10. Hanya Sandiwara

2165 Words
Zita sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya dan Rio. Sudah dari pagi-pagi sekali Zita bangun dari tidur tidak nyenyaknya. Bagaimana mau nyenyak? Tidur beralaskan lantai di sebuah ruangan ber-AC tanpa sehelai selimut. "Semoga Kak Rio suka." Zita tersenyum melihat omlet buatannya yang sangat lezat. Zita sudah menyiapkan nasi omlet dan sup jagung di meja makan. "Gue bangunkan saja kali ya." usul Zita pada dirinya sendiri. "Ah, enggak. Jangan, gue takut Kak Rio tambah marah." Zita menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri sambil tersenyum masam. "Mending gue mandi, siap-siap ke kampus. Sudah dua hari gue tidak masuk kelas." putus Zita membuat senyumnya kembali merekah. Zita memilih menutup makanannya terlebih dahulu sebelum benar-benar ke atas. Saat sampai atas, Zita melihat Rio yang sudah rapi dengan style yang selalu Rio kenakan saat ingin bepergian. "Kak Rio mau ke kampus?" tanya Zita memberanikan diri. Rio hanya diam, tak menjawab sepatah kata pun. Pandangannya masih lurus pada cermin tanpa ada niatan untuk menoleh ke arah Zita. "Kalau Kak Rio mau ke kampus, sarapan dulu ya. Sudah aku siapkan sarapan buat Kakak di meja makan." ucap Zita lembut. Seolah-olah Rio tak memiliki salah apa pun pada Zita. Padahal sudah jelas, lutut Zita luka, Zita juga kedinginan semalam. Dan yang paling penting, hati Zita tergores berkali-kali oleh ucapan Rio. "Aku buatkan Kak Rio omlet sama sup jagung loh. Dimakan ya, biar Kak Rio tidak sakit. Nan..." "Berisik banget sih lo! Budek tahu tidak ini telinga gue!" marah Rio membentak Zita. Zita hanya bisa memejamkan matanya ketika Rio kembali membentaknya. Menelan mentah-mentah rasa sakitnya. Mencoba bersikap biasa saja seperti tidak pernah terjadi sesuatu. "Sabar, Ta. Lo bisa." Zita masih berusaha menyemangati dirinya sendiri meski hanya dalam hati. "Minggir lo!" bentak Rio pada Zita yang berdiri di ambang pintu. Zita menyingkir memberi jalan untuk Rio yang kini sudah berada di anak tangga ke bawah. "Tenang, Ta. Ini masih awal, tidak tahu kan kalau besok." Zita mengelus dadanya sendiri yang terasa sangat sesak. "Mending gue siap-siap ke kampus, terus nanti siang ke rumah sakit tengok Ayah." Zita kembali tersenyum ceria ketika mendengar kabar bahwa Yudha sudah siuman semalam. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk Zita mandi dan waktu lima belas menit untuk berdandan ala Zita. Sekarang Zita sudah menuruni tangga untuk sarapan makanan yang sudah dimasaknya tadi. Zita mencelos ketika membuka tudung saji dan isinya masih lengkap, tidak ada yang kurang sedikit pun. Itu artinya Rio tidak memakan omlet buatannya. Sepertinya menyentuh pun tidak, karena posisinya masih sama. Tidak ada yang berubah meski hanya satu senti. "Memang gue yang salah di sini." gumam Zita perih. *** Benar sekali dugaan Ulfa semalam. Tubuhnya pasti akan terasa remuk ketika bangun pagi ini. Ulfa merasakan pinggangnya sangat sakit karena tidur tidak nyamannya. "Ya ampin, sakit banget." keluh Ulfa memegangi pinggangnya. Ulfa melirik lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya dari kemarin. Ulfa tersenyum perih mengingat kelakuan Refi yang sangat kasar padanya. Memang dari dulu Refi beserta ketiga sahabatnya itu tidak menyukai Ulfa beserta ketiga sahabat Ulfa. Entah apa alasannya, Ulfa sendiri pun tidak tahu menahu. "Mandi ah." Ulfa berdiri dari duduknya lalu menyambar handuk yang semalam dia pakai untuk mandi. Sebelum benar-benar masuk, Ulfa lebih dulu memilih pakaian mana yang akan dia pakai hari ini. Ulfa sangat ingin ke kampus, ingin bertemu dengan ketiga sahabatnya. Tapi apa kata keluarga Refi ketika melihat Ulfa ke kampus? Itu bukan ide baik, malah ide buruk. "Apa tidak bisa waktu diputar ulang? Gue masih ingin jomblo, masih ingin menunggu Kak Reno buat menyatakan perasaannya ke gue. Heh... Kenapa begini banget sih hidup gue?" Ulfa mendesah di depan cermin kamar mandi Refi. "Gue tidak pernah berharap dengan pernikahan seperti ini. Yang gue harapkan itu nikah sama cowok yang gue sayang dan sayang sama gue. Bukan malah membenci gue begini. Menghargai pun tidak. Apa gue tidak pantas buat dicintai?" tanya Ulfa terhadap dirinya sendiri. "Ah... Sudahlah, Tuhan sudah memberikan jalan yang terbaik untuk hambanya. Mungkin ini yang terbaik dari sang pencipta buat gue. Meski gue harus merasakan sakit terlebih dahulu. Tapi gue yakin, suatu saat nanti Kak Refi bakal menghargai dan anggap gue ada. Gue tidak berharap Kak Refi bisa cinta ke gue. Gue cuma berharap Kak Refi hargai gue sebagai istrinya." Ulfa membangkitkan semangatnya sendiri. Senyumnya terkulum manis di kedua sudut bibirnya. Ulfa mempercepat mandinya karena tidak ingin dibilang istri pemalas oleh keluarga Refi. Ya, meski mereka tahu kalau Ulfa pasti kelelahan karena acara pernikahan kemarin yang sampai malam. Tapi tetap saja, Ulfa tidak ingin dibilang pemalas. "Ah... Segarnya." Ulfa mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil di depan meja rias kamar Refi. Ulfa melihat Refi yang masih terlelap dari pantulan cermin. Lagi-lagi Ulfa hanya tersenyum masam melihatnya. "Andaikan gue nikah dan saling sayang. Pasti gue senang banget, akan ada ucapan good morning dan morning kiss di setiap pagi." batin Ulfa miris. "Ugh..." Ulfa memfokuskan dirinya lagi ke cermin ketika mendengar suara lenguhan Refi khas orang baru bangun tidur. Ulfa diam saja ketika Refi mendudukkan tubuhnya dengan rambut acak-acakan dan mata masih sedikit terpejam. "Heh cewek manja. Gue mau mandi, siapkan gue air." titah Refi tanpa perasaan. Bahkan tanpa melihat ke Ulfa. Ulfa menghentikan acara sisir menyisir rambut panjang nan basahnya lalu membalikkan badannya menghadap ke Refi. "Iya, Kak." jawab Ulfa manis. "Tidak usah senyum, bisa alergi gue lama-lama lihatnya." Refi menjatuhkan tubuhnya lagi ke kasur lalu memainkan ponselnya. Ulfa langsung beranjak untuk menyiapkan air di bathtub untuk Refi mandi. Ulfa hanya bisa mengusap dadanya ketika Refi masih saja bersikap acuh tak acuh padanya. "Kak, sudah siap." Ulfa keluar dari kamar mandi setelah selesai menyiapkan peralatan mandi Refi beserta airnya. Tanpa menjawab, Refi langsung masuk ke kamar mandi begitu saja. Ulfa sendiri sudah menyiapkan pakaian untuk Refi. "Kayak begini ya rasanya jadi istri, sakit kalau tidak dianggap. Gue kira bakal biasa saja, tapi ini jauh dari ekspektasi gue. Gue kira kita bakal saling cuek dan menganggap tidak terjadi apa-apa. Tapi ternyata tidak, bersandiwara di depan keluarga besar dan sahabat itu susah banget. Bukan hanya susah, tapi juga menguras tenaga besar." ucap Ulfa parau menahan tangis. "Mending gue beres-beres." Ulfa mengembuskan nafasnya kasar lalu mulai membereskan kamar Refi dari segala sudut sampai beres. Setelah Ulfa membereskan kamar, Ulfa memilih turun untuk membantu Rafena menyiapkan sarapan di meja makan. "Bibi, aku bantu ya." Ulfa tersenyum ceria melihat Rafena sedang menata roti tawar di piring. "Kamu kok sudah turun sih, Ul." Rafena tersenyum pada Ulfa. "Loh memangnya kenapa, Bi?" tanya Ulfa heran. Kini Ulfa sedang meletakkan beberapa selai dengan berbagai macam ke meja makan. "Kamu kan masih pengantin baru. Pasti masih capek, kemarin kan acaranya padat banget." Rafena membawa dua piring roti tawar ke meja makan. "Nanti kan bisa istirahat lagi, Bi. Lagian bangun siang itu tidak bagus untuk kesehatan." Ulfa menuangkan air panas ke beberapa gelas yang sudah terisi s**u coklat lalu mengaduknya. "Pagi, Kak Ulfa." sapa anak-anak Rafena. "Pagi." balas Ulfa tersenyum pada adik-adik Refi dari Rafena. Semua keluarga besar sudah kumpul di meja makan. Ada beberapa bibi dan paman dari Refi. Kecuali Arina dan Natha yang memang pulang ke rumah sendiri. "Refi mana, Ul?" tanya Geon, suami Rafena. "Tadi masih mandi, Om." jawab Ulfa sopan. Semuanya sudah mengambil roti masing-masing. Rafena pun membuatkan roti dengan selai blueberry untuk Geon. Ulfa tersenyum pahit melihat kemesraan Rafena dan Geon. Apa Ulfa bisa seperti mereka suatu saat nanti? "Morning." sapa Refi baru saja duduk di dekat Ulfa. Ulfa menengok sekejap, hatinya senang ketika Refi memakai pakaian yang tadi Ulfa siapkan di atas ranjang. "Morning too, Ko Ref." balas anak-anak dari Rafena dan Bibi Refi yang lainnya. "Gue mau pakai selai nanas." ucap Refi menengok ke arah Ulfa sebentar. "I-iya..." jawab Ulfa kikuk lalu mengambil dua helai roti tawar dan mengolesinya pakai selai nanas seperti apa yang diminta oleh Refi. "Bagaimana first night kalian?" tanya Geon lancar tanpa melihat ekspresi Ulfa yang menunduk malu. "Doakan saja, Om." jawab Refi diiringi senyumnya. Ulfa kaget atas jawaban Refi. "Doakan? Apa jangan-jangan kalian bel..." "Doakan Ulfa cepat hamil." potong Refi cepat sebelum Geon menyelesaikan pertanyaannya. "Kami selalu mendoakan yang terbaik, Ref." Rafena tersenyum pada Refi. "Sudah, Ul?" Refi mengambil alih roti tawar dari tangan Ulfa. "Eh... Sudah kok." Ulfa hanya diam seribu bahasa. Ulfa tak ingin ikut berbicara, takut salah ucap. Refi mendekat ke wajah Ulfa ketika semuanya sibuk bercerita dengan para keluarga besar Refi. "Gue cuma akting biar mereka tidak curiga. Lo cukup diam saja." bisik Refi pelan di dekat telinga Ulfa. Hati Ulfa lagi-lagi mencelos mengetahui Refi hanya sandiwara. Memang apa yang diharapkan dari Refi jika bukan sebuah sandiwara. "Ko Ref, kalau mau cium Kak Ulfa jangan di sini dong. Aku kan masih kecil." seru anak Rafena yang masih berumur sekitar sepuluh tahun. Semua mata tertuju pada Refi dan Ulfa sekarang. Refi merangkul Ulfa erat. "Biarin wle... Ko Ref kan sayang sama Kak Ulfa." ledek Refi membuat semuanya tertawa. Ulfa mencoba tertawa akan candaan palsu dari Refi supaya tidak ada yang curiga. "Andaikan ini nyata." Batin Ulfa perih.  *** Devi melihat Nofal yang fokus menyetir di sebelahnya. Devi sangat gugup ingin mengungkapkan isi hatinya. "Kenapa, Dev?" tanya Nofal sadar kalau Devi terus memperhatikannya. "Eum... Gue mau jawab tentang perasaan lo tempo lalu." jawab Devi menunduk. "Kalau lo belum siap tidak usah dipaksakan." Nofal tersenyum manis ke arah Devi. "Gue siap kok." jawab Devi berusaha biasa saja. "Memang apa jawaban lo?" tanya Nofal penasaran. Was-was juga jika Devi menolaknya, maka kalah sudah tantangan dari Refi. "Gue mau jawab kalau gue mau jadi pacar lo." Devi memejamkan matanya setelah mengucapkan kalimat itu. Nofal tersenyum kemenangan ketika mendengar jawaban Devi. Hatinya bersorak menang kali ini. Nofal tidak jadi menyerahkan mobil kesayangannya pada Refi. "Terima kasih ya sayang, aku akan menjaga kamu terus." Nofal memegang tangan Devi lalu mencium punggung tangannya lumayan lama. Devi merinding ketika Nofal memanggilnya sayang dan sambil mencium punggung tangannya. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. "Sayang? Aku-kamu?" tanya Devi memberanikan diri menatap wajah Nofal yang tersenyum manis padanya. "Iya, sayang. Kan kita sudah resmi pacaran. Aku ganti panggilan kita jadi aku-kamu. Bukan gue-lo lagi." Nofal dapat melihat Devi blushing saat ini. Nofal semakin bersorak dalam hati melihat Devi salah tingkah ketika dirinya menggombalinya. "Hehehe... Begitu ya? Harus ya pakai sayang?" "Kan biar semua orang tahu kalau kita sepasang kekasih dan biar semuanya tahu kalau aku sayang sama kamu. Memang kenapa?" Nofal masih setia menggenggam tangan Devi yang basah oleh keringat. "Aneh saja, aku baru pertama pacaran. Makanya tidak tahu." "Ini bukan aneh sayang, tapi wajar. Baru sekali? Sama siapa?" "Sama kamu kan." Devi nyengir tidak jelas menjawabnya. "Masih original." Batin Nofal ambigu. "Wah... Senang ya bisa jadi yang pertama buat kamu." Nofal beralih mengacak-acak kepala Devi. "Kak Nofal... Kan jadi berantakan." Devi langsung membenarkan letak poni dan menyisir rambutnya menggunakan jarinya. "Meskipun berantakan, kamu tetap cantik kok." Nofal membelai lembut pipi Devi yang merah merona. "Asal lo tahu saja, Dev. Ini hanya sandiwara. Mana mungkin gue cinta sama cewek tidak popular kayak lo." Ujar Nofal dalam hati sambil membayangkan bagaimana reaksi ketiga sahabatnya atas kabar ini. "Eh tapi, Kak Nofal." "Apa?" "Aku boleh minta satu permintaan tidak sama kamu?" tanya Devi was-was. "Buat pacar aku yang cantik ini, apa sih yang tidak. Kamu mau minta apa? Belanja? Mau baju, sepatu, tas, atau bon..." "Bukan itu semua. Itu aku bisa beli sendiri." potong Devi cepat. "Terus minta apa? Cinta? Sudah aku kasih ke kamu semuanya, sayang." "Ih... Kak Nofal mah gombal mulu. Bukan itu juga. Serius deh." "Terus minta apa?" "Aku minta hubungan kita di sembunyikan. Aku tidak mau sahabat-sahabat aku itu tahu." jawab Devi merasa bersalah karena telah mengingkari janjinya kepada ketiga sahabatnya. "Memangnya kenapa?" "Aku belum siap saja dapat pertanyaan-pertanyaan aneh dari mereka." "Ya sudah kalau memang itu mau kamu. Aku tidak apa-apa kok." "Terima kasih ya." "Iya sayang." lagi-lagi Devi blushing ketika Nofal memanggilnya sayang. *** Rio kaget melihat mobil Hans terparkir di pelataran rumahnya ketika dirinya kembali ke rumah untuk mengambil power banknya yang tertinggal.  "Kakek." ucap Rio kaget melihat Hans sedang ngobrol dengan Zita di ruang keluarga. "Rio, Kakek senang mendengar kamu sangat baik pada Zita." Hans memeluk Rio bangga ketika Rio duduk di dekat Hans. "Kakek percaya sama kamu. Zita tadi sudah cerita kalau kamu sangat manis dan perhatian." Rio hanya tersenyum kikuk mendengar cerita Hans. Rio melirik Zita yang menunduk takut. "Kakek sudah lama?" tanya Rio berbasa-basi. "Baru saja sampai. Kalian kuliah?" "Iya, Kek. Ini aku mau jemput Zita. Iya kan, dear?" Rio menggamit pinggang Zita mesra. "Iya, Kek." jawab Zita tersenyum kikuk. Hans tersenyum melihat Rio dan Zita sangat mesra seperti ini. Inilah harapan Hans. Semoga dengan pernikahan mereka, Rio bisa berubah dengan tidak bergonta-ganti wanita setiap malam dan mabuk-mabukan. Hans juga berharap kalau Rio akan menjauhi dunia malam dalam balapan liar yang selalu dia ikuti. "Ya sudah, Kakek ke kantor dulu. Kalian hati-hati ya." pamit Hans berdiri diiringi senyuman semringah. "Iya, Kek. Kakek juga hati-hati." Rio menyalami tangan Hans dilanjutkan oleh Zita. Hans meninggalkan mereka dari rumah baru Rio dan Zita. Setelah Hans benar-benar keluar, Rio melepaskan tangannya dari pinggang Zita. "Sandiwara lo boleh juga." puji Rio menatap sinis ke Zita. "Sandiwara gue juga bagus kan?" tanya Rio membuat Zita terjatuh dari harapannya. "Tidak usah kepedean lo kalau gue bakal lirik bahkan menganggap lo ada! Lo itu cuma hal yang tidak berguna." caci Rio meninggalkan Zita ke kamar untuk mengambil power banknya lalu kembali pergi entah ke mana meninggalkan Zita sendiri dengan isak tangisnya. *** Sinah kaget melihat Ikbal ada di depan pintu rumahnya. Dari kapan Ikbal berdiri di sana? "Kak Ikbal." seru Sinah tercekat kaget. "Morning cantik, yuk berangkat." ajak Ikbal menarik tangan Sinah. "Apa-apaan sih." Sinah berusaha melepaskan tangan Ikbal dari tangannya. "Kak Ikbal, lepas." "Masuk, Nah." Ikbal sudah membukakan pintu mobilnya untuk Sinah. "Apaan sih." gerutu Sinah kesal ketika Ikbal menghadangnya supaya tidak bisa lolos dan masuk mobil. "Masuk dulu." titah Ikbal manis. "Ish... Iya-iya." Sinah menyerah saja lalu masuk ke dalam mobil milik Ikbal. "Sandiwara awal sudah dimulai." Ikbal tersenyum menang dalam hati ketika Sinah tidak berontak terlalu lama. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD