Downtown Seattle Convention Apartment.
Alexandra duduk dengan menyilang kedua kakinya di sebuah sofa panjang berwarna marun. Kakinya yang jenjang dan berbalut stiletto hitam dibiarkan terekspos dengan jelas saat sekali lagi, flash dari kamera sang fotografer yang berdiri di posisi strategis akhirnya berkedip dengan cepat ke arahnya. Alexandra kini memang tengah melakukan photoshoot untuk iklan sebuah brand kosmetik yang cukup terkenal di dunia.
Wajahnya yang tak sedikitpun menunjukkan senyuman di depan kamera justru berhasil membangkitkan kesan misterius dan anggun secara bersamaan pada pemotretannya kali ini. Mata birunya dipoles eye shadow berwarna gelap dan lentiknya bulu mata hitam seolah cocok dengan konsep glamour yang ingin ditekankan dalam sesi pemotretan kali ini. sementara bibirnya yang tipis dibuat mencolok dengan gincu merah menyala yang senada dengan gaun merahnya. Memang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Alexandra memiliki bakat alamiah dan pesona yang tak dapat terbantahkan oleh apapun dan siapapun. Alexandra memang ditakdirkan menjadi cantik dan hal tersebut benar-benar anugerah untuknya.
"Sudah cukup," kata sang fotografer diakhiri dengan senyumannya untuk sang model. "Kau benar-benar luar biasa, terima kasih untuk hari ini."
"Ya, tentu," kata Alexandra ramah.
Wanita yang sudah sejak kecil bergelut di dunia modelling ini pun beranjak dari sofa (yang merupakan properti pemotretan) tersebut dan berpindah pada sofa lain di sudut ruangan. Alexandra menghela napas jenuh lalu membanting tubuhnya dengan asal di sebelah seorang pria.
Gadis itu melepas sepasang anting berbentuk bintang dengan sentuhan mata berlian yang baru saja digunakannya sebagai aksesoris tambahan dan meletakkannya di atas meja ketika asisten sang fotografer menghampirinya. Memberi tanda agar pria muda itu segera mengambil kembali aksesori tersebut dan mengembalikkannya kepada sang pemilik brand.
"Kau lelah?" tanya Jeff.
Jeff sendiri adalah sahabat sekaligus pemilik bisnis apartemen yang kini tengah menjadikan Alexandra dan Stella--rekan satu agensi Alexandra--sebagai model mereka. Alexandra memang dikenal sebagai model dengan banyak proyek iklan di belakangnya. Beberapa brand dan perusahaan ternama telah menggunakannya sebagai model brand atau seorang ambassador. Jadi, tidak ada alasan untuk Jeff tidak menjadikan sahabatnya yang memang sudah memiliki latar bagus untuk menjadi brand ambassadornya juga.
Stella yang sejak awal sudah duduk di seberang Jeff--menunggu Alexandra--mendesah dan menyibak rambut pirangnya yang menjuntai ke belakang bahunya dengan angkuh. "Tentu saja dia lelah. Wajahnya memenuhi hampir setiap detik pemotretan dan kau hanya memberiku dua bagian saja," sindirnya. "Kau benar-benar tidak adil, Jeff."
Jeff hanya tertawa pendek untuk menimpali keluhan gadis bertubuh kurus itu. "Kau bisa mendapatkan lebih banyak bagian di kolam renang nanti, Stella." Lalu pria dengan tato naga di punggung tangannya itu beralih pada Alexandra. "Kau tampak kurang tidur, Alex. Lihatlah lingkar hitam di bawah matamu itu. Apa kau yakin akan baik-baik saja?"
Charlie yang baru saja masuk ke ruangan tersebut langsung duduk di sebelah Stella dan meletakkan sekantung makanan di atas meja. Pria dengan kemeja merah muda pendek dan celana jeans hitamnya itu lalu melihat Alexandra dan Jeff bergantian. "Dia begitu... karena kelelahan dan berusaha terlalu keras untuk menangkap pelaku pembunuhan Louis." Alexandra sontak melotot ke arah Charlie hingga membuat pria penyuka warna merah muda itu menutup mulutnya cepat. "Ups!"
"Apa?! Pembunuhan?" Stella menatap Alexandra dan Charlie bergantian dengan pandangan penasaran sekaligus terkejut. "Bukankah Paman Matthew sudah merilis klarifikasi tentang kematian Louis pada konferensi persnya? Louis meninggal karena kecelakaan tunggal di terowongan Metro, 'kan?"
"Ya. Ada apa ini, Alex? Apa ada sesuatu yang kami tidak tahu di sini?" timpal Jeff yang tidak kalah penasaran. "Maksudmu, Louis mungkin tidak benar-benar tewas karena kecelakaan?"
Alexandra yang menerima tatapan penuh desakan dari Jeff dan Stella akhirnya hanya bisa mengembuskan napas berat dan memutar kepalanya jenuh. Ini semua karena Charlie dan mulut besarnya itu. Gadis berambut panjang itu kemudian menyibak rambutnya ke belakang dan mengedikkan bahunya cepat. "Dari hasil autopsi, mereka menemukan fakta bahwa Louis dianiaya oleh seseorang sebelum dia mengalami kecelakaan," ujarnya berterus terang. Stella dan Jeff sontak tercengang di tempatnya. "Tapi paman Matthew ingin kami menangkap pelakunya secara diam-diam demi menyelamatkan bisnis keluarga mereka. Aku cukup mengerti dengan kondisi dan perasaan Paman Matthew.
Jadi kalian berdua, oh tidak, termasuk kau, Charlie." Alexandra menghunuskan tatapan tajam kepada Charlie sebelum melanjutkan, "Kalian bertiga harus menutup mulut rapat-rapat dan menyimpan rahasia ini dengan baik. Jangan sampai siapapun tahu soal ini, apalagi media. Mereka adalah salah satu yang harus paling kita hindari."
"Astaga," desah Stella. "Ini benar-benar mengerikan."
Lain halnya dengan Stella yang syok, Jeff justru menanggapinya dengan bijak dan mengangguk paham. Membuat Alexandra merasa sedikit lega. "Lalu bagaimana kau akan menangkap pelakunya? Apakah kau memiliki petunjuk atau semacamnya?"
Pertanyaan Jeff barusan berhasil membuat Stella dan Charlie ikut menatap Alexandra penasaran.
"Aku bekerja sama dengan seorang detektif menyebalkan yang menemukan jasad Louis malam itu," katanya malas. Jika dipikir-pikir lagi, Noel memang sangat menyebalkan dan semakin mengingatnya justru semakin membuatnya jadi kesal sendiri. Jika bukan karena Noel lah yang mengetahui kasus kematian Louis, Alexandra juga tidak sudi berurusan dengan detektif sombong itu. "Seandainya bisa memilih, aku pasti akan menyewa polisi yang lebih kompeten dan beretika daripada pria berwajah es itu. Dia bukan hanya berwajah es, tapi hatinya juga.
Tampaknya detektif itu tidak punya empati sama sekali. Sungguh menyebalkan."
Stella dan Jeff saling bertukar pandang heran, yang justru langsung dimengerti oleh Charlie. Sehingga ia buru-buru menimpali, "Pria itu bilang Alexandra hanya wanita manja dan tak bisa melakukan apa-apa." dengan santainya. I bahkan tidak sadar kalau Alexandra tengah memberengut kesal karena Charlie lagi-lagi membocorkan semuanya. Dasar si mulut bocor!
"Dia benar," tukas Stella setuju.
Membuat Alexandra yang dudum berhadapan dengannya langsung kemudian bersedekap dan menatap Stella dengan tajam sehingga gadis itu berubah gugup. "Maksudku tidak begitu." Stella buru-buru mengoreksi. "Bukankah lebih baik kau menunggu dan membiarkan polisi yang melakukannya? Sebagai sahabat, aku melihat situasi ini mungkin akan berbahaya untukmu, Alex. Bahkan sebelum kau menangkap pelakunya, dia pasti sudah melakukan sesuatu padamu atau semacamnya.
Lagipula, memangnya kau ini siapa? Kau bisa apa? Apa kau seorang ahli bela diri atau mantan atlet? Aku tidak habis pikir, bagaimana kau bisa mengambil keputusan itu tanpa berpikir panjang, Alex."
"Aku harus menangkap pembunuhnya dengan tanganku sendiri," kata Alexandra lugas. Ia lalu menyibak rambut brunettenya yang bergelombang kembali ke punggung. "Pembunuh itu telah menghabisi nyawa seseorang yang paling kucintai. Apa menurut kalian, menunggu adalah jawabannya? Aku tidak akan membiarkannya lolos barang sedetik saja."
"Tapi Stella benar." Jeff terdengar serius sekarang. Membuat Alexandra, Stella dan Charlie balik menatap Jeff penasaran. "Melakukan penyelidikan terhadap pelaku pembunuhan Louis mungkin akan membahayakan untukmu, Alex. Jadi, bagaimana jika aku bergabung dalam penyelidikan kalian?"
Stella, Alexandra dan Charlie tercengang. "Apa?!" kata mereka bersamaan. []