Lima hari Steve di rumah sakit. Sudah diijinkan pulang. Steve pulang bersama Lingga, dan Stella. Indri dan Ria menunggu di rumah.
"Kamu sebaiknya jangan ke kantor dulu. Kamu harus istirahat sampai pulih betul." Stella meminta putranya untuk istirahat dulu, jangan langsung masuk bekerja. Agar tubuh lebih pulih dulu, dan pikiran jadi tenang. Karena Steve harus mulai belajar dari awal lagi. Semua terlupa olehnya. Lingga harus membimbingnya.
"Aku bekerja di mana?" Tanya Steve. Steve sepertinya tidak menyimak pembicaraan ibunya, kalau ayahnya adalah raja bisnis. Memiliki banyak hotel dan mall di beberapa negara.
"Di kantor pusat milik ayahmu. Yang membawahi semua usaha ayahmu. Tanggung jawabmu besar." Stella tidak ingin Steve salah melangkah karena lupa segalanya. Salah sedikit saja mengambil keputusan, akan berakibat fatal pada usaha yang sudah sangat maju.
"Menurut ibu aku jahat, apakah selama ini aku bekerja dengan baik?" Steve ingin tahu pandangan ibunya tentang dirinya. Karena penilaian ibunya, ia bisa dikategorikan sebagai pria yang jahat.
"Kamu seperti ayahmu. Gila perempuan, tapi bisa bekerja dengan baik. Karena itu ayahmu banyak memiliki hotel dan mall di beberapa negara." Stella menjelaskan kalau Steve sama dengan ayahnya. Gila perempuan. Tidak bisa disembuhkan. Stella sudah pasrah.
"Apakah hal itu yang menyebabkan Ibu memilih bertahan menikah dengan Ayah?" Tanya Steve.
"Ibu sudah tahu sifat Ayahmu sejak sebelum menikah. Dia memang playboy, petualang wanita. Ibu tahu itu sulit dihentikan. Jadi Ibu sudah siap menerima tidak akan jadi wanita satu-satunya dalam hidup Ayahmu." Stella menyampaikan kepasrahannya.
"Apakah Ibu sangat mencintai Ayah?" Tanya Steve lagi ingin tahu perasaan ibunya terhadap ayahnya.
"Pernikahan kami adalah amanah dari kakek Ibu. Ibu tidak ingin mengkhianati amanah kakek. Ibu tidak terlalu memikirkan sifat playboy Ayahmu. Ibu biarkan saja dia dengan kesenangannya. Yang penting dia memenuhi tugas dan kewajibannya sebagai suami dan ayah buatmu." Stella menatap ke arah mata anaknya. Stella menyadari, mata Steve masih sama, tapi pandangannya berbeda. Stella melihat keteduhan dan kelembutan di sana. Tidak ada lagi keganasan seperti mata Steve sebelum kecelakaan.
"Ibu sangat sabar," ujar Steve. Ibunya sangat cantik. Jika ingin lepas dari ayahnya, pasti mudah saja mencari suami yang lebih baik dari ayahnya.
"Hanya tabah dan sabar yang membuat Ibu bisa bertahan di sisi Ayahmu." Ungkapan itu yang selalu Stella katakan kepada keluarganya.
"Ayah dan istri mudanya sudah menengok aku ke rumah sakit. Menurutku istri muda Ayah tidak jauh lebih baik dari Ibu dan Mamah." Steve memberikan penilaiannya tentang istri muda ayahnya.
"Heh, sedang apa matamu!? Sejak Ayahmu menikah dengan Ine, kamu sering sekali memuji Ine. Ada apa dengan pandangan kamu? Apa karena amnesia, kamu tidak bisa menilai lagi wanita yang cantik atau tidak?" Stella terkejut mendengar penilaian Steve kepada Ine. Sebelum kecelakaan, tatapan Steve sangat mengagumi ibu tirinya itu. Setelah kecelakaan entah kenapa pandangannya berubah.
"Jadi Ibu menganggap, Ine itu cantik?" Steve bertanya penasaran pandangan ibunya tentang Ine.
"Kalau dia tidak cantik, mana mau Ayahmu menikahinya."
Stella yakin itu alasan suaminya jatuh cinta pada Ine. Walau suaminya tidak pernah membicarakan kelebihan Ine di depan Stella.
"Aku tidak tahu, Bu. Mungkin benar pandanganku terganggu." Steve hanya mengakui hal itu, meski kebingungan melanda pikirannya. Kenapa semua orang menganggap Ine cantik, sedang baginya biasa saja.
Mereka tiba di rumah. steve takjub melihat rumah yang besar dan tinggi. Tapi mereka tidak berhenti di depan rumah itu. Mobil melewati jalan cukup lebar di samping rumah. Ada rumah lain di belakang rumah.
"Ini tempat tinggal Ibu." Stella menunjuk rumah yang asri dengan tanaman hias.
Rumah dengan cat putih.
"Tempat tinggal Ibu?"
"Iya. Ada empat rumah. Satu untuk Ibu, satu untuk Indri, satu untuk Ine, dan satu untuk kamu dan Ria. Semua bentuk rumah sama, hanya berbeda cat dan dekornya saja. Dan hiasan tanamannya yang berbeda. Rumah Ibu paling banyak tanamannya."
"Oh."
"Ini Rumah Indri. Asri meski tidak banyak tanaman." Stella menunjuk rumah kedua. Rumah dengan cat abu-abu muda.
"Ini rumah Ine."
Stella menunjuk rumah dengan cat merah menyala.
"Gelap dan dingin." Tanpa sadar Steve bergumam seperti itu.
"Mata kamu sungguh terganggu? Rumah begitu terang dan hangat kamu sebut gelap dan dingin."
"Oh iya. Mataku memang terganggu, Bu." Steve tidak ingin berdebat dengan ibunya.
"Nah. Yang terakhir rumahmu. Ria pandai menata rumah. Hanya sebentar saja, rumah ini sudah terlihat asri. Jangan lupa untuk menyentuh istrimu. Sudah empat bulan menikah, Ria masih gadis. Ibu menyayanginya. Ibu tidak ingin kalian berpisah."
"Insya Allah, Bu."
Stella selalu melongo mendengar Steve bicara seperti orang yang taat agama. Karena selama ini hanya tahu berbuat dosa.
"Ibu mencintai kamu, Steve. Semoga kamu berubah lebih baik lagi."
"Aamiin. Terima kasih, Bu."
Mereka tiba di depan rumah. Rumah yang berwarna ungu. Steve menatap bangunan satu lantai yang sama bentuk dengan tiga rumah lainnya. Ada tanaman hias di depan rumah. Ada tanaman sayur dan buah juga.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam." Hanya Ria yang menjawab salamnya. Steve mencium punggung tangan Indri. Ria mencium punggung tangan Steve. Ria masih terlihat ragu melakukannya. Sikap buruk Steve kepada Ria tengah membekas begitu dalam di hati Ria. Rasa ketakutan itu masih ada.
"Ayo masuk. Aku dorong kursi rodamu." Steve mendorong kursi roda Ria masuk ke dalam rumah.
Mestriara Hanifa terkejut dengan sikap lembut Steve kepadanya.
*