Louis Harrison's Mansion, Seattle.
Setelah mendengar ucapan Noel barusan, Smith justru mengerutkan dahinya dalam-dalam karena kebingungan dan tidak paham sama sekali dengan maksud dari ucapan rekannya itu. Ia sungguh benci teka teki dan kalimat yang ambigu. "Apa maksudmu, Noel?" Smith memandangnya penuh selidik. "Apa yang sebenarnya kau temukan di dalam ponselnya tadi, omong-omong? Aku menjadi sangat penasaran sekarang. Kita melakukan suatu hal yang ilegal, bukan? Aku jadi cemas."
"Dia membohongi kita," ungkap Noel singkat. Noel lantas mengalihkan pandangannya ke arah Wayne yang tengah menutupi kepalanya dengan handuk kecil berwarna merah dan mengusap-ngusapnya beberapa kali. Mengeringkan kepalanya yang basah setelah terkena air dari keran. "Dialah yang menyiapkan toyota camry putih itu sebelum Louis meninggalkan tempat ini setelah pesta."
"Apa?!"
Belum sempat Smith mencecar Noel dengan beberapa pertanyaan yang mengganggu di dalam benaknya, sosok Wayne justru muncul dan membuat Smith terkesiap. Pemuda berwajah tampan itu mengangguk sopan dan tersenyum lembut.
"Maaf telah membuat kalian menunggu." Wayne datang dan menginterupsi pembicaraan. "Kalian pasti detektif yang dibicarakan oleh Bibi Maria."
Ia menghampiri Noel dan Smith dengan kaus oblong abu-abu lusuh dan celana jogger yang sedikit ternodai oleh tanah. Sementara kulitnya tampak kecokelatan karena berlama-lama di bawah sinar matahari. Wayne kemudian menjabat tangan Noel. "Wayne." lalu ke Smith. "Senang bertemu dengan kalian. Mau melihat-lihat kebun di sini?"
Wayne kemudian memimpin di depan setelah Noel mengangguk setuju. Sesekali tangannya yang setengah kotor meraba bunga-bunga terdekat sambil terus menjelaskan apa yang Louis simpan di dalam kebunnya tersebut. Kata Wayne, Louis suka sekali memandang kolam air angsa dari kamarnya di lantai dua. Ia juga selalu memuji tukang kebunnya itu karena bunga-bunga penuh warna yang selama ini ia rawat, membuat kebun di Mansion tampak cantik dan sempurna. Wayne merasa sangat beruntung bisa bekerja dengan Tuan sebaik Louis.
"Omong-omong, kapan terakhir kali kau melihat Louis, Wayne?" tanya Noel begitu mereka sampai di depan kolam air angsa.
Karena usia Wayne yang cukup muda, mungkin sekitar 20 tahun-an akhir, jadi pemuda itu meminta Noel untuk bersikap santai dan cukup dengan memanggil namanya saja agar obrolan mereka tidak terasa canggung dan tak nyaman.
Wayne lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah kantung plastik berwarna hitam. Isinya adalah makanan para angsa itu. "Kurasa sebelum pesta dimulai, Detektif," katanya sembari menebar makanan angsa itu ke dalam kolam. "Tuan Muda terus berada di dalam dan aku di sekitar sini."
"Apakah ada yang aneh malam itu? Sesuatu yang mungkin tidak biasa dan mencurigakan?" lanjut Noel.
"Aku tidak yakin karena di tengah-tengah pesta, aku pergi ke halaman belakang untuk mempersiapkan panggangan. Mereka berniat memanggang daging-daging mahal malam itu, jadi aku segera bergegas untuk menyiapkan," ucap Wayne sembari menyimpan kembali kantung plastik tersebut ke dalam sakunya. "Tapi yang kudengar dari Maria, sebuah kekacauan terjadi dan beberapa tamu pergi setelah Tuan Muda meninggalkan pesta."
Smith menggumam. "Beberapa tamu?" dan menyilang kedua tangannya di d**a. "Maksudmu, bukan hanya Louis yang meninggalkan pesta malam itu?"
Wayne mengangguk cepat. "Saat tahu ada keributan, aku berlari ke halaman depan dan melihat beberapa mobil ikut keluar bersama mobil Tuan Muda. Mereka seperti mengikuti Tuan Muda atau semacamnya."
"Apa kau ingat wajah mereka?" Rasa penasaran sangat kentara di wajah Noel sekarang. "Atau setidaknya mobil yang mereka gunakan malam itu? Bisakah kau mengingatnya?"
Namun pemuda berusia 30 tahunan itu menggeleng. "Aku tidak tahu siapa mereka dan aku tidak berusaha menghapal merk-merk mobil itu."
***
Seattle Departments Police.
03:00 pm.
Pria dengan tinggi 182cm itu pun duduk dan menyandarkan kepalanya yang terasa pening di puncak kursi. Ia memijit pelipisnya perlahan dan berharap rasa sakit itu segera lenyap. Sedangkan rekannya duduk di sofa dan mencatat semua kesaksian yang mereka dapat di Mansion Louis, selagi menunggu Noel merasa lebih baik.
Namun tidak lama setelah mereka datang, seseorang justru datang dan mengetuk pintu dari luar. Pintu kemudian terbuka setelah Smith mengizinkannya masuk dan Alexandra-lah yang ada di sana. Ia datang dengan gaun merah muda tanpa lengan dan sepatu converse hitam yang membuatnya lebih casual.
"Nona Morran?"
Alexandra tersenyum dan duduk di sebelah Smith. "Alexandra saja." Ia lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa seperti di rumah dan tak menggubris pertanyaan Noel di belakangnya. Bagaimana tidak bosan, Noel selalu bertanya untuk apa dia datang dan blablabla. Bukankah sudah jelas bahwa Alexandra bergabung dalam penyelidikan ini untuk ikut menguak kebenarannya dari awal? "Kalian sudah berbicara dengan mereka? Menemukan sesuatu?"
Smith tersenyum lebar dan mengangguk cepat. "Ya, memang belum jelas. Tapi kami menemukan beberapa fakta tentang kekasihmu." Ia lalu beranjak dari sofa. "Perlukah aku memesankan minuman untukmu?"
Wanita berusia 25 tahun itu lalu mengibas-ngibaskan tangannya di udara sebelum bersedekap. "Tidak perlu, aku tidak akan lama." Smith pun kembali duduk di sebelahnya. "Fakta apa yang kalian temukan di sana omong-omong?"
"Fakta bahwa Louis tidak ingin menikahimu," sela Noel ketus. Alexandra berbalik dan menatap tak suka pada Noel yang ikut duduk di sofa sekarang. Smith melotot karena panik sekarang. "Kau tidak tahu bahwa dia ingin membatalkan pernikahan kalian, bukan?"
"Ssh, Noel." Smith mencoba mendesis, memberi kode padanya agar tak membuka mulut besarnya itu. Mereka sudah berjanji pada Maria, bagaimana Noel bisa lupa begitu saja.
Ada sorot marah dalam iris biru milik Alexandra saat ia tiba-tiba berdiri. Matanya beradu dengan netra cokelat Noel. Seraya mengepalkan tangan, menahan kesal, ia berseru, "Kau boleh membenciku atau apapun, tapi jangan berasumsi seperti itu di depanku!"
"Louis tidak ingin menikahimu. Sudah jelas, bukan?" Bukannya meredam suasana, Noel justru tersenyum miring dan menaikkan satu alisnya menantang. "Dia sama sekali tidak mencintai wanita manja sepertimu."
Alexandra kemudian menghentakkan kakinya dengan keras ke lantai. "Cukup!" Lalu dirogohnya mini pouch berwarna senada yang dibawanya tadi untuk kemudian mengeluarkan sesuatu. Secarik kertas, lagi. "Aku seharusnya tahu kalau kau adalah orang paling tidak tahu diri yang pernah kutemui!" Ia melemparkan kertas yang sudah diremasnya hingga menjadi seperti bola karena kesal dan melemparnya tepat ke wajah Noel sebelum tubuhnya yang ramping meleos pergi meninggalkan ruangan.
Noel mendesah kasar. "Wanita sialan!"
"Hey, dia melemparimu dengan apa tadi?" tanya Smith.
Noel lalu tersadar dan buru-buru meraih bola kertas yang dilempar Alexandra dari lantai. Ia lalu membukanya dan menemukan beberapa nama di sana.
"Christian, Carl dan Nicole?"
Smith berdecak dan menggeleng tak habis pikir. "Dia datang untuk membantu lagi. Tapi kau malah memperlakukannya dengan kejam," tandas Smith seraya bangkit dari sofa. "Kau sangat kekanakan, Noel." []