berdiri disamping ranjang bersama Ine. "Alhamdulillah sudah membaik." Steve menjawab dengan santai saja, karena keadaannya sudah membaik. Farid dan Ine tampak terkejut mendengar Steve mengucap Alhamdulillah. Kata yang baru satu kali ini keluar dari bibir Steve. "Darimana kamu dapatkan kata itu?" Tanya Farid seraya menatap tajam wajah putranya. "Kata yang mana?" Steve balik bertanya. "Yang kamu ucapkan tadi." Farid tidak mau mengucapkan kata itu. "Alhamdulillah. Apa itu aneh? Bukankah Ayah menikah secara Islam. Pasti pernah mengucapkannya. Aku juga begitu. Semua muslim yang bersyukur pasti mengucap Alhamdulillah." Steve mengungkap kalau itu kata yang biasa untuk mengucap syukur. "Dalam pembicaraan sehari-hari, kamu tidak pernah bicara sopan seperti ini. Mana Steve yang aku kenal!?" Tatapan Farid semakin tajam. Farid merasa tidak melihat sosok Steve di dalam diri pria yang berada di hadapannya. "Aku amnesia, Ayah. Aku lupa segalanya. Aku tidak tahu kenapa aku bisa berubah." Alasan itu disampaikan Steve. Karena ia tidak mungkin mengakui bertukar jiwa dengan Sidik yang tubuhnya sudah dikubur karena menyelamatkan jiwanya. Ayahnya dan Ine saling tatap. Menurut penilaian Steve, Ibunya dan mamanya lebih cantik dari Ine. Ine sekali pandang saja terlihat sebagai wanita manja dan genit. Steve merasa tidak nyaman dengan senyum yang Ine berikan kepadanya. Menurut Steve senyum yang terlalu berlebihan untuk seorang pria yang merupakan anak tiri. "Kamu terlihat baik-baik saja. Tidak ada luka yang berarti." Ayahnya menatap Steve dengan pandangan meneliti. "Ada yang menolong aku, Ayah. Dan orang itu meninggal karena menolongku." Hal yang diceritakan ibunya disampaikan Steve kepada ayahnya. "Siapa yang menolong kamu?" "Seorang pria dari kampung yang baru tiba dari Jakarta. Ibu sudah mengurus pemakamannya. Ibu juga berjanji akan menanggung pengajiannya sampai satu tahun. Namanya Sidik Susanto." Steve memberikan informasi sesuai yang dikatakan oleh ibunya. "Oh. Syukurlah kalau ibumu sudah membereskan semuanya. Ayah berharap kamu segera sembuh dari amnesia. Ayah harus pulang sekarang. Kamu istirahat yang cukup agar bisa segera pulang ke rumah." "Iya, Ayah." "Aku pulang dulu, Steve." Ine menyentuh lengan Steve. "Iya." Ayah dan ibu tirinya ke luar dari ruang perawatan Steve. Lingga masuk ke dalam ruangan. "Sudah berapa lama Ayah bersama perempuan itu?" Tanya Steve pada Lingga. Lingga mengingat kapan Farid dan Ine menikah. "Sudah enam bulan menikah." "Sebelum menikah, sudah kenal berapa lama?" Steve melanjutkan pertanyaannya. "Maaf, Tuan saya tidak tahu." Lingga menggelengkan kepala. Lingga memang membatasi diri tidak ingin tahu urusan pribadi Tuan Besarnya. Lingga hanya mengurus semua keperluan Steve saja, termasuk urusan pribadi Steve. "Apa yang dilihat Ayah dari perempuan itu. Kedua ibu lebih cantik dari perempuan itu." Steve heran dengan ayahnya. "Bukannya Tuan selalu memuji istri muda Tuan Besar sebagai wanita yang sangat menarik." Lingga mengingatkan hal itu. Sebelum kecelakaan, Steve sering memuji Ine. Bahkan Lingga merasakan ada ketertarikan secara fisik dari Steve kepada Ine. "Benarkah!?" Steve melongo. Merasa tidak percaya dirinya tertarik kepada Ine. "Ya. Itu yang Tuan katakan sebelum kecelakaan." Lingga mengingatkan. "Apa kecelakaan merubah pandanganku juga?" Steve tampak bingung. Steve juga bingung bagaimana caranya memandang wanita sebagai Sidik. "Tuan memang berubah sejak kecelakaan. Tuan mengucapkan kata-kata yang belum pernah Tuan ucapkan." Tatapan Lingga terarah kepada Steve. "Ayahku tadi terkejut mendengar aku mengucapkan Alhamdulillah. Apa sebelumnya aku tidak pernah mengucapkan hal itu?" Sebuah rasa penasaran hadir dalam hati Steve. "Selama saya bekerja ikut Tuan, Tuan tidak pernah mengatakan kata atau kalimat yang berhubungan dengan agama." Penjelasan Lingga berikan. "Jadi apa yang biasanya aku katakan?" Semakin penasaran dengan pemilik tubuh ini. "Memberi perintah. Marah. Memaki. Ya sejenis itulah." Jawaban yang mengejutkan bagi Steve. "Kenapa kamu tahan jadi asistenku?" Steve menatap wajah Lingga. Wajah yang memiliki wibawa dan kharisma. "Tuan tidak pernah merendahkan saya, walau sering memarahi saya." Lingga menjawab dengan jujur kenapa ia betah bekerja dengan Steve. "Apa hanya karena itu?" Merasa tidak yakin dengan jawaban Lingga. "Saya merasa nyaman bekerja dengan Tuan. Tuan memang sering marah, tapi tidak pernah lama, dan tidak pernah jadi dendam." "Aku benar-benar lupa, seperti apa sebenarnya diriku. Apakah aku sering menyakiti orang lain? Apakah aku sering menimbulkan kemarahan pada diri orang lain?" Steve bertanya dengan suara lirih. "Dengan jujur saya akan jawab, Tuan. Tuan kalau marah, yang keluar dari mulut Tuan adalah makian. Tapi karena karyawan sudah terbiasa dengan makian Tuan. Mereka sudah kebal dan tidak sakit hati lagi. Mereka tidak ada yang berani menjawab. Karena mereka tahu, Tuan marah hanya untuk sebentar saja. Itu kelemahan sekaligus kelebihan Tuan." "Apa aku sangat kejam? Apa aku menekan dan memakan hak orang lain?" Steve ingin tahu lebih jauh lagi tentang tabiatnya sebelum kecelakaan. "Tuan memang pemarah. Menekan dengan ucapan Tuan. Tapi Tuan tidak pernah makan hak orang lain." Ucapan Lingga membuat Steve merasa lega. Steve berniat memperbaiki diri. Menyenangkan kedua Ibu dan memperhatikan Ria. Ria wanita yang cantik, tapi tidak banyak bicara. Berbeda dengan Susi istrinya yang sudah mengkhianatinya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD