Aku diam menatap layar ponsel, memikirkan jawaban yang tepat untuk membalas pesan dari Virto, kalau saya salah kirim bisa besar masalahnya.
[[Sama siapa …??] Ia bertanya lagi.
[Hanya sama anak-anak]
[Itu saja?]
Jantungku berdebar keras, aku terjebak dalam permainanku sendiri.
‘Aduh, harus jawab apa nih, ada Dimas bersamaku dengan anak-anak’ bingung mau balas apa pada Mas Virto, kalau aku bicara jujur dia akan marah besar.
Ia seperti punya mata di mana, jika ketahuan berbohong lebih mengamuk lagi.
Saat lagi diam memikirkan Mas Virto, Dimas mendekat dan berkata pada Jeny.
“Tanya ibu Jen, mau beli apa?”
“Bu, beli apa kata Ayah?”
“Tidak usah, kalian saja.”
“Yah, tidak usah kata Ibu!” Jeny sibuk memilih pakaian yang akan ia beli, mumpung jalan sama ayah mereka.
Jarang kami jalan bersama seperti ini, sekilas terlihat keluarga yang sangat bahagia. Ayah ganteng ibu cantik, anak-anak yang tampan dan putriku sangat cantik juga.
Saat berdiri menunggu dan membiarkan anak-anak memilih pakaian , aku duduk di kursi toko, tiba-tiba Dimas mendekat.
“Jangan banyak melamun nanti kamu kesurupan,” ucap Dimas berdiri di sampingku.
“Siapa yang melamun? orang lagi melihat anak-anak memilih,” ucapku kesal.
“Kamu tidak mau sekalian? pilih saja mana yang kamu suka biar aku bayari,"ujar Dimas.
“Gak usah, anak-anak saja,” ucapku menolak, rasanya malu kalau harus dibelanjakan mantan suami, ucapan ibu saat itu membuatku malu pada diri sendiri. Malu karena ketahuan sama ibu, aku dan dia melakukan hal yang tidak seharusnya.
'Ah, otakku memang korslet saat itu, tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi' aku berjanji pada diri sendiri.
“Jangan sungkan biar aku pulihkan pakaian yang kamu mau.” Ia memilih pakaian yang sangat sopan dan tertutup.
“Ini,” menunjuk pakaian dress yang cocok di padukan dengan hijab.
“Aku tidak suka pakai begitu, itu mau di pakai kemana?”
“Kesini.” Ia menunjuk hijab yang warna yang sepadan
“ Udah deh, tidak usah ngatur-ngatur,” ucapku marah.
“Bukan marah Bu, aku hanya menawarkan,"ujar Dimas.
Ia bersikap seolah - olah aku masih istri, membuat hati ini jadi marah, setiap kali ia bersikap perhatian, aku akan mengingat saat itu. Dimana dia menghabiskan malam dengan sahabatku, membuat diri ini terjebak dalam kubangan lumpur dosa yang sulit aku lepaskan.
“Aku tidak mau,” ucapku ketus.
“Baiklah, baik … sekarang mau yang mana?”
“Tidak usah A, buat anak-anak saja, masih ada lelaki simpananku yang akan membelikan aku pakaian yang lebih bagus,” ucapku marah.
“Kalau tidak mau, jangan marah,” ujarnya kemudian, suasana hening dan kami berdua sama-sama diam.
“Oh, apa yang terjadi yang kemarin lupakan saja, anggap saja aku lagi butuh pelarian dan butuh pelampiasan, jangan salah menanggapi,” ucapku, tanpa menoleh padanya.
Wajah Dimas langsung berubah, ia diam, rasa bersalah ter gambar jelas di wajah tampan itu.
“Andai waktu bisa di putar ….” ucapnya menatap kosong ke kedua buah hati kami, seorang pelayan toko menawarkan kursi untuk Dimas karena dari tadi ia hanya berdiri.
“Andai waktu bisa diputar kamu mau bilang, kamu tidak selingkuh dengan sahabatku sendiri?”
“Iya maaf, aku menyesali semua itu karena ..."
“Sudahlah nasi sudah jadi bubur, aku hanya berharap kamu tidak melupakan tanggung jawabmu sama anaka-anak,” ucapku lagi.
Waktu tidak akan bisa diputar hanya bisa menjalani kehiduan ini sebagai mana mestinya aku hanya berharap anak-anak tidak kehilangan kasih sayang dari kami berdua.
Bersambung