PART. 7 GELISAH

1019 Words
Steve melihat keraguan di dalam mata Ria. "Apa kamu takut aku berubah lagi?" Tanya Steve. Kepala Ria mengangguk. "Aku berjanji padamu tidak akan berubah." Janji diucapkan oleh Steve. "Bagaimana kalau kamu tidak amnesia lagi. Tentu kamu akan kembali seperti semula." Ria mencoba berani menatap mata Steve, hal yang tidak pernah ia lakukan selama ini. "Apa kamu tidak percaya padaku?" Steve menarik kursi roda Ria agar mendekat kepadanya. Wajah Ria tiba-tiba terlihat pucat. Bibirnya gemetar. Padahal tatapan Steve lembut kepadanya. Tidak garang seperti sebelum kecelakaan. "Steve yang dulu katamu suka memarahi kamu, sekarang sudah berubah. Aku tidak akan memarahi kamu lagi." Steve berusaha meyakinkan Ria, kalau dirinya tidak akan berubah lagi. "Apakah amnesia bisa merubah orang seutuhnya?" Ria masih merasa sangat ragu. Karena mungkin saja amnesianya hanya sementara. "Aku tidak tahu. Tapi aku berjanji tidak akan menyakiti kamu." Penuh keyakinan Steve mengatakan hal itu. "Maaf, aku belum bisa percaya sepenuhnya. Kamu baru beberapa hari amnesia. Aku ...." "Aku ingin istirahat. Sebaiknya kita berbaring." Steve mengangkat tubuh Ria. Ria bertambah ketakutan. Dalam bayangannya, bagaimana kalau Steve hanya sebentar saja berubah. Ria tahu Steve playboy, tapi tidak menyangka kalau bisa menghinanya dengan kejam. Sementara ayahnya, tidak terlihat kejam. Sikap ayahnya baik kepada Ria. Steve membaringkan Ria di atas tempat tidur. "Kamu jangan takut. Aku tidak akan memaksa kamu melayaniku. Aku hanya ingin istirahat." Setelah membaringkan Ria. Steve melangkah menuju lemari. Steve ingin mengganti pakaian dengan pakaian santai saja. Steve menatap isi lemari besar itu. Meski ia orang kampung, tapi Steve tahu pakaian yang ada di dalam lemari itu semua adalah barang branded. Barang yang tidak akan pernah dibelinya. Steve tidak pernah bermimpi akan memakai barang mahal seperti itu. Steve memperkirakan, pakaian milik Steve asli tidak ada yang di bawah satu juta. Benar-benar orang kaya. Memiliki kerajaan bisnis yang luar biasa. Sayangnya Steve senang berenang di lumpur dosa. Steve yang sekarang akan merubah semua itu. Hidupnya tidak akan disia-siakan hanya untuk mengejar kesenangan. Ia harus berubah. Steve teringat, kalau selama di rumah sakit, ia tidak pernah salat. Pikirannya kemana-mana. Masih tidak yakin akan keadaannya. Banyak pertanyaan akan keluarga ini. Steve mencari baju Koko, tapi tidak ada. Tidak ada sajadah, tidak ada kopiah. Berarti Steve tidak pernah salat. Steve menutup pintu lemari setelah mengambil Hem lengan panjang berwarna putih, dan celana panjang hitam. "Ria kamu punya sajadah?" Steve menatap Ria. "Sajadah? Untuk apa? Kamu selama ini tidak pernah salat." Ria mengatakan yang sebenarnya. Steve tidak pernah salat. Menyebut nama Allah saja tidak pernah. "Aku sudah berubah. Aku ingin salat." Steve terus meyakinkan Ria kalau ia sudah berubah. "Apa kamu bisa salat?" Tatapan Ria tertuju ke mata Steve. "Aku tidak ingat apa-apa. Tapi mungkin saat SMA aku belajar salat. Aku merasa ingat cara dan bacaan salat." Steve merasa yakin dengan hal itu. "Kamu yakin ingin salat?" Ria masih tidak percaya dengan keinginan Steve. "Iya. Kamu punya sajadah tidak?" Steve capek juga meyakinkan Ria, kalau ia ingin salat. "Ada. Di kamarku." "Kamu belum salat Jugakan? Bagaimana kalau kita salat Dzuhur sama-sama?" Steve mengajak Ria salat berjamaah. "Aku ... aku sedang datang bulan." "Oh. Baiklah. Aku nanti ambil sajadah ke kamar kamu." Steve berinisiatif ingin mengambil sendiri sajadah ke kamar Ria. "Aku ambilkan." "Tidak. Kamu di sini saja. Biar aku ambil sendiri." Steve tidak mengizinkan Ria keluar dari kamarnya. "Aku harus kembali ke kamarku." Ria tetap ingin kembali ke kamarnya. Karena merasa tidak nyaman berada di kamar Steve. "Kamu lupa apa yang dikatakan Ibu. Kita harus tidur satu kamar. Ibu ingin kita cepat memberinya cucu." Steve mengingatkan apa yang dikatakan oleh ibunya. Ria masih tidak percaya, Steve bisa bicara ringan tentang itu. Karena selama ini, Steve sangat tidak ingin berdekatan dengan dirinya. "Aku harus bekerja. Di kamarku aku merasa lebih tenang." Alasan Ria kenapa ingin kembali ke kamarnya. "Kamu bekerja tiap hari?" "Ya. Karena ada target yang harus dipenuhi setiap bulan. Jadi aku mohon, ijinkan aku kembali ke kamarku." Ria memohon pengertian Steve. "Hh, baiklah. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu." Steve mengambil kursi roda, lalu mengangkat Ria untuk di dudukan di kursi roda. Kemudian kursi roda di dorong ke kamar sebelah. Steve membuka pintu kamar. Kamar yang sama persis dengan kamarnya. "Dimana sajadah?" "Di dalam lemari." Ria menunjuk ke arah lemari. Steve melangkah ke depan lemari, lalu membuka lemari. Ia mencari sajadah di sana. Steve mengambil sajadah yang dilihatnya. Lalu menutup pintu lemari. Steve berbalik dan melihat Ria sudah duduk di balik meja. Diatas meja ada laptop yang terbuka. "Aku pinjam sajadahmu dulu. Aku kembali ke kamarku. Selamat siang, Ria." Steve pamit kembali ke kamarnya. "Selamat siang." Ria menatap Steve. Perasaan bingung masih ada di dalam hatinya. Steve melangkah ke luar kamar Ria. Pintu kamar ia tutup. Steve melangkah menuju kamarnya. Steve membuka pintu kamar. Ia ingin membersihkan diri sebelum salat. Setelah salat, Steve mendapat telepon dari Lingga. "Tuan yakin tidak ingin ditemani saya beberapa hari." Lingga tampak masih ragu untuk liburan. "Tidak apa-apa, kamu liburan saja. Aku baik-baik saja." "Saya merasa tidak tenang." "Aku tidak apa-apa. Kamu nikmati saja liburan kamu. Nanti hari Senin jemput aku di rumah. Kamu harus mengajari aku semuanya." "Siap, Tuan. Selamat siang." "Selamat siang." Steve meletakan ponsel di atas meja samping ranjang. Lalu Steve berbaring. Pikiran yang tidak tenang membuat hatinya gelisah. Steve terus memikirkan apakah memang harus selamanya ia berada di tubuh ini. Tubuh yang katanya sering berbuat dosa. Pria tukang tebar pesona. Steve memang memiliki segalanya. Kaya raya, gagah, tampan, pintar, tidak ada kurangnya secara penampilan. Hanya akhlak saja buruk. Steve merasa harus mempersiapkan diri untuk menghadapi hal baru di dalam hidupnya. Steve tidak ingat siapa sebenarnya dirinya. Ia tidak ingat seperti apa dirinya. Steve lupa tentang Sidik Susanto. Sidik Susanto adalah namanya. Usianya 40 tahun. Sudah 10 tahun menikah dengan Hamidah. Mereka belum memiliki anak walau sudah 10 tahun menikah. Sampai Sidik memergoki istrinya yang sedang bercinta dengan sepupunya. Sidik yang lemah lembut, tidak bisa menahan rasa marah. Saat itu juga ia talak tiga istrinya. Untuk menghibur hati, Sidik membawa diri ke Jakarta. Saat itulah kecelakaan terjadi. Sidik melupakan segalanya. Hanya ingat kalau namanya Sidik. Itu ingatan yang hilang dari pikiran Steve. Saat ini pikirannya dipenuhi oleh keluarga ini. Keluarga yang terhormat, tapi belum pantas dihormati menurutnya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD