PART. 8 SIANG YANG PANAS

1010 Words
Sementara itu di rumah Stella. Stella dan Farid baru sampai di rumah. "Tuan dan Nyonya apakah ingin makan siang?" Tanya Bik Nanik yang menyambut mereka di pintu. "Tidak, Bik. Kami sudah makan di rumah Steve." Stella berdiri di hadapan Bik Nanik, Farid melangkah masuk menuju kamar. "Apakah ingin dibuatkan minum, Nyonya?" Tanya Bik Nanik lagi. "Tidak usah." Stella melangkahkan kaki menuju kamar menyusul Farid. Usia mereka memang tidak muda lagi, tapi urusan bercinta masih menggebu seperti pasangan muda. Farid terlalu gagah perkasa. Tidak ada libur bercinta baginya. Stella yang sudah 35 tahun menikah dengan Farid, sudah mengikhlaskan berbagi tubuh dan cinta Farid dengan banyak wanita. Stella sudah berdamai dengan dirinya. Tidak ada kecemburuan dan kemarahan lagi, meski ia bukan satu-satunya wanita di dalam hidup Farid. Stella masuk ke kamar. Farid tidak terlihat di dalam kamar. Stella meletakan tas di atas meja. Pintu kamar mandi terbuka. Stella menatap ke arah pintu kamar mandi. Farid melangkah ke luar kamar mandi dengan tanpa busana. Usia Farid memang sudah 60 tahun, tapi masih terlihat seperti pria 40 tahun. Kalau Farid dan Steve berdiri berdampingan, mereka seperti kakak dan adik. Tidak terlihat seperti ayah dan anak. Farid mendekati Stella. Tinggi Stella sebatas bahu Farid. Wajah Stella mendongak, menatap wajah Farid yang menunduk. Farid tidak tergesa-gesa, meski leher jerapahnya sudah tegak meminta. Farid selalu ingin pemanasan dulu sebelum sampai ke menu utama. Farid mencium bibir Stella. "Aku mencintaimu." Bisikan wajib sebelum memulai bercinta. Tidak berubah sejak malam pertama sampai saat ini. Bisikan yang mengusir amarah dan kesedihan. Farid mengangkat tubuh Stella, kemudian di dudukkan di atas meja kerja. Farid kembali mencium bibir Stella, sementara kedua tangannya melepas pakaian Stella tanpa sisa. Usia Stella sudah 55 tahun, tapi tubuhnya masih seindah wanita 25 tahun. Stella sangat pintar merawat wajah dan tubuhnya. "Abang!" Stella mendesah saat Farid membopong tubuhnya yang sudah polos ke atas ranjang. Farid membaringkan Stella di atas ranjang. Percintaan mereka dimulai oleh Farid. Stella menyukai cara Farid yang tidak pernah tergesa-gesa meski leher jerapahnya sudah siap tempur. Farid selalu memanjakan istrinya dengan sentuhan yang membuai. Mengecup setiap inci tubuh istrinya, dengan gumam pujian, seakan Stella adalah satu-satunya wanita yang Farid cinta. Stella menyukai cara Farid memanjakannya. Percintaan mereka masih bergelora, b*******h penuh asmara. Desahan manja Stella sangat disukai Farid. Kemanjaan Stella masih seperti wanita muda. Walau itu hanya diperlihatkan saat mereka di dalam kamar saja. Diluar kamar, Stella adalah wanita tegas. Karena itu selama 30 tahun mampu memimpin restoran dan toko kue yang tersebar di beberapa kota, bahkan sampai ke manca negara. Stella punya kerajaan bisnis sendiri. Farid sangat menyukai ucapan manja menggoda saat bercinta. Seperti bensin yang menyirami kobaran api menyala. Pendakian mereka sampai kepuncak. Ada pekikan kecil manja dari bibir Stella di penghujung gelora cinta. Farid berbaring di samping Stella. Dibawa Stella ke dalam pelukannya. "Aku mencintaimu." Hal itu diucapkan Farid seraya mengecup kening Stella. Stella tersenyum. Stella tidak ingin bertanya tentang cinta pada Farid. Baginya ucapan itu saja sudah cukup. Stella tidak ingin tahu cara Farid memperlakukan istri yang lainnya. Yang penting, Farid memperlakukannya dengan baik. Stella tidak berminat melirik lelaki lain, meski banyak yang berusaha mendekat. Bagi Stella, Farid sudah cukup. Meski bagi Farid, hanya dengan Stella tidak cukup. Stella menatap wajah Farid. Mata Farid terpejam. Nafasnya teratur. Itu artinya Farid sudah tidur. Stella memejamkan mata. Stella juga ingin tidur dan melupakan semua masalah yang ada di luar kamar. Sementara itu di rumah Ine. "Selamat siang, Nyonya. Apa Nyonya ingin makan?" Tanya Bibi. "Tidak. Aku sudah makan." "Apa ingin dibuatkan minum?" "Buatkan es jeruk, antar ke kamarku." "Baik, Nyonya." Ine melangkah menuju kamarnya. Ine membuka pintu, lalu masuk ke kamar. Ine duduk di tepi ranjang. Wajahnya masam. Rasa kesal pada Steve masih Ine rasakan. "Apa benar amnesia bisa membuat orang melupakan semuanya! Huh, aku belum pernah merasakan leher jerapahnya. Ini gara-gara Si Om Tua menempatkan penjaga untuk mengawal ku ke mana saja. Sehingga tidak ada kesempatan bagiku untuk mencicipi leher jerapah banyak pria." Ine menggerutu. "Nyonya." Pintu terdengar diketuk. "Masuk!" Pintu terbuka. Bik Heni masuk dengan membawa segelas es jeruk di atas nampan. Es jeruk diletakan di atas meja. "Silakan, Nyonya. Saya permisi ke luar." Bik Heni melangkah ke luar kamar. Ine mengunci pintu kamarnya. Lalu duduk di sofa. Ine meminum es jeruk untuk mendinginkan hatinya yang panas. Hati Ine panas sekali melihat perlakuan lembut Steve kepada Ria. Steve yang berubah aneh, tidak mempedulikannya, membuat Ine merasa sakit hati. Tapi rasa cintanya pada Steve membuat Ine bertekad untuk terus menggoda Steve bila ada kesempatan. Steve membuatnya penasaran. Seperti apa leher jerapah Steve. Apakah lebih nikmat dari milik Farid. Orang muda tentu lebih perkasa daripada orang tua. Ine yakin dengan kemampuannya, Steve akan bertekuk lutut lagi dihadapannya seperti sebelumnya. Steve terlalu tampan dan sempurna untuk dilewatkan. Farid yang tua saja leher jerapahnya gagah perkasa, apa lagi Steve yang masih muda. Berbagai rencana Ine atur di kepala. Tekadnya, Steve harus jatuh ke dalam pelukannya. "Huh. Aku harus meneleponnya sekarang. Siapa tahu Steve menghindari aku hanya karena ada ibunya." Ine meraih ponselnya. Ditekan nama Steve yang ada di ponselnya. "Halo." Terdengar suara Steve. "Steve. Aku sangat merindukanmu." Ine merasa bersemangat mendengar suara Steve. Suaranya begitu manja menggoda. "Merindukan aku? Maaf, aku merasa bingung. Kerinduan macam apa dari seorang ibu tiri kepada anak tirinya?" Jawaban Steve terdengar sangat tajam. "Steve. Kita sudah sama-sama tahu perasaan kita masing-masing." Ine mencoba membuka ingatan Steve akan hubungan mereka sebelumnya. "Perasaan masing-masing? Maaf aku amnesia. Tidak ada yang bisa aku ingat kejadian sebelum kecelakaan. Memangnya ada perasaan apa di antara kita?" Pertanyaan Steve membuat Ine yakin, kalau Steve memiliki perhatian terhadapnya. "Kita saling mencintai, Steve." "Apa!? Itu tidak mungkin! Aku tidak mungkin segila itu. Mana bisa jatuh cinta pada istri ayahku sendiri!" Steve sangat terkejut mendengar jawaban Ine. Bagi Steve, sejahat apapun sikap Steve, Steve yang amnesia tidak percaya Steve segila itu mencintai ibu tirinya. "Ini kenyataan, Steve. Sayangnya semua percakapan kita lewat WA sudah aku hapus semua. Aku tidak ingin ayahmu tahu, lalu murka kepadamu. Aku tidak ingin berpisah dari kamu, Steve." Ine bicara dengan suara manja merayu. Steve bukan merasa kasihan, tapi merasa tidak suka mendengarnya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD