"Kamu ibu tiriku. Aku tidak ingin ada hubungan lebih dari itu. Selamat siang, Ibu." Steve menekankan kata Ibu pada ucapannya.
Ine sungguh sakit hati pada Steve.
"Aku belum menyerah! Aku pasti akan mendapatkan hatimu kembali. Farid sudah takluk di bawah kakiku. Tidak akan berani mengusikku. Begitu juga dengan Stella dan Indri, mereka akan patuh kepadaku!"
Dengan penuh keyakinan Ine mengucapkan itu. Seakan ia sudah mengatasi semua keluarga Farid. Sebelum kecelakaan, Ine memang sudah menaklukan mereka. Hanya saja Steve ditugasi banyak pekerjaan oleh ayahnya. Pekerjaan dengan tanggung jawab berat. Bagi Steve, melaksanakan tanggung jawab terhadap pekerjaan adalah nomer satu, agar ayahnya bisa menyerahkan perusahaan kepadanya.
"Semua tinggal menunggu waktu saja." Ine mendongakkan wajahnya.
Sementara itu di rumah Indri. Indri masuk kamar. Indri ingin istirahat. Tubuhnya akhir-akhir sering merasa lelah. Indri memang punya bisnis toko pakaian, tas, dan sepatu dengan pangsa pasar menengah ke atas. Modal membangun tokonya datang dari Farid. Farid ingin istri-istrinya bisa mandiri. Tidak hanya berharap pada suami. Jika suami pergi, istri hidupnya tidak akan kesulitan.
Farid memang kaya raya. Tapi Farid adil terhadap mereka bertiga. Mereka dapat jatah bulanan yang sama. Para ART gajinya dari Farid semua. Urusan rumah dan dapur tanggung jawab Farid. Begitu juga dengan jatah bulanan para istri. Jadi hasil bisnis istri, istri bebas menggunakan untuk kepentingan mereka. Indri tahu, Stella memiliki panti asuhan yang sudah berdiri selama 25 tahun. Anak-anak dari panti yang berprestasi di tempatkan di perusahaan Farid, di perusahaan Stella, dan juga di perusahaan Indri. Sedang Ine belum memulai membangun perusahaan.
Indri menilai Ine tidak punya jiwa pengusaha. Yang Indri dengar dari cerita orang yang mengenal Ine, Ine suka hidup bergantung pada pria. Meski begitu, Indri tidak ingin ikut campur dengan rumah tangga Farid dan Ine. Farid tidak pernah membicarakan secara khusus tentang Stella dan Ine. Stella juga berusaha tidak membahas urusan rumah tangga. Mereka hanya membicarakan hal yang ringan saja. Mereka sama-sama sibuk sebagai pengusaha. Farid percaya pada mereka. Karena mereka masing-masing di dampingi asisten pribadi yang siap selalu mengawal mereka kemanapun pergi.
Meski awal menikah, Indri tidak mencintai Farid. Apalagi tahu kelakuan Farid yang gila perempuan. Namun setelah mengenal Stella, Indri tahu bagaimana Stella mampu bertahan puluhan tahun menjadi istri Farid. Ikhlaskan saja semua yang terjadi. Agar tenang hati dalam menjalani. Fokus pada diri sendiri dan rumah tangga sendiri. Jangan membandingkan diri sendiri dengan istri yang lain. Itu nasehat dari Stella. Dan Indri merasakan kebenaran itu. Dengan modal yang Farid berikan, Indri bisa membangun kerajaan bisnis sendiri. Walau belum sebesar milik Stella, Indri sudah bahagia.
Banyak pria yang datang menggoda. Memancingnya untuk keluar dari ikatan rumahtangga dalam cinta segiempat. Tapi Indri tidak tertarik lagi untuk itu. Farid sudah cukup untuknya. Kehidupannya tenang dan baik-baik saja.
Indri kembali memikirkan Ine. Kira-kira usaha apa yang akan dibangun Ine. Indri menunggu hal itu. Ingin membuktikan omongan orang tentang Ine yang kata orang hanya bisa menggaet lelaki saja. Bagaimana tanggapan Farid andai istrinya berselingkuh.
*
Setelah salat Maghrib, Steve ke luar dari kamarnya. Steve menuju kamar Ria. Steve mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban.
Bik Asih keluar dari dapur.
"Nyonya di dapur, Tuan. Menyiapkan makan malam. Apa Tuan akan makan di rumah malam ini?" Bik Asih menatap wajah Steve yang masih sama seperti sebelum kecelakaan. Hanya saja rona wajahnya berubah. Tatapannya juga berubah. Tidak ada keangkuhan. Benar yang dikatakan oleh Ria. Steve berubah dalam pandangan mata. Hanya Ria ragu kalau akan berubah selamanya. Karena amnesia yang diderita oleh Steve hanya sementara saja.
"Iya. Aku makan di rumah. Memangnya biasanya aku makan di mana?" Tatapan menunggu jawaban Steve berikan kepada Bik Asih.
"Maaf, Tuan. Biasanya Tuan hanya makan di rumah, kalau Tuan Besar dan Nyonya Besar makan di sini." Bik Asih menceritakan kebiasaan Steve.
"Lalu setiap hari aku makan di mana?"
Pertanyaan yang membuat Bik Asih yakin kalau Steve memang benar amnesia.
"Tuan makan di luar rumah. Tapi saya tidak tahu makan di tempat yang mana." Bik Asih memberi jawaban sesuai kenyataan.
"Aku pergi keluar rumah, makan dengan siapa?" Steve ingin tahu dengan siapa ia pergi keluar rumah.
"Saya tidak tahu, Tuan."
"Huh, baiklah. Aku akan ke dapur." Steve melangkahkan kaki menuju dapur. Bik Asih sangat terkejut melihat Steve ingin masuk ke dapur. Selama beberapa bulan tinggal di rumah ini, Steve tidak pernah masuk ke dapur. Bik Asih mengikuti Steve.
"Selamat malam, Ria." Steve menyapa Ria.
"Oh!"
Ria terjangkit kaget. Ria memutar kursi roda, wajahnya mendongak. Matanya menatap Steve.
"Selamat malam, Tuan Steve." Jawaban yang begitu formal. Berbeda dengan saat mereka mengobrol tadi siang.
"Aku lebih suka dipanggil Abang daripada kamu sebut Tuan."
Steve berjongkok di depan kursi roda Ria. Dua orang bibi yang ada di dapur menghindar melihat adegan manis itu. Selama ini yang mereka lihat sikap angkuh Steve kepada Ria.
"Kamu ingin apa?" Suara Ria bergetar. Wajahnya merah padam. Ria bingung harus bahagia atau bagaimana.
"Aku ingin makan. Kamu masak apa?"
Steve berdiri, lalu menatap ke arah meja makan yang ada di dapur.
"Eh. Sayur belamak dan Mandai. Iwak samu pepuyu."
"Hah. Tahu darimana nama makanan ini!?" Ria sangat terkejut mendengar gumaman Steve.
"Hah!" Steve melongo. Ia juga tidak tahu kenapa bisa tahu nama makanan itu. Ucapannya keluar begitu saja dari mulutnya.
"Aku asal ucap. Aku tidak mengerti tahu darimana." Steve berkata jujur kalau ia berkata asal saja.
"Itu makanan khas dari daerah ibuku. Ini dikirimi sahabat ibuku yang ada di Banjarbaru." Ria menceritakan asal usul makanan itu.
"Oh. Ibumu orang Banjarbaru." Steve menatap Ria. Kota yang terdengar tidak asing baginya.
"Iya."
"Apa Bu Ine juga dari sana?" Tanya Steve ingin tahu.
"Iya."
"Oh. Ayo makan, aku lapar. Bik tolong siapkan di meja makan." Steve meraih kursi roda Ria.
"Apa bisa makan ini?" Ria tidak yakin Steve bisa menikmati menu itu.
"Aku tidak tahu. Tapi aku ingin mencoba."
Steve menjawab dengan penasaran.
"Apa Tuan ingin saya masakan menu yang lain?" Tanya Bik Asih.
"Tidak usah. Ini saja."
"Baik, Tuan."
Steve mendorong kursi roda Ria keluar dari dapur. Ria semakin bingung dengan sikap Steve yang begitu ramah dan manis. Selama ini, Steve tidak pernah makan di rumah. Kecuali makan bersama orang tuanya. Steve pulang ke rumah seringkali tengah malam. Ria tidak berani bertanya darimana Steve. Karena Steve tidak suka Ria berkeliaran di hadapannya.
*