Sepatu Pangeran Kodok Hilang

2009 Words
Sudah sepuluh menit lamanya Cindra mengetuk pintu kamar Leo dan memanggil namanya. Tapi Leo tidak juga membukakannya. Dasar pemalas! Pasti dia masih tidur, rutuknya. Padahal ia sudah berusaha bangun lebih awal agar bisa menemaninya sarapan pagi sesuai permintaannya, tapi dia malah belum bangun. Diketuknya pintu itu sekali lagi. Dan akhirnya pintu itu pun terbuka. Leo berdiri di ambang pintu dengan kedua mata yang masih belum terbuka sepenuhnya. Cindra pun menerobos masuk. Lalu membuka jendela lebar-lebar. Membiarkan udara segar masuk ke dalam kamar. "Astaga Leo! Bangun! Kamu ada kuliah pagi!" Teriaknya saat melihat Leo yang kembali menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Tapi Leo malah menutupi seluruh tubuh dan wajahnya dengan selimut tebal. Membuat Cindra terpaksa naik ke atas tempat tidurnya yang luas dan menarik paksa selimutnya. "Leo! Bangun! Dua jam lagi kamu ada kuliah!" Teriaknya lagi. Dan tiba-tiba saja Leo beranjak bangun. Membuka selimutnya, lalu dengan cepat menarik tubuh Cindra dan membungkusnya dengan selimut rapat-rapat. Ia pun tertawa kencang saat melihat Cindra berteriak dan meronta-ronta seperti ulat yang ingin keluar dari kepompong. Dan tanpa mempedulikan teriakannya, ia lalu masuk ke dalam kamar mandi dengan tawa yang tak henti. Dengan nafas terengah-engah, Cindra melempar selimut tebal itu dengan kesal. Uuh! Sial! Ia berhasil terjebak lagi. Ah! Kenapa ia bisa lupa dengan trik kepompong Leo yang sering dilakukannya sejak kecil itu. Dirapikannya kembali rambut dan pakaiannya yang berantakan di depan cermin. Cindra menghembuskan nafas dengan kesal. Berusaha menahan kesabarannya yang hampir habis. Didengarnya suara senandung dari dalam kamar mandi. Dasar pangeran kodok! Dia tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Karena dengan sifatnya yang menyebalkan itu tak akan ada seorang putri pun yang mau mencium dia, rutuk Cindra lagi sambil keluar dari dalam kamar. Cindra meletakan sebuah nampan besar berisi dua buah Croissant Sandwich daging asap, seteko kecil teh lemon hangat dan secangkir kopi s**u buatan Mas Pram. Tiba-tiba ia termenung. Diingatnya kembali raut wajah Mas Pram saat ia memberitahukannya bahwa mereka tak bisa lagi sarapan bersama. Mas Pram memang hanya mengatakan 'tak masalah' tapi dari raut wajahnya, ia tahu Mas Pram kecewa. Sudah lebih dua tahun mereka selalu sarapan bersama. Pasti aneh rasanya sekarang dia harus sarapan sendirian. Ah, tapi paling tidak ia bisa membuat senang Denti, Kitchen Attendant yang diam-diam menyukai Mas Pram sejak lama. Ia tahu, Denti suka mencuri pandang dari kejauhan saat mereka tengah sarapan bersama. "Ngelamun, aja!" Suara kencang disertai tepukan di bahunya mengagetkan Cindra. Pangeran Kodok sudah rapi dengan kaus putih dan kemeja lengan pendek dengan kancing yang dibiarkan terbuka. Dan... Cindra membulatkan kedua matanya. Kenapa dia masih memakai celana itu lagi? Astaga! Dasar jorok! Dia sudah memakai jeans belel itu selama empat hari berturut-turut. Cindra pun menarik nafasnya. Ia memang sudah lama tak membantu Leo menyiapkan pakaian kuliahnya. Ia mengira Leo sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri. Tapi ternyata Pangeran Kodok memang sulit sekali berubah. Sore nanti ia akan menyingkirkan saja celana itu diam-diam dari dalam kamarnya. Karena tak ada seorang pelayan pun yang berani melakukan kecuali dirinya. "Kamu bukannya kuliah pagi juga?" Tanya Leo melihat Cindra tak membawa tasnya. Cindra menggeleng. "Jam sepuluh," dustanya. Sebenarnya jadwal kuliahnya dimulai pukul sembilan, sama seperti Leo. Tapi ia tak mau lagi Leo memaksa mengantarkannya ke kampus dan kembali membuatnya terlambat masuk kelas. Diperhatikannya Leo yang tengah menuang saus tomat dan saus sambal ke dalam isian Sandwich-nya. Lalu dibukanya ponsel dan dibacanya jadwal harian sang pangeran kodok. "Jangan lupa siang nanti kamu ditunggu Papi di kantor untuk makan siang. Enggak boleh dibatalin lagi. Dan jam tujuh malamnya kamu udah harus bersiap-siap menemani Mami menghadiri jamuan makan malam di hotel... "Ya, aku tahu! Bawel" Leo memotong ucapan Cindra dengan kesal. Cindra menarik nafasnya. Dasar cowok aneh! Ia selalu saja tak suka dengan jadwal rutinitasnya. Padahal semua yang harus dilakukannya itu sangat menyenangkan. "Terus kamu pulang kuliah jam berapa?" Tanya Leo sambil bersiap memasukan Sandwich itu ke dalam mulutnya. "Mungkin sore," sahut Cindra. Dituangkannya teh lemon ke dalam sebuah cangkir, mengaduknya dengan sedikit madu lalu diletakannya di hadapan Leo. "Aku datang, kamu sudah pulang, kan?" "Iyaa... Pangeran Leo! Aku usahakan." Leo tersenyum tipis, lalu menggigit sandwich itu dengan rahangnya yang kuat dan mengunyahnya dengan mulut yang penuh. Namun sesaat kemudian ia terdiam. Dengan kening berkerut dipandanginya Cindra yang tengah berusaha mengikuti dirinya memasukan Sandwich berukuran besar itu ke dalam mulutnya yang kecil. Tapi usahanya tidak berhasil. Isian Sandwich itu malah jatuh berhamburan ke atas piring dan membuat mulutnya pun belepotan oleh saus sambal yang pedas. Leo tak kuasa lagi menahan tawanya. Ia tertawa sangat kencang dengan mulut yang penuh berisi makanan. Cindra menatapnya dengan kesal. Buru-buru diambilnya tisu lalu menyeka mulut dan tangannya. "Enggak lucu!" ucapnya dengan bibir mencebik. Tapi tawa Leo malah semakin keras hingga kedua bahunya ikut berguncang. Cindra meneguk kopinya sampai habis. Dibiarkannya Sandwich-nya berserakan di atas piring. Ia sudah kehilangan nafsu makannya. "Makanya enggak usah sok-sok-an ngikutin aku. Gak akan muat di mulut kamu," ledek Leo. Disekanya sisa saus yang masih menempel di bibir Cindra dengan tisu. ... Cindra meletakan sebuah kantong kertas di hadapan Andra. "Apa, nih?" Tanya Andra seraya mengeluarkan isi dari dalam kantong. Sesaat kemudian ia tersenyum. "Sandwich? Thank you, sayang!" Ucapnya sumringah. Cindra mengangguk senang. "Kamu udah sarapan?" Tanyanya. "Baru ngopi sama makan gorengan," sahut Andra sambil memasukan Sandwich itu ke dalam mulut. "Mmm. Enak banget! Kamu yang bikin?" Tanyanya. Cindra menggeleng. "Mas Pram. Kamu suka?" Tanyanya melihat Andra menjilati saus yang menempel di tangannya. Andra mengangguk. "Sejak pacaran sama kamu, aku jadi perbaikan gizi terus." Cindra tertawa. Sebagai anak kost, Andra memang lebih sering membeli makanan yang tidak sehat. Kata Andra yang penting kenyang. Karena ia harus berhemat. Andra memang berasal dari keluarga biasa. Ayahnya bekerja sebagai staf administrasi di sebuah rumah sakit. Dan ibunya mempunyai toko kelontong di rumahnya. Dan Andra sendiri mempunyai bisnis kecil-kecilan bersama dua orang temannya. Ia menjual kaus dengan gambar tiga dimensi yang desainnya bisa dipilih sendiri oleh pembeli. Sebagian besar ia menjualnya secara online. Kemandirian dan kerja keras Andra lah yang membuat Cindra jatuh cinta padanya. Ia bangga, karena Andra sudah mampu membayar biaya kuliah tanpa bantuan orang tuanya lagi. Andra memang jauh berbeda dengan Leo yang tidak pernah pusing memikirkan hidupnya. Saat ini keinginan Andra hanya satu. Yaitu memiliki mobil. Tidak perlu baru, yang penting mobil itu bisa ia gunakan untuk memperkenalkan dan menjual produknya di tempat keramaian saat ia libur kuliah. Dan katanya lagi, biar ia juga bisa mengantarkannya pulang ke rumah tanpa harus kepanasan dan kehujanan. Ah, manis sekali. Cindra tersenyum sendiri. "Kenapa?" Tanya Andra melihat wajah Cindra yang berseri. "Pulang kuliah ajak aku makan bakso dekat kost kamu itu, mau gak?" Tanya Cindra. "Ah! Masa habis makan Sandwich buatan Chef terus makan bakso pinggir jalan? Nanti Sandwich di dalam lambungku berontak tak terima?" Rajuk Andra sambil berpura-pura cemberut. Cindra pun tertawa geli. "Itu namanya keseimbangan," sahutnya. ... Andra menghentikan motornya tepat di depan pintu kecil yang disebut 'pintu karyawan' itu. Cindra melepaskan kedua tangannya yang melingkar di pinggang Andra. "Beneran nih, aku enggak boleh masuk?" Tanya Andra sambil membantu melepas helm dari kepala Cindra. "Sabar, ya sayang... aku harus menunggu dulu restu dari pangeran kodok," sahut Cindra cekikikan. Andra pun ikut tertawa. "Ok. Sampai besok pagi, sayang!" Ucapnya sambil kembali menyalakan mesin motornya. Lalu kembali melaju ke jalan raya. Cindra melangkah dengan senyum mengembang di wajahnya. Hatinya berbunga-bunga. Mulai besok Andra akan menjemputnya ke kampus. Meski ia harus memutar dan menempuh jarak yang jauh dari tempat kost tapi Andra sama sekali tak keberatan. Ah, akhirnya hubungan percintaannya kali ini berjalan baik-baik saja. Dari layar monitor kamera pengawas di kamarnya, Leo menatap Cindra yang tengah berjalan menuju paviliun dengan wajah yang kesal. Keningnya berkerut memikirkan sesuatu. Dan sesaat kemudian ia berjalan menuju ruangan di belakang tempat tidurnya. Ruangan itu dipenuhi oleh lemari tinggi dengan rak-rak kayu berisi pakaian yang tersusun rapi sesuai warna. Dan di bawahnya terdapat rak-rak penyimpanan sepatu yang berderet mengelilingi seluruh ruangan. Ia lalu mengambil sepasang sepatu pantofel berwarna hitam dari salah satu rak. Lalu dimasukannya ke dalam sebuah koper kosong. Cindra baru saja membaringkan tubuhnya di atas kasur saat terdengar dering interkom berbunyi nyaring. Dengan malas ia pun mengangkatnya. Ia sudah tahu siapa yang meneleponnya. Dan benar saja dugaannya. Didengarkannya suara pangeran kodok berbicara sampai selesai, lalu dengan malas ia berjalan keluar menuju kamar sang pangeran. Leo membuka pintu kamarnya dengan wajah yang tak ramah. "Kenapa baru pulang?" Sungutnya. Cindra tak menjawab. Ia sudah terlalu lelah untuk memulai pertengkaran dengannya. Tanpa berbasa basi, ia lalu masuk ke dalam ruangan di belakang tempat tidur Leo yang disebutnya walking closet. Dipandanginya salah satu bagian rak yang kosong diantara deretan sepatu formal berwarna hitam. Ternyata benar, ada sepasang sepatu menghilang dari sana. Cindra lalu mengambil gambarnya dengan ponsel. Ia akan mengirimkannya di 'chat group' karyawan untuk menanyakannya pada mereka. Cindra menoleh pada Leo yang berdiri di belakangnya dengan wajah yang masih bersungut. "Sementara kamu pakai yang lain dulu aja, nanti aku akan minta tolong pelayan untuk mencarinya," ujarnya. "Enggak bisa! Aku mau pakai nanti malam ke acara Mami," sahut Leo dengan wajah menyebalkan. Cindra menarik nafasnya menahan geram. "Leo... sepatu hitam kamu ada dua belas pasang. Kamu pakai yang lain dulu. Aku harus tanyakan dulu sama karyawan lain, mungkin ada yang tahu. Sekarang mereka lagi sibuk semua," sahutnya. "Kenapa enggak kamu aja yang cari?" Tukas Leo lagi, tak perduli. Kini Cindra tak bisa lagi menahan kegeramannya. "Astaga, Leo! Aku baru pulang kuliah. Belum mandi dan ganti baju. Dan aku perlu istirahat. Nanti malam aku baru bisa bantuin cari." Ditatapnya Leo dengan mata melotot. Leo mendengus kesal. "Aku mau kamu yang cariin. Kamu mandi dan ganti baju sekarang. Aku tunggu setengah jam lagi." Cindra melirik jam tangannya. Sudah pukul lima. Jam tujuh Leo harus sudah bersiap pergi. Dipandanginya Leo kembali dengan kesal. Dasar anak manja. Apa susahnya memakai sepatu yang lain? Toh, sepatu hitamnya itu nyaris mirip semuanya, gerutunya di hati. Tapi ia juga tahu, kalau tidak dituruti Leo benar-benar tidak akan pergi sampai sepatu itu ketemu. Dan kalau Mami Renata sampai tahu, permasalahannya akan semakin panjang. Dan akhirnya ia pun mengalah. "Ok. Aku akan datang setengah jam lagi. Jangan menelepon sebelum aku datang," ucap Cindra, lalu dengan langkah cepat keluar dari dalam kamar. Leo pun tersenyum puas memandangi punggung Cindra yang menghilang di balik pintu. Setengah jam kemudian Cindra kembali ke kamar Leo dengan wajah yang sudah segar. Dan langsung memulai pencarian sepatu itu. Dari kejauhan diam-diam Leo memandangi Cindra sambil menahan senyum. Dibiarkannya Cindra membongkar seluruh rak sepatunya. Dan ia pun menghempaskan tubuhnya di atas kursi, lalu menyalakan konsol game online. Beberapa menit kemudian ia pun hanyut dalam permainan hingga reminder dari ponselnya berbunyi nyaring. Sudah pukul setengah tujuh. Ia sudah harus bersiap-siap. Tapi kenapa suara Cindra tak terdengar? Leo melangkah masuk ke ruangan itu. Dan tertegun mendapati Cindra yang tertidur dengan wajah tertelungkup di atas rak kayu. Tangan kanannya memegang sebuah sepatu. Dan sepatu-sepatu lainnya berserakan di sekelilingnya. Tiba-tiba saja raut sesal muncul di wajah Leo. Dipandanginya wajah pulas Cindra. Lalu dengan perlahan dikeluarkannya sepasang sepatu hitam yang disembunyikannya di dalam koper. Dan diletakannya di samping Cindra. Kini Leo kembali memandangi wajah Cindra dengan ragu. Beberapa kali tangannya mencoba untuk mebangunkannya. Tapi diurungkannya kembali. Namun setelah beberapa saat dalam keraguan, perlahan ia mulai menarik tubuh Cindra, lalu dengan hati-hati mencoba mengangkatnya. Namun sebelum tubuh itu terangkat sepenuhnya tiba-tiba saja Cindra terbangun dengan terkejut, lalu berteriak kencang. Membuat Leo spontan menjatuhkan tubuhnya kembali. "Kamu mau ngapain aku?" Teriak Cindra sambil melotot. "Ge-er banget, sih! Kamu tadi ketiduran di situ. Aku mau pindahin ke sofa. Aku takut nanti lemariku rubuh kamu pakai tidur," sungut Leo dengan kesal. "Enak aja, rubuh! Memangnya aku gajah?" Sahut Cindra sambil beranjak bangun dengan sedikit kesakitan akibat dijatuhkan Leo. Namun tiba-tiba ia kembali berteriak. "Leo, sepatunya ketemu! Yang ini, kan?" Tanyanya kegirangan. Leo pura-pura terkejut. Lalu mengangguk. "Kok, tadi enggak kelihatan, ya?" Gumam Cindra kebingungan. "Makanya jangan kebanyakan pacaran. Jadi enggak fokus!" Sahut Leo sambil membuka bajunya. Bersiap-siap untuk berganti pakaian. Dan saat ia akan membuka celananya Cindra pun kembali berteriak. "Eeeeh... Leo tunggu aku keluar dulu!" Jeritnya. Leo pun terbahak-bahak melihat Cindra yang berlari ke luar dari dalam kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD