Seattle Downtown Covention Center.
"Ini terdengar mengerikan, bukan?" Charlie menambahkan.
Jeff kemudian mengedikkan kedua bahunya cepat. "Jika melakukannya sendiri mungkin akan sangat berbahaya terutama bagi Alexandra yang tidak memiliki ilmu bela diri. Setidaknya jika aku bergabung, aku bisa membantumu atau tetap berada di sisimu saat pelakunya terlihat." Semua orang di sekelilingnya kini memandang Jeff tak percaya. "Aku ahli bela diri dan meretas sistem komputer. Mungkin akan berguna dalam penyelidikan rahasia ini. Bagaimana?"
Charlie berdecak beberapa kali sembari menepuk tangannya di udara. "Kalian berdua memang pasangan yang sangat serasi dan berpikiran liar rupanya." Lalu ia memukul kepala Jeff dengan selembaran iklan yang ada di atas meja. "Tapi jika kalian berdua tewas dalam penyelidikan itu, apa yang harus aku lakukan, bodoh?!" Ia menyilang kedua tangannya di d**a dan menatap mereka bergantian. "Pikirkan baik-baik resikonya sebelum kalian bertindak. Alexandra memiliki banyak jadwal dan beberapa proyek iklan yang sudah ditanda tangani. Jika terjadi sesuatu, apa aku harus mempertaruhkan hidupku?"
"Hey, kenapa kau sangat cemas?" Stella menyenggol lengan Charlie dengan lengannya dan mengerlingkan matanya menggoda. Ia kemudian mengibas-ngibaskan rambutnya ke belakang dan memasang wajah imut yang dibuat- buat di depan sang manajer. "Jika Alexandra tewas dalam penyelidikan, kau bisa menjadikanku sebagai satu-satunya model di agensi ini. akau setuju dengan itu, 'kan, Alexandra?"
Satu selembaran iklan lainnya kembali melayang. Namun kali ini ke arah kepala Stella. Charlie memukul pelan kepala model di bawah agensinya yang lain sembari mengumpat, "Bodoh! Jaga mulutmu itu sebelum aku merobeknya." Charlie melipat kedua tangannya di d**a dan melihat Alexandra lalu ke Jeff. "Aku tidak akan membiarkan satu di antara kalian terluka. Alexandra adalah model terbaik yang dimiliki agensi kami dan Jeff adalah pengusaha yang memberikan investasi besar dalam proyek iklan.
Jadi, aku tidak bisa kehilangan kalian berdua. Mengerti?"
Stella pun mengusap kepalanya dan merajuk, "Kau kejam sekali padaku, Charlie." Kemudian melihat Alexandra kesal. "Kenapa semua proyek iklan yang kau terima, selalu diberikan kepada Alexandra? Memangnya aku ini bukan tanggung jawabmu juga, hm?"
Charlie mencebik. "Kau ini, selalu saja mengeluh," lalu mengibas- ngibaskan tangannya di udara seolah tengah mengusir lalat yang mengganggu. "Itulah alasan kenapa aku lebih menyukai Alexandra."
"Sudah, sudah," sela Alexandra. "Kenapa kalian jadi berdebat di sini? Telingaku mau pecah mendengarnya tahu."
Jeff kembali tersenyum dan menatap Alexandra. Sementara Charlie dan Stella saling membuang muka satu sama lain, menghindari tatap muka karena sama-sama kesal. "Kau bisa menghubungi detektif itu dan mengatakan keinginanku tadi, Alex. Bukankah jika semakin banyak orang yang mencari dan bekerja sama, akan lebih mudah untuk menemukan pelakunya?"
"Dua lebih baik daripada satu," timpal Stella. "Itukah yang kau coba katakan sekarang, Jeff?"
Jeff hanya menyunggingkan senyum dan mengangguk mengiyakan.
"Tapi kurasa dia tidak akan mudah menerimanya." Alexandra melirik Charlie dan mengangkat kedua bahunya. Mengingat betapa sulitnya Alexandra ketika mereka membuat kesepakatan dalam penyelidikan rahasia itu. Ia bahkan tidak bisa membayangkan betapa malasnya Alexandra untuk kembali bertemu dengan Noel dan memohon agar Jeff bisa bergabung dalam penyelidikan meski kedengarannya menarik dan menguntungkan baginya. "Dia seperti ... ketua geng yang sadis dan tidak berperasaan."
Kira-kira begitulah Alexandra menggambarkan sosok Noel kepada Jeff agar sahabatnya itu tidak banyak berharap. Alexandra juga tidak ingin merendahkan harga dirinya hanya untuk memohon untuk kali kedua. Lagipula, ia yakin masih bisa menangkap pelakunya meski tanpa bantuan seorang Jeff.
Namun lagi-lagi Jeff dibuat tertawa oleh ucapan polos yang keluar dari mulut Alexandra. Gadis itu memang selalu tahu caranya menghibur dan membuat suasana menjadi menyenangkan. "Kau bisa mencoba menghubunginya sekarang, Alex. Tidak ada salahnya untuk mencoba, bukan?"
Wanita berambut pirang di hadapannya pun menambahkan, "Kurasa aku akan merasa lebih tenang kalau Jeff berada di sisimu. Meskipun sebenarnya aku juga tidak keberatan jika sesuatu yang buruk menimpamu, Alex. Akan lebih baik untukku jika kau menerima takdir yang kedua, tapi agensi ini masih membutuhkanmu." Ia lalu beralih pada Charlie dan mengedipkan matanya berkali-kali. "Bukan begitu, Manajer?"
Charlie mendapati ketiga orang di sekelilingnya memandang penuh harap ke arahnya, hingga ia kian merasa risih. "Astaga, kenapa kalian melihatku dengan tatapan mengerikan itu? Lagipula, semua keputusan ada di tangan Alexandra.
Lagipula sepertinya aku tidak punya pilihan lain saat kalian mendesakku dengan tatapan mengerikan itu," ucapnya diakhiri dengan dengusan pendek. "Jeff mungkin bisa melindungimu saat pelakunya muncul. Setidaknya dia akan meninju atau bergerak menghindar alih-alih diam dan menangis sepertimu, Alex."
Alexandra tersenyum dan segera meraih ponselnya dari dalam tas. Perasaan percaya diri memenuhi dirinya sekarang. Jeff yang selalu ada di pihaknya pasti akan sangat membantu dalam penyelidikan dibandingkan Noel sendiri yang selalu bersikap arogan terhadapnya.
Ia kemudian menekan beberapa tombol di layar ponselnya dan mencoba menghubungi Noel.
Beberapa kali Alexandra mencoba menelpon sampai akhirnya Alexandra merasa bahwa ini akan berakhir sia-sia. Ia pun menurunkan ponsel dari telinganya. "Dia tidak menggubris panggilanku. Kalian bisa melihat sendiri bahwa ia benar-benar mengerikan seperti ketua geng, bukan?" ucap Alexandra seraya membanting ponselnya ke sofa. Ia langsung bersedekap dan melihat ketiga orang di sekitarnya. "Sekarang bagaimana?"
Stella mendengus geli dan menyilang kedua tangannya di d**a. "Pria itu luar biasa. Dia mencampakanmu di saat pria lain sangat-sangat menginginkanmu," katanya sarkas. "Sepertinya detektif bernama Noel itu adalah tipe ideal untuk menjadi pacarku."
Yang dibalas dengusan pendek dari Alexandra. "Jangan terlalu berharap."
Stella mencondongkan wajahnya antusias kepada Alexandra. "Kau tidak menyukainya, bukan?" Membuat Jeff dan Charlie menoleh curiga pada Alexandra. Sehingga gadis itu buru-buru menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu, tidak keberatan jika aku mendekatinya?"
Alexandra membulatkan matanya kaget. "Kenapa bertanya? Memang aku peduli dengannya?"
Membuat gadis dengan rambut pirangnya yang khas itu tersenyum lebar. "Baiklah kalau begitu."
Jeff kemudian mengusap puncak kepala Alexandra yang mengerucutkan bibirnya karena kesal. "Jangan buru-buru, kau bisa berbicara dengannya nanti. Bagaimana, kalian setuju bukan?" Ia tersenyum lembut kepada gadis bermata biru yang telah sejak kecil menjadi sahabatnya. Sehingga gadis itu tampak lebih baik dan tidak lagi menggerutu. "Aku berjanji akan melindungimu sampai kapanpun, Alex." []