11. Berusaha Biasa Saja

1144 Words
Zita berjalan menyusuri taman kampusnya. Di mana tempat biasa dirinya melihat Rio dari kursi langganannya ke arah kelas Rio. "Duar...!" "Astaga...!" Zita kaget ketika ada orang yang menggebrak bahunya dengan sekali hentak disertai suara yang sangat lantang. "Kaget ya, Ta?" Devi hanya cengar-cengir tidak jelas di depan Zita yang menatapnya sangar. "Lo kenapa sih, Dev. Dari dulu hobby banget mengagetkan gue?" tanya Zita kesal lalu mendudukkan pantatnya pada kursi langganannya diikuti oleh Devi. "Hehehe... Senang saja, Ta. Ekspresi lo lucu sih." cengir Devi tak jelas. "Cish... Dasar lampir." desis Zita kesal. "Terima kasih nenek sihir." balas Devi dengan nada dilembut-lembutkan. "Sip nyi blorong." Zita mengacungkan kedua jempolnya ke depan wajah Devi. "Lo ngapain masih duduk di sini, Ta? Kan sudah lo dapatkan apa yang lo mau." tanya Devi heran. "Gue memang hobby duduk di sini kan. Kenapa baru sekarang lo protesnya?" Zita melirik ke Devi yang fokus memandang arah pintu kelas Rio dan ketiga sahabatnya. "Gue bukan protes keles, cuma tanya." Devi menyilangkan kedua tangannya ke depan d**a. "Eh Ta, gue penasaran deh." Devi sudah beralih menghadap ke Zita lagi sembari meniup-niup poninya. "Penasaran apa?" tanya Zita heran. "Kok lo sama Kak Rio bisa nikah?" Devi berganti merapikan poninya menggunakan jari-jarinya. "Entar gue ceritakan kalau sudah lengkap. Sekarang cuma berdua, tidak adil." jawab Zita mulai membuka buku diary-nya. "Ya elah Ta, lo sudah nikah masih saja bawa-bawa kayak beginian." Devi menutup buku diary milik Zita. "Ish... Diam coba, Dev." Zita kembali membuka buku diary-nya dan mulai membubuhkan tinta ke kertas yang masih kosong. "Ta, gue mau tanya nih. Tapi lo wajib jawab jujur ya." Devi mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Zita dari samping. "Hem..." sahut Zita tanpa menoleh. "Kalau misalkan lo pacaran terus backstreet, lo bakal bagaimana sama pacar lo?" Pertanyaan Devi mampu membuat Zita menutup diary-nya dan memasukkan ke dalam tas lalu menatap wajah Devi secara saksama. "Lo pacaran dan lo backstreet?" tanya Zita menatap mata Devi intens. "Hah? Eng-enggak kok. Enggak, memang gue mau pacaran sama siapa? Dekat sama cowok saja tidak ada." jawab Devi gelagapan. "Ya siapa tahu sama Kak Nofal." jawab Zita menebak sembari mengedikkan bahunya tak acuh. Zita kembali fokus ke arah depan tanpa tahu jika Devi mengelus dadanya lega. Setidaknya Zita tidak terlalu lama melihatnya. "Enak saja kalau bilang. Ya tidaklah, kan gue sudah janji sama kalian." Devi pun ikut berusaha bersikap biasa saja. "Janji mah gampang, Dev. Menepatinya itu yang susah." pandangan Zita masih fokus ke depan. "Uhuk... Uhuk..." Devi tersedak oleh ludahnya sendiri mendengar penuturan Zita. "Kenapa lo?" tanya Zita bingung. "Enggak." Devi masih berusaha mengelak. "Apa jangan-jangan memang benar lo pacaran dan lo backstreet?" tanya Zita dengan nada seperti orang menginterogasi. "Apaan sih, tidak Zita." jawab Devi terus berusaha meyakinkan Zita. "Iya, gue percaya sama lo." Zita kembali memfokuskan pandangannya ke arah depan diikuti oleh Devi. Devi dan Zita bisa melihat Ikbal dan Nofal memasuki ruang kelasnya tanpa Rio dan Refi. Zita dapat melihat jelas jika Nofal tersenyum ke arahnya sejenak sebelum benar-benar masuk ke ruang kelasnya. Zita langsung menengok ke arah Devi. "Itu Kak Nofal barusan senyum sama lo, Dev?" tanya Zita membuat Devi menegang seketika. "Hah? Ya tidaklah, Ta. Masa iya Kak Nofal senyum ke gue. Mengarang saja lo kalau ngomong. Ke kelas yuk." Devi menyambar tas selempangnya dan berjalan mendahului Zita. Zita menyusul Devi yang sudah jalan di depannya menuju kelas mereka. Zita berusaha menyejajarkan langkahnya dengan langkah Devi. "Tidak ada yang lo sembunyikan dari gue kan, Dev?" tanya Zita serius. "Enggak kok, Ta. Tidak ada yang gue sembunyikan." Devi semakin mempercepat jalannya. "Syukur deh kalau tidak ada." sahut Zita kembali bisa menyamakan langkahnya dengan Devi. *** Rio memarkirkan mobilnya pada sebuah rumah besar bercat putih bertuliskan Ruck pada pintu utama. Sebelum benar-benar turun, Rio memakai kacamata hitamnya terlebih dahulu. Semua orang langsung hormat ketika melihat Rio turun dari mobil menuju pintu utama rumah itu. "Selamat pagi." sapa mereka semua dengan nada suara tegas. Memang selalu seperti ini jika ada yang bertamu ke kediaman bos mereka. Dengan angkuhnya Rio hanya menganggukkan kepalanya sekilas. Pandangannya masih lurus ke arah pintu utama. Pintu itu kini sudah terbuka oleh dua orang bodyguard penjaga pintu, membuat Rio semakin cepat melangkahkan kakinya masuk ke dalam. "Selamat pagi, Bos." sapa seorang lelaki yang duduk di kursi kejayaannya. Ternyata itu bukanlah sebuah rumah. Tapi sebuah ruangan besar yang menyimpan sebuah senjata dan ruangan berkumpul para detektif yang biasa disewa oleh kalangan para konglomerat atau pebisnis untuk mencari informasi dari lawan. Ruangan yang sengaja didesain seperti rumah supaya orang-orang tidak curiga. Rio membuka kacamata hitamnya, menatap tajam kepada lelaki yang menyapanya dengan panggilan Bos. "Gue tidak mau basa-basi. Kenapa dua hari kemarin lo tidak kasih laporan ke gue?" Rio menarik kursi di depan meja pimpinan agensi detektif kepercayaan keluarga Pratama dari dulu. "Saya mohon maaf, Bos. Pihak kami kemarin sempat kehilangan jejak. Ta..." "Kehilangan jejak? Lo semua bego!" Rio mencondongkan badannya pada ketua agensi Ruck di depannya. "Maaf, Bos. Tenang saja, saya sudah kembali bisa melacaknya. Tapi saya belum bisa memastikan apakah itu benar atau tidak." "Kerja lo tidak becus. Apa iya harus gue yang turun tangan sendiri?" amarah Rio mencuat sudah. "Maaf, Bos. Saya akan berusaha lebih lagi supaya cepat ditemukan." "Kalau kerja lo tidak becus, gue bisa ajukan untuk penutupan Ruck." ancam Rio sambil memakai kacamatanya lagi. "Ja-jangan, Bos. Ruck jangan ditutup. Saya pastikan masalah ini akan terpecahkan. Mohon maaf, tapi pihak mereka sangat-sangat rapat menutupi semua ini." "Terus lo mau bilang tidak bisa begitu? Tidak usah jadi detektif saja kalau lo bilang begitu!" suara Rio kembali meninggi. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu pun diam. Diam, tak ada yang berani menatap Rio atau pun menyahuti ucapan Rio. "Bukan begitu, Bos. Masud saya, pihak kami harus kerja lebih giat lagi untuk memecahkan kasus ini." jawab ketua Ruck gelagapan. "Memang harus giat. Gue tidak mau tahu, pokoknya pecahkan kasus ini secepatnya. Ini sudah berjalan selama dua bulan. Gue tidak mau rugi." Rio berdiri akan meninggalkan ruangan Ruck. "Siap, Bos." ketua Ruck tadi pun berdiri dan mengantar Rio sampai depan pintu. *** "Lo kenapa sih, Nah?" tanya Zita heran ketika melihat Sinah baru saja datang ke kelas dengan buru-buru. "Tidak kok, gue cuma takut telat saja." jawab Sinah langsung duduk di depan Zita. Devi melirik arlojinya sekilas untuk memastikan jam berapa sekarang. "Iya sih, bentar lagi jam masuk." sambung Devi membenarkan. Sinah bernafas lega karena alasannya kali ini tepat sekali. Jadi tidak akan mendapat pertanyaan-pertanyaan aneh dari kedua sahabatnya itu. "Eh, Ulfa ke mana sih? Kok tidak ada?" tanya Zita bingung melihat kursi di depan kosong. "Lah, kita kira lo tahu ke mana Ulfa, Ta. Soalnya dari kemarin sudah tidak masuk." jawab Sinah yang mendapat anggukan dari Devi. "Dari kemarin?" tanya Zita memastikan. "Iya dari kemarin, Ta. Apa sakit ya?" sahut Devi berusaha berpikir. "Apa kita ke rumahnya saja nanti pas pulang kuliah?" usul Sinah membuat Devi sedikit ada pencerahan. "Bener juga tuh, kita ke rumahnya saja." "Yah, gue tidak ikut deh. Gue mau ke rumah sakit. Kata Bunda, Ayah sudah siuman dari semalam dan menanyakan gue." desah Zita sedikit menyesal. "Tidak apa-apa kok, Ta. Om Yudha kan lebih penting, Ta. Entar kita calling-an saja kalau sudah ketemu sama Ulfa-nya." Devi mengelus bahu Zita untuk sekedar menenangkan. "Iya Ta, biar gue sama Devi saja yang ke rumah Ulfa." Sinah tersenyum pada Zita. "Hehehe... Iya." "Selamat pagi." Semua mahasiswa kelas langsung terdiam ketika dosen memasuki ruang kelas. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD