1. Taruhan
Bumi ini telah kembali menitikkan butiran hujan...
Entah sudah kali ke berapa dari aku terpikat oleh sebuah senyuman...
Bahkan hati ini telah tertawan oleh paras rupawan...
Khayalku pun terus tertuju untuk dia sang pujaan...
Tuhan, perasaan apa ini?
Aku sendiri pun tak pernah mengerti...
Yang aku ingat dia seseorang yang memiliki arti...
Dia yang tak pernah lelah menyita hati ini...
Sungguh, aku tak pernah berani...
Untuk menamai apa sebenarnya isi hati...
Karena aku takut dia akan menjauh dan pergi...
Biarlah selamanya kusimpan dalam sanubari...
Cukup mendengar suaranya...
Tanpa berniat mengajaknya bercakap...
Cukup memandang elok rupanya...
Tanpa berniat untuk bertatap...
Cukup melukis senyumnya...
Tanpa berniat meminta senyum manisnya...
Cukup mengetahui kesehariannya...
Tanpa berniat masuk ke dalam ceritanya...
Aku sangatlah maklum...
Siapa diri ini dan siapa dirimu...
Dia lelaki dengan sejuta daya pukau...
Sedang diriku?
Hanya sebatas pengagummu...
***
Zita menutup buku diarynya. Meski tadi tangannya sibuk mengungkapkan isi hatinya. Tapi pandangan matanya tak lepas dari sosok lelaki bergingsul yang sedang bersendau gurau di depan kelasnya bersama teman-temannya.
Mata Zita tak pernah lepas dari sosok kakak senior yang sangat memesona baginya. Semenjak mereka berada di sekolah menengah pertama, Zita sudah menyukai kakak kelas berkulit hitam manis itu. Bahkan melirik lelaki lain sekali pun tidak pernah. Seluruh waktunya dia habiskan untuk mengagumi lelaki jangkung bernama Alzario Pratama, atau kerap disapa Rio.
"Samperin gih." Zita berjingkat ketika mendengar suara merdu di dekat daun telinganya barusan.
"Ulfa, lo mengagetkan gue saja deh. Untung gue enggak jantungan." Zita mengelus dadanya.
"Sampai kapan lo akan terus memandangnya dari kejauhan?" Ulfa menyodorkan coklat bawaannya kepada Zita.
Ulfa adalah sahabat Zita selain Devi dan Sinah. Zita dan Ulfa sudah sahabatan dari mereka kecil, bahkan rumah mereka dulu berdekatan. Sedangkan dengan Devi dan Sinah, ketika mereka bertemu di SMP.
"Gue mana punya nyali, Fa. Gue sadar kok, dia siapa dan gue siapa." Zita mengunyah coklat pemberian Ulfa dengan hati sedih.
Sedih ketika mengingat bahwa lelaki yang dia cintai secara diam-diam itu adalah pemilik dari Universitas tempat dirinya belajar. Sedangkan Zita hanyalah mahasiswi jalur beasiswa. Tidak seperti ketiga temannya yang anak dari orang berada.
"Semua orang berhak jatuh cinta, Ta. Termasuk lo, cinta enggak salah kok. Memang kita mau pilih-pilih kita boleh dan enggak jatuh cintanya sama siapa saja? Enggak kan?"
Ulfa memandang sendu kepada sahabatnya jika sudah membicarakan tentang status ekonomi mereka. Sebenarnya dulu Zita itu putri dari orang berada, malah melebihi kekayaan yang orang tua Ulfa punya. Tapi karena papanya tertipu oleh orang yang tidak bertanggung jawab, jadi papanya bangkrut dan semua asetnya disita.
"Sinah, sama Devi mana?" tanya Zita berusaha mengalihkan pembicaraan. Ulfa mendengus mendengar pertanyaan orang yang sedang dia tarik pergelangan tangannya.
"Mereka di perpus lagi cari buku. Kita ke kantin yuk, lapar nih gue." tanpa meminta persetujuan Zita, langsung menarik lengan Zita begitu saja.
"Pelan-pelan coba, Ul. Tangan gue sakit nih." gerutu Zita.
"Lo kalau enggak gue seret, enggak akan mau ikut."
"Iya-iya gue ikut. Tapi lepas tangan gue, sudah merah banget nih."
Sesuai permintaan, Ulfa langsung melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Zita.
"Eh Ta, lo sudah dengar belum kalau Nofal sahabatnya Rio itu akhir-akhir ini berusaha mendekati Devi?" Ulfa memelankan suaranya supaya tidak terdengar oleh mahasiswi atau mahasiswa lainnya.
Karena kalau sampai terdengar, bisa mampus Devi dihajar fansnya Nofal. Apalagi Nofal orangnya suka tebar pesona dari keempat lainnya, jadi pastilah anak-anak tidak akan respect sama Devi.
"Gue dengar kok, tapi gue sudah memperingati Devi supaya enggak terjebak sama pesona Kak Nofal yang abal-abal. Sudah banyak korbannya."
Zita dan Ulfa sudah sampai di kantin. Seperti biasa, mereka akan memilih tempat duduk di pojok. Tempat paling strategis untuk menyandar ke tembok, bercanda dan paling jauh dari keramaian.
"Chat Devi atau Sinah deh, Ta. Gue pesan makan dulu." titah Ulfa.
"Ok." Zita mengacungkan kedua jempolnya ke atas.
***
"Cabut yuk, bosan gue di sini. Tidak ada kerjaan." ajak Nofal, bahkan kini dirinya sudah berdiri mendahului ketiga sahabatnya.
"Ke sirkuit yuk." usul Ikbal memberi pencerahan untuk ketiga sahabatnya.
"Boleh juga itu usulnya Ikbal, yuk cabut." Nofal menarik lengan Refi yang dari tadi hanya diam membisu.
"Ayo." Rio ikutan menarik lengan Refi.
"Berisik tahu enggak kalian tuh." gerutu Refi ikut bangkit.
"Kita balapan lagi, yang kalah dapat tantangan lagi." usul Ikbal.
"Ya jelas gue yang kalah, Rio kan selalu juara." desah Nofal ketika dirinya kalah minggu lalu dan mendapat tantangan untuk mendapatkan dan memacari Devi.
"Gue enggak ikut balapan." putus Rio memberi kesempatan untuk ketiga sahabatnya.
"Tetap saja masih ada Refi yang selalu menjadi juara kedua." desah Nofal lagi.
"Siapa tahu lo nanti menang, Fal." Ikbal memberi semangat kepada Nofal.
"Eh, target lewat tuh. Sikat, Fal." Rio menunjuk dua orang gadis berjalan keluar dari perpustakaan.
"Sana cepetan, semakin cepat semakin baik. Waktu lo dua bulan buat mendapatkan dia. Lewat waktu, mobil lo jadi milik gue." Refi mendorong bahu Nofal untuk segera mengejar Devi yang sedang berjalan bersama Sinah.
"Benar mamen." Ikbal ikut mendorong Nofal.
"Iya-iya, ck." Nofal berlalu dari hadapan ketiga sahabatnya mengikuti ke mana arah Devi berjalan.
"Lihat saja, bisa enggak itu Fal menaklukkan Devi." Refi tersenyum miring menatap bahu Nofal.
"Tunggu saja, Ref." Rio menepuk bahu Refi lalu ikut tersenyum miring memandang Devi.
"Ya sudah, ke sirkuit yuk. Kepala gue ngebul nih, minta diademin." ajak Ikbal menarik lengan Rio dan Refi.
***
"Sinah, tungguin dong. Lo cepat banget jalannya." gerutu Devi ketika Sinah sudah jauh meninggalkannya.
"Hai, Dev. Sini gue bantu bawa." Devi berhenti mendadak ketika ada seonggok lelaki berdiri tepat di depannya.
"Kak Nofal?" kaget Devi ketika pandangannya menangkap sesosok lelaki jangkung sedang tersenyum padanya.
"Iya ini gue, sini gue bantuin." tangan Nofal sudah hampir mengambil alih buku-buku Devi. Tapi dengan cepat Devi menjauhkan tangannya dari jangkauan Nofal.
"Enggak usah, gue bisa sendiri kok, Kak." tolak Devi halus.
"Lo pasti keberatan bawa buku setebal plus sebanyak itu. Sudah, biar gue bantu saja." lagi-lagi Nofal berusaha mengambil alih buku-buku di tangan Devi.
"Engak usah, Kak. Permisi ya, gue buru-buru." dengan langkah seribu, Devi meninggalkan Nofal di depan ruang perpustakaan.
"Sok jual mahal banget sih jadi cewek. Awas saja kalau sudah gue dapatkan, gue bikin dia bertekuk lutut di kaki gue dan di hadapan semua orang." geram Nofal ketika Devi lagi-lagi menolaknya.
***
"Lo dari mana saja sih, Dev? Lama banget tahu enggak." tanya Sinah menggerutu ketika Devi baru saja datang dan bergabung bersama Zita, Ulfa, dan Sinah.
"Gue barusan digangguin sama Kak Nofal lagi. Untung gue bisa lolos." adu Devi pada ketiga sahabatnya.
"Lo enggak apa-apa kan? Kak Nofal ngapain lo?" tanya Zita cemas.
"Dia tadi mau bantu gue bawa buku-buku ini. Tapi untung gue bisa kabur." Devi meminum minuman yang sudah dipesankan oleh Sinah beberapa waktu lalu.
"Gue sedikit menyesal karena sudah meninggalkan lo, Dev." sesal Sinah kenapa dirinya tadi meninggalkan Devi.
"Itu orang maunya apa sih? Tiba-tiba baik sama lo, Dev?" geram Ulfa meremas-remas tas punggungnya.
"Pasti ada yang mereka rencanakan. Enggak biasanya kan mereka baik kayak begitu sama salah satu di antara kita?" asumsi Zita membuat Sinah berpikir keras.
"Pokoknya lo jangan sampai terpengaruh sama dia sedikit pun, Dev." Ulfa memperingati Devi.
"Iya, dia kan playboy cap kadal." lanjut Sinah menggebu.
"Sedikit pun jangan terpesona, Dev." sambung Zita.
"Enggak akan, gue masih punya tingkat kewarasan kok." Devi berusaha meyakinkan ketiga sahabatnya jika dirinya akan baik-baik saja.
***
"Wes.... Datang-datang sudah suram saja itu wajah." goda Ikbal ketika melihat Nofal melempar jaketnya ke tempat biasa dia duduk.
"Paling juga ditolak lagi." sambung Rio tersenyum remeh.
"Itu cewek sok jual mahal banget tahu enggak. Sok cantik, sok manis." gerutu Nofal emosi.
"Gue enggak mau tahu, pokoknya lo harus mendapatkan dia dan pacari dia. Kalau dia sudah benar-benar cinta mati sama lo, tinggalkan dia dengan tidak berperasaan. Atau mobil kesayangan lo harus lo relakan jadi milik gue." Refi menepuk-nepuk bahu Nofal.
"Tenang saja, gue akan mendapatkannya. Masih lama waktu gue." Nofal tersenyum miring ke arah Refi.
"Gue percaya sama lo." Rio ikut menepuk-nepuk bahu Nofal.
"Sudah tanding belum kalian?" tanya Nofal mengalihkan pembicaraan.
"Belum, dari tadi kita cuma diam-diam saja." jawab Ikbal sembari membuka minuman bersodanya.
"Gue harus pulang, Kakek yang nyuruh." Rio memasukkan ponsel ke saku celananya lagi setelah membaca pesan dari kakek tersayangnya.
"Ok, bro." jawab serempak Nofal, Refi, dan Ikbal.
Rio menggamit jaket kulitnya lalu pergi meninggalkan ketiga sahabatnya. Meski Rio dibilang anak bandel, tapi jika sudah menyangkut kakeknya. Dia akan menuruti dan melakukan apa yang diperintahkan oleh kakeknya. Sesayang itu Rio pada sang kakek.
***
Next...